Entah sudah berapa
tahun lamanya saya tidak pernah lagi menghabisi akhir tahun di kota Bitung bersama
keluarga. Jika 2013 kemarin posisi saya di Kendari, lalu beberapa tahun lalu seingat
ku saya masih di Jogja. Penghujung tahun ini harus ditutup dengan suasana duka perihal
kecelakaan pesawat AirAsia. Hampir semua media massa menayangkan sisi sisi
dramatis kecelakan pesawat itu. Ada yang sebatas menayangkannya di jam-jam
penting saja, tapi ada juga yang nyaris 24 jam ‘breaking news’ bahkan status berita ‘breaking news’ sudah tak memiliki nilai ‘sakral’ pemberitaanya. Padahal
sifat berita seperti itu menunjukan adanya kedaruratan pemberitaan atau ada
sesuatu maha penting dan segera utnuk ditanyangkan. Tetapi parahnya tayangan
ini malah mencapai nyaris 24 jam non stop.
Tv One dan Metro tv, dua media ini terbilang
non stop mengabarkan. Namun suasana duka di akhir Desember ini tercemar oleh tayangan
brutal dari TV One, berupa penayangan ekstrim salah satu jenazah korban pesawat
AirAsia tanpa disensor atau diblur tampak dalam keadaan telanjang. Meskipun salah
seorang reporter sempat mengklarifikasi dan meminta maaf terkait tayangan
tersebut, tetap saja kasus ini mencerminkan rendahnya mutu awak media melakukan
kerja-kerja jurnalistik. Barangkali pedoman dan etika jurnalistik hanya dihapal
dan dirapal di bangku kuliah sehingga perkara bersimpati dan menghormati keluarga
korban hanya menjadi kosa kata sampah yang jauh lebih berharga untuk dikomersilkan.
Duka tak selamanya dibaca sebagai duka penuh ratapan, tetapi ia telah ditafsir menjadi
kebahagian atas kengerian orang lain. Jurnalisme bencana di tangan awak media yang
tuna empati seperti itu justru menjadi bencana jurnalisme. Ada banyak kecaman
yang dilayangkan pada stasion tv yang terkenal kerap kali blunder dalam kegiatan
peliputan. Beberapa kali ketika mengabarkan peristiwa Airasia, saya menyaksikan
betapa suasana duka jutru dimanfaatkan sebagai ajang mempertontonkan perilaku jurnalist
yang tak professional.
Kemarin pada Breaking news (siang) seorang presenter
perempuan menyebutkan ’’semoga kabar gembira (ditemukan serpihan) menjadi titik
terang menemukan Air asia’’ sungguh apa yang dilontarkan presenter TvOne itu sangat
menyakitkan. Menyebutkan ‘’kabar gembira’’ di tengah kesedihan keluarga korban
sama sekali tidak mencerminkan etika jurnalistik yang semestinya mampuh merawat
empati. Sudah terlalu banyak pihak yang mengatakan ‘coba anda berada pada
posisi keluraga korban’? bagaimana rasanya tiba tiba ada yang menanyakan
perasaan anda ? tapi sudahlah kesalahan-keslahan ini nampaknya terus saja akan
direproduksi. Sebab menurut ku jurnalist semacam itu masih banyak berkeliaran
di sejumlah media yang tidak dibekali oleh pedoman peliputan yang memadai. Merasa
hebat dan puas menjadi jurnalist walau hanya sebatas belajar magang di sejumlah
media tetapi minim bekal standar etika peliputan. Belum berpengalaman melakukan
reportase di medan konflik dan bencana sudah diperintah tanpa bekal meliput di
medan liputan yang membutuhkan akurasi
informasi. Belum terlambat belajar, sebab memilih menjadi jurnalist adalah
memilih mengabdi pada kemanusiaan, sekiranya begitulah nasihat guru jurnalistik
saya.
My
Deepest condolences to the families passanger. ..stay strong Air Asia
Komentar
Posting Komentar