Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2016

Islam dan Jejak Kolonial

    H ampir semua hal di I ndonesia memiliki rujukannya dengan agama. Agama nyaris mengatur pernak perrnik di republik ini. Semua dipandang memiliki landasan syariah yang mesti dipatuhi oleh mereka yang meresa paling berhak. Dalam hal ini berhak menentukan batas keyakinan atau keimanan seseorang. S ejumlah kalangan bahkan tak jarang memasukan syariat sebagai pedoman dalam tata pemerintahan. Di negara ini jika Anda berseteru dengan ' mereka ' maka terimalah nasib A nda dipandang sebagai individu atau golongan yang tak layak mencium wangi surga. Sangksi ilusif itu panatas diperoleh karena telah menistakan Islam ke tempat paling buruk. Simak saja, perkara memilih sendal jepit bisa ramai diributkan karena dinilai memilki lafadz A llah. B ahkan temuan  plat cetakan Alquran untuk cetakan panggangan kue dibuat heboh. Busana A gnes monica beraksara arab dan sajadah/karpet shalat yang digunakan untuk menari di acara Hari Amal Bakti ke 70 Kementerian Agama DKI Jakarta pun dipa

Bukan Khotbah Jumat

    Apa yang sesungguhnya terjadi ketika sebagian eksperasi orang islam di Indonesia saat ini terlampau sentimentil ketika bersingungan dengan sesuatu yang dilekatkan pada citra islam. Mulai dari urusan KTP, transportasi, Hotel, Patung, orintasi seksual, busana, hingga urusan sendal, semua dilihat secara agamais. Tentu ini tidak salah, namun ketika membincang hal itu dengan sikap emosi dan tidak mengedepankan sikap toleraan, penghakiman atas kepercayaan sesorang atau kelompok agama atau ajaran lainya, itu yang mesti diperiksa, apakah wajah islam seperti inikah yang diajarkan oleh rasulullah? Saat perbedaan pandangan mesti terselesaikan dengan kemarahan bukan keramahan.    Sosial media adalah ruang paling ribut membincangkan semua yang terkait ataupun yang sengaja mengaitkan dengan urusan moral purba manusia, yaitu perkara berkeyakinan . Sentimen 'islam' bagi mereka yang terlampau meyakini ajaran moral mereka paling benar merasa berhak angkat bicara mener