Antropologi “ metodologi dan pokok soal dalam
penyusunan teori”
Pada pembahasan awal Buku karya Kaplan dan Manners
yang bertajuk teori budaya ( the teory of
culture ) mengetengahkan masalah mendasar Antropologi sebagai suatu bidang
pengetahuan yang mendisiplinkan diri dalam kaidah ketat epistemology, pada akhir abad sem bilan belas. Menurut
keduanya, pokok –pokok problem yang diperhatikan Antropolog dapat diringkas
menjadi dua pertanyaan besar yang saling terkait, yaitu pertama, bagaimanakah berkerjanya berbagai
system budaya yang berbeda-beda? kedua, bagaimanakah sistem-sistem budaya yang
beraneka ragam itu mendapat tempat
seperti saat ini? (Kaplan &Manners hal 2)
Problem mendasar dalam uraian akademis yang
dikemukakan oleh Kaplan dan Manners tersebut,
merujuk pada pemahaman mengenai perbedaaan pada setiap budaya, baik dari segi ruang maupun
waktu, dimana semua budaya sama. Sehingga keduanya beranggapan memungkinkan
disiplin Antropologi tidak perlu ada.
Mereka menyontohkan, pada kajian Biologi
manusia misalnya, disiplin yang mempelajari mengenai perilaku manusia.
Namu tidak berarti ketika Antropolog mengey ampingkan konsep kesamaan antar
budaya. Bagi keduanya kesamaan tetap mendapat tempat, namun baru hadir sebagai
sesauatu yang perlu ditelaah berdasarkan latar belakang yang kontras yakni
perbedaan yang bersifat infra-human.(hal 2).
Dengan
demikian, masalah utama Antropologi yang
diungkapkan oleh kedua Antropolog ini adalah, menjelasakan kesamaan dan
perbedaaan budaya. Perubahan budaya hanya dapat diamati dengan latar belakang
stabilitas atau pemeliharaan budaya.Selanjutnya tawaran Kaplan dan
Manners untuk memehami perbedaan
keyakinan, nilai dan perilaku dan bentuk sosial antara kelompok yag satu
deganyang lain yaitu dengan mempelajari mekanisme, struktur, serta sarana
–sarana di luar diri manusia, yaitu alat yang digunakan manusia untuk untuk
menstraformasikan dirinya sendiri. (Kaplan & Manners hal 3)
Selanjutnya
yang dipahami sebagai makanisme struktur dan sarana kolektif diluar diri
manusia dalam kajian antropologi menurut Kaplan dan manners disebut “budaya” (culture). Sementara di
amarika serikat para antropolog dinegara itu menyebut kultur/budaya dipandang
sebagai konsep pokok dalam disiplin antropologi (hal 4)
Relativisme lawan perbandingan
Kaum relativis mengatakan, suatu budaya harus diamati
sebagai suatu kebulatan tunggal, dan hanya sebagai dirinya sendiri, sedangkan
komparativis memahami suatu institusi, proses,kompleks haruslah dicopot dari
aras budaya. Relativis yang ekstrim beranggapan tiada dua budaya yang sama,
namun padangan yang ektrim ini cenderung teoritis motodis (hal 7)
Perbandingan tipe
struktural
Menurut Kaplan dan manners tipe struktural merupakan
suatu klasifiksi fenomena yang dipalajari berdasarkan cirri yang meyertainya,
untuk masalah tersebut mereka harus berhenti sejenak untuk sekedar menayatakan
dua hal penting. Pertama, suatu banguan (konstruk) didalamanya mengandung
teori,mereka beralasan, dalam setiap tindakan kita cenderung memilih ciri
penting dalam fenomena yang telah ditentukan untuk menyusun sebuah teori.
Alasan kedua, karena tidak ada klasifikasi fenomena yang mutlak maka tipe
struktural ini pun bervariasi sesuai masalah yang dikaji(hal 12)
Masalah pendefiisain teori
Penegertian teori secara fundamental, menurut Kaplan
dan Manners, teori bukanlah sekedar ikhtisar dari data yang diringkas, karena
teori tidak hanya mengatakan “apa” yang terjadi malainkan juga mengatakan
“megapa” sesuatu terjadi. Sehingga, teori apapun harus melaksanakan fugsi
ganda, pertama, menjelasakan fakta yang sudah diketahui, kedua, membuka celah
pandangan baru yang dapat menngatar kita untuk menemukan fakta baru (Kaplan
&manners hal 15)
Tidak
lebih dari itu, mereka juga mengatakan, teori adalah semacam generalisasi.
Dalam bentuknya yang paling sederhana, generalisasi dipahami sebagai proposisi
yang menjadikan dua atau lebih sebuah fenomena memilki hubungan. Penting untuk
dipahami bahwa Dalam generalisasi terkandung sikap logis, yakni pernyataan yang
dikemukakan bersifat melampaui fenomena yang diamati atau direkam. Dari konsep
generealisasi tersbut selanjutnya, terbagi pula generealisasi empiric dan teoritik. Dimana genearisasi empiric
memberikan label pada regulitas alami hingga melampaui pengamatan (observasi)
tetapi penjelasanya cukup terbatas.
Sementara untuk generalisasi teoritik menuntun kita kerarah fakta baru dalam penelitian, salah satu contohnya teori
Darwin megenai seleksi alami dan evolusi(hal 16). Sementara, hubungan logis
antara proposisi teoritik umum dengan generalisasi serta fakta yang hendak
diterangkan dapat berbeda hubugan yang
idea,l seperti kata para filosof ilmu atas konsep hubungan deduktif. Dengan
Alasan suatu system deduktif merupakan tuntutan logis dari premis dan dibatasi
pula oleh premis (hal 19).
Hubungan antara Teori
Etnologi dan Fakta Etnografi
Perbedaan antara fakta dan teori telah dikeramatkan
dalam antropologi, yaitu berupa perbedaan antara etnografi (pemerian/deskripsi
budaya) dan etnologi (pembentukan teori mengenai pemerian itu). Fakta dapat diamati dan manusia sering
melalui semacam penyaringan berupa minat dan kepentingan serta pengalaman masa
lampau. “Pengumpulan fakta sendiri bukanlah prosedur ilmiah yang telah memadai
fakta hanyalah ada sehubungan dengan teor dan teori tidak dirusak oleh fakta,
teori digantikan oleh teori-teori baru yang memberikan penjelasan yang lebih
baik tentang fakta iru” (Julian Steward)
Masalah –masalah khusus dalam pembentukan teori
Antropologi
Tidak seperti ilmuan ragawi (alam), ilmuan sosial
diperhadapkan pada masalah khusus, yaitu, persoala daya yang ditanganinya.
Dengan alasan konsep –konsep yang digunaka untuk mengakaji sering berbeda
dengan konsep yang digunakan oleh antropolog. Dari sinilah muncul problem
metodologis yang tak kuncung usai diperdebatkan. Persolaan yang mengemuka
seperti dalam menyusun deskripsi mengenai sebuah budaya, apakah merujuk pada
kategori konseptual warga budaya yang
dituju (pendekatan emik) atau berdasakan kategori konseptual dalam antropologi
dalam melihat kebudayaan dari luar (pendekatan etik) –hal 29.
Obejektivitas
pelaporan antropologis.
Masalah
klasik dalam disiplin ilmu sosial ialah, kesenjangan si peneliti. Bagaimana dapat tercapai
pengetahuan objektif menganai fenomena kultural, sementara di satu sisi ilmuan
sosial adalah sekaligus ideolog. Misalnya seorang antropolog meneliti selama
setahun pada sudatu kebudayaan yang eksotik lalu mengamati cara hidup
masyarakat tersebut, kemudain usai penelitian ia pulang dan menulis laporan
hasil pengamatan, problemnya adalah apakah catatan tersebut merupakan refleksi
atau bias pribadi dari peneliti. Menurut Kaplan dan Manners, untuk menjawab
kesenjagan tersebut, marilah kita akui bahwa semua manusia termasuk antropolog
mengalami bias. Sehingga sangat keliru jika kita masih mengagap mampu
mendaptkan objektifitas dalam pemikiran dan sikap antropolog selaku
individu.(hal 32)
Pembentukan teori
Perdebatan
menganai apakah antropologi termasuk dalam humaniora atau suatu sains yag ketat
dalam pendekatan positivistik ? atau justru ‘kultur ketika’ yang memilih
berada di tengah-tengah. Merujuk pada kata –kata Karl Popper, bahwa sains ialah
suatu proses ‘’menebak dan membuktikan kesalahan tebakan’’, (Karl poper dalam
kaplan dan manners). Peryataan tersebut bermakna bahwa ilmu mengajukan
tebakan-tebakan berani menganai keadaan dunia, kemudian berusaha membuktikan
kesalahan tebakan –tebakan tersebut.
Pembentukan teori meliputi’
Verstehen
Pendapat ini mengatakan, Ilmu-ilmu sosial
bersifat ideografis (partikularistik) dan tidak bersifat nomotetis
(menggeneralisasi). Bagi pendukung gagasan ini sasaran ilmu soisal bukanlah
perumusan sisitem penjelasan yang umum, melainka pada pengorganisasian dan
presntasi data dagan cara tertentu yaituproses pemahaman dan empati individual
(verstehen) -hal 35-. Sebagai tambahan, kaplan dan manners memberi penekanan
bahwa, ilmu bukanlah metode untuk mengahsilkan teori. Teori adalah tindak kreatif
yang lahir dari pikiran yang menggegam informasi. (Hal 37.)
Historitas
Historitas dalam antropologi dipahami sebagai
sarana memperjuangkan kesejahraan sistem-sistem yang diteliti , sehingga dalam
aspek historis ini dapat ditinjau pada, pertama, perbedaan antropologi dengan
ilmu-ilmu alam seperti fisika dimana didalmnaya terdapat sisitem-sistem
yangbersifat repetitive yang telah mengalami perubahan yang sistematik. Kedua,
system terbuka, jenis system yang dihadapi oleh antropolog adalah ssitem
terbuka, memang pada intinya semua system bersifat terbuka .berbeda dengan ahli
ilmu alam yang nampakanya berhasil dalam meyatakan kondisi-kodisi tertutup. Ketiga,
isu-isu sosial, ilmu-ilmu sosial sering meghadapi masalah yang terkait dengan
kepentigan public. Ke-emapat ideology, disini berguna menentukan mana teori
yang bermanfaat atau yang keliru sekalipun.(hal 40)
Komentar
Posting Komentar