Langsung ke konten utama

Resume Buku Teori Budaya, karya David Kaplan dan Robert Manners



Antropologi “ metodologi dan pokok soal dalam penyusunan teori”

Pada pembahasan awal Buku karya Kaplan dan Manners yang bertajuk teori budaya ( the teory of culture ) mengetengahkan masalah mendasar Antropologi sebagai suatu bidang pengetahuan yang mendisiplinkan diri dalam kaidah ketat epistemology,  pada akhir abad sem bilan belas. Menurut keduanya, pokok –pokok problem yang diperhatikan Antropolog dapat diringkas menjadi dua pertanyaan besar yang saling terkait, yaitu  pertama, bagaimanakah berkerjanya berbagai system budaya yang berbeda-beda? kedua, bagaimanakah sistem-sistem budaya yang beraneka ragam itu  mendapat tempat seperti saat ini? (Kaplan &Manners hal 2)
                Problem mendasar dalam uraian akademis yang dikemukakan oleh Kaplan dan Manners tersebut,  merujuk pada pemahaman mengenai perbedaaan  pada setiap budaya, baik dari segi ruang maupun waktu, dimana semua budaya sama. Sehingga keduanya beranggapan memungkinkan disiplin Antropologi tidak perlu ada.  Mereka menyontohkan, pada kajian Biologi  manusia misalnya, disiplin yang mempelajari mengenai perilaku manusia. Namu tidak berarti ketika Antropolog mengey ampingkan konsep kesamaan antar budaya. Bagi keduanya kesamaan tetap mendapat tempat, namun baru hadir sebagai sesauatu yang perlu ditelaah berdasarkan latar belakang yang kontras yakni perbedaan yang bersifat infra-human.(hal 2).
Dengan demikian, masalah utama Antropologi  yang diungkapkan oleh kedua Antropolog ini adalah, menjelasakan kesamaan dan perbedaaan budaya. Perubahan budaya hanya dapat diamati dengan latar belakang stabilitas atau pemeliharaan budaya.Selanjutnya tawaran  Kaplan dan  Manners  untuk memehami perbedaan keyakinan, nilai dan perilaku dan bentuk sosial antara kelompok yag satu deganyang lain yaitu dengan mempelajari mekanisme, struktur, serta sarana –sarana di luar diri manusia, yaitu alat yang digunakan manusia untuk untuk menstraformasikan dirinya sendiri. (Kaplan & Manners hal 3)

Selanjutnya yang dipahami sebagai makanisme struktur dan sarana kolektif diluar diri manusia dalam kajian antropologi menurut Kaplan dan manners  disebut “budaya” (culture). Sementara di amarika serikat para antropolog dinegara itu menyebut kultur/budaya dipandang sebagai konsep pokok dalam disiplin antropologi (hal 4)

Relativisme lawan perbandingan

Kaum relativis mengatakan, suatu budaya harus diamati sebagai suatu kebulatan tunggal, dan hanya sebagai dirinya sendiri, sedangkan komparativis memahami suatu institusi, proses,kompleks haruslah dicopot dari aras budaya. Relativis yang ekstrim beranggapan tiada dua budaya yang sama, namun padangan yang ektrim ini cenderung teoritis motodis (hal 7)

Perbandingan  tipe struktural
Menurut Kaplan dan manners tipe struktural merupakan suatu klasifiksi fenomena yang dipalajari berdasarkan cirri yang meyertainya, untuk masalah tersebut mereka harus berhenti sejenak untuk sekedar menayatakan dua hal penting. Pertama, suatu banguan (konstruk) didalamanya mengandung teori,mereka beralasan, dalam setiap tindakan kita cenderung memilih ciri penting dalam fenomena yang telah ditentukan untuk menyusun sebuah teori. Alasan kedua, karena tidak ada klasifikasi fenomena yang mutlak maka tipe struktural ini pun bervariasi sesuai masalah yang dikaji(hal 12)

Masalah pendefiisain teori

Penegertian teori secara fundamental, menurut Kaplan dan Manners, teori bukanlah sekedar ikhtisar dari data yang diringkas, karena teori tidak hanya mengatakan “apa” yang terjadi malainkan juga mengatakan “megapa” sesuatu terjadi. Sehingga, teori apapun harus melaksanakan fugsi ganda, pertama, menjelasakan fakta yang sudah diketahui, kedua, membuka celah pandangan baru yang dapat menngatar kita untuk menemukan fakta baru (Kaplan &manners hal 15)
Tidak lebih dari itu, mereka juga mengatakan, teori adalah semacam generalisasi. Dalam bentuknya yang paling sederhana, generalisasi dipahami sebagai proposisi yang menjadikan dua atau lebih sebuah fenomena memilki hubungan. Penting untuk dipahami bahwa Dalam generalisasi terkandung sikap logis, yakni pernyataan yang dikemukakan bersifat melampaui fenomena yang diamati atau direkam. Dari konsep generealisasi tersbut selanjutnya, terbagi pula generealisasi empiric dan  teoritik. Dimana genearisasi empiric memberikan label pada regulitas alami hingga melampaui pengamatan (observasi) tetapi penjelasanya  cukup terbatas. Sementara untuk generalisasi teoritik menuntun kita kerarah fakta baru  dalam penelitian, salah satu contohnya teori Darwin megenai seleksi alami dan evolusi(hal 16). Sementara, hubungan logis antara proposisi teoritik umum dengan generalisasi serta fakta yang hendak diterangkan dapat berbeda  hubugan yang idea,l seperti kata para filosof ilmu atas konsep hubungan deduktif. Dengan Alasan suatu system deduktif merupakan tuntutan logis dari premis dan dibatasi pula oleh premis (hal 19).

Hubungan antara Teori Etnologi dan Fakta Etnografi

Perbedaan antara fakta dan teori telah dikeramatkan dalam antropologi, yaitu berupa perbedaan antara etnografi (pemerian/deskripsi budaya) dan etnologi (pembentukan teori mengenai pemerian itu).  Fakta dapat diamati dan manusia sering melalui semacam penyaringan berupa minat dan kepentingan serta pengalaman masa lampau. “Pengumpulan fakta sendiri bukanlah prosedur ilmiah yang telah memadai fakta hanyalah ada sehubungan dengan teor dan teori tidak dirusak oleh fakta, teori digantikan oleh teori-teori baru yang memberikan penjelasan yang lebih baik tentang fakta iru” (Julian Steward)

Masalah –masalah khusus dalam pembentukan teori Antropologi
Tidak seperti ilmuan ragawi (alam), ilmuan sosial diperhadapkan pada masalah khusus, yaitu, persoala daya yang ditanganinya. Dengan alasan konsep –konsep yang digunaka untuk mengakaji sering berbeda dengan konsep yang digunakan oleh antropolog. Dari sinilah muncul problem metodologis yang tak kuncung usai diperdebatkan. Persolaan yang mengemuka seperti dalam menyusun deskripsi mengenai sebuah budaya, apakah merujuk pada kategori konseptual warga budaya  yang dituju (pendekatan emik) atau berdasakan kategori konseptual dalam antropologi dalam melihat kebudayaan dari luar (pendekatan etik) –hal 29.

Obejektivitas pelaporan antropologis.
Masalah klasik dalam disiplin ilmu sosial ialah, kesenjangan  si peneliti. Bagaimana dapat tercapai pengetahuan objektif menganai fenomena kultural, sementara di satu sisi ilmuan sosial adalah sekaligus ideolog. Misalnya seorang antropolog meneliti selama setahun pada sudatu kebudayaan yang eksotik lalu mengamati cara hidup masyarakat tersebut, kemudain usai penelitian ia pulang dan menulis laporan hasil pengamatan, problemnya adalah apakah catatan tersebut merupakan refleksi atau bias pribadi dari peneliti. Menurut Kaplan dan Manners, untuk menjawab kesenjagan tersebut, marilah kita akui bahwa semua manusia termasuk antropolog mengalami bias. Sehingga sangat keliru jika kita masih mengagap mampu mendaptkan objektifitas dalam pemikiran dan sikap antropolog selaku individu.(hal 32)

Pembentukan teori
Perdebatan menganai apakah antropologi termasuk dalam humaniora atau suatu sains yag ketat dalam pendekatan positivistik ? atau justru ‘kultur ketika’ yang memilih berada di tengah-tengah. Merujuk pada kata –kata Karl Popper, bahwa sains ialah suatu proses ‘’menebak dan membuktikan kesalahan tebakan’’, (Karl poper dalam kaplan dan manners). Peryataan tersebut bermakna bahwa ilmu mengajukan tebakan-tebakan berani menganai keadaan dunia, kemudian berusaha membuktikan kesalahan tebakan –tebakan tersebut.

Pembentukan teori meliputi’
Verstehen
Pendapat ini mengatakan, Ilmu-ilmu sosial bersifat ideografis (partikularistik) dan tidak bersifat nomotetis (menggeneralisasi). Bagi pendukung gagasan ini sasaran ilmu soisal bukanlah perumusan sisitem penjelasan yang umum, melainka pada pengorganisasian dan presntasi data dagan cara tertentu yaituproses pemahaman dan empati individual (verstehen) -hal 35-. Sebagai tambahan, kaplan dan manners memberi penekanan bahwa, ilmu bukanlah metode untuk mengahsilkan teori. Teori adalah tindak kreatif yang lahir dari pikiran yang menggegam informasi. (Hal 37.)

Historitas
Historitas dalam antropologi dipahami sebagai sarana memperjuangkan kesejahraan sistem-sistem yang diteliti , sehingga dalam aspek historis ini dapat ditinjau pada, pertama, perbedaan antropologi dengan ilmu-ilmu alam seperti fisika dimana didalmnaya terdapat sisitem-sistem yangbersifat repetitive yang telah mengalami perubahan yang sistematik. Kedua, system terbuka, jenis system yang dihadapi oleh antropolog adalah ssitem terbuka, memang pada intinya semua system bersifat terbuka .berbeda dengan ahli ilmu alam yang nampakanya berhasil dalam meyatakan kondisi-kodisi tertutup. Ketiga, isu-isu sosial, ilmu-ilmu sosial sering meghadapi masalah yang terkait dengan kepentigan public. Ke-emapat ideology, disini berguna menentukan mana teori yang bermanfaat atau yang keliru sekalipun.(hal 40)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi: Simulasi dan Hiperrealitas dalam film SIMONE

   Ciri khusus genre film sains fiksi Holywood kerap kali mengetengahkan ide tentang keunguulan komputerisasi sebagai satu-satunya instrument penting industri film Amerika serikat dewasa ini. Ilustrasi dimensi ruang dan waktu dalam virtualisasi kapsul digital menjadi penanda dimulainya  era digitaliasi sebagai tema mainstrim performativitas film Holywood, setidaknya 10 tahun belakangan.       Dari sekian banyak film bergendre sains fiksi, salah satu yang masuk kategori film favorit-ku tahun 2011 jatuh pada SIMONE. Film besutan sutradara Anderew Nicola yang dibintangi aktor Alpacino ini, sempat direkomendasikan oleh ketua prodi Kajian Budaya dan Media, Prof. Heru Nugroho sebagai salah satu dari sekian banyak tugas mata kuliah teori kritis dan posmodernisme.       Sekedar catatan, melalui film ini setidaknya kita diajak berkenalan dengan sejumlah teori postmodernisme. Lewat Simone memungkinkan siapa saja bisa mengenaliasis fenomena  digitaliasi masyarakat kontemporer.  Ter

Menjadi Abnormal

#Tulisan lawas- Juli 2009     P erkembangan teknologi informasi memungkinkan siapa saja terlibat aktif menjalin hubungan dengan siapapun dan dimanapun. Perangkat jejaring sosial   yang akhir-akhir ini digandrungi hampir semua kalangan, menjadi petanda bahwa teknologi informasi dan komunikasi adalah salah satu instrument penting dalam   prasayarat pergaulan sosial. Meskipun stigma ini belum menjadi dasar   pembenaran.    Berbicara soal peluang dan kesempatan terkait situs jajaring sosial. Saya punya pengalaman unik, aneh dan mungkin bisa dibilang berlebihan. Kejadian ini bermula ketika   sebagian   teman-teman kampus   jadi pengguna aktif friendster salah satu situs jejaring sosial. Awalnya,   Jamil kerabat saya se-kampus dan juga se-kampung meperkenalakan mesin ini. Dari dialah cerita kecanggihan friendster yang katanya sanggup membuka akses komunikasi virtual dengan siapa saja dari pelosok dunia, terpaksa   saya mengharuskanya membuatkan accout di situs itu.      Sebena