Berawal
dari perbincangan beberapa orang teman di Yogyakarta, perihal armada
transportasi darat khusus rute
Yogyakarta- Surabaya. Kebanyakan mereka merekomendasikan bus EKA sebagai moda
transportasi kelas eksekutif dengan tarif lumayan terjangkau. Berdasarkan
tuturan dan kesaksian mereka, setidaknya saya mendapat gambaran bahwa bus EKA
tidak hanya menyedikan jumlah armada yang relatif tersedia hampir setiap jam,
namun armada yang mengawali rutenya dari Magelang- Surabaya pp ini, pun mampu
menciptakan kenyaman selama perjalanan anda, meski dibandrol dengan tariff Rp.63.000
untuk rute jauh seperti Yogyakarta- Surabaya yang tergolong ‘murah’.
Salain
dua hal diatas tadi, salah satu keunggulan bus ini menurut versi mereka yang
sudah loyal menjadi ‘jamaah’ bus ini, saban kali ke Surabaya adalah
ketersedianya menu makan di rumah makan Duta Kabupaten Ngawi, Jatim. Dengan
hanya mengeikhlaskan 63 ribu jumlah tersebut sudah termasuk memilih salah satu
dari lima menu yang dikhususkan buat penumpang bus EKA di rumah makan tersebut.
Kesaksian
teman –teman di atas inilah yag menjadi ajuan saya, pada akhirnya mempengaruhi
pilihan armada untuk rute Surabaya.Meski sebenarnya saya mungkin terbantu
dengan adanya layanan travel, namun pada akhirnya saya merasa tertantang
mencoba bus ini. Pengalaman pertama saya dengan bus EKA ketika ke Surabaya pada Juli 2011 silam. Saat itu
kawan Wawan yang menganjurkan hingga mengantar-ku ke terminal Giwangan Yogyakarta
tempat armada ini mangkal . Setibanya di terminal, saya hanya membutuhkan
sekitar 10 menit untuk selanjutnya bus bercorak putih dan sdikit kombinasi kuning merah ini langsung
bergegas meninggalan pangkalanya. Meskipun pun seingat saya, saat itu baru ada
sekitar 15 penumpang, namun karena kepatuhanya pada waktu inilah yang menjadi
dasar kedisiplinan mengutamakan waktu oprasional.
Begitu
pun ketika saya hendak pulang kampong. Mengawali rute dari Surabaya demi
mengejar tariff tiket promo pesawat ke Makassar di Bandara Juanda. Bus EKA
tetap menjadi pilihan melaju ke Surabaya. Dari terminal berangkat tepat pukul
7.00 malam,serasa armadanya hanya dikuasai oleh beberapa orang saja, hingga
berhenti di terminal Tirtongadi Solo, bergegas penumpang mulai banyak memadati
sejumlah kursi kosong di bagian belakang dan akhirnya saya pun harus rela kehilangan
kursi karena sempat turun ke toilet. Saya pun kembali menghitung, di terminal
ini bus hanya berhenti sekitar 10 menit lalu menuju perjalanan panjang ke arah
timur pulau Jawa.
Di
dalam bus bermesin Hino RK2HR
ini, saya hanya memilih ditemani alunan suara lembut Frau. Sambil sesekali menoleh dibalik jendela melihat
berbondong-bondong sejumlah warga berjalan menuju masjid, tak ketinggalan
remamuda satu persatu terlihat melintas dengan motor berkenalpot ‘ribut’ bersarung
dan berbaju koko beriringan sepanjang jalan. Perempuan bermukena sambil
berbincang sesama terlihat menuju sumber suara muadzin. Malam itu ruapanya tepat awal Ramadhan. Tak heran sejak
pukul 7.30 malam sebagian ruas jalan di kota Solo yang menjadi lintasan Bus Eka dipadati jamaah
tarawih. Suasana seperti ini lantas segera mengingatkan pada saat-saat ramadhan
di kampong halaman. Melamun dan terus mengoleksi memory tentang Ramadhan di sebuah kota kecil, ujung utara
Sulawesi (Kota Bitung)
Tepat
pukul 11 malam, sesuai standar fasilitas bus kelas eksekutif, penumpang dijamu
makan malam di rumah makan Duta Kabupaten Ngawi. Rumah makan ini rupanya sudah
menjadi bagian dari bisnis tranportasi ini . Tapi segara saya tidak terlalu
berlama-lama dengan khalyalku.Karena saya sudah terlanjur cukup lapar, terpaksa
memilih nasi ayam bakar beserta secangkir kecil teh manis, untuk porsi dua
orang.
Lagi-lagi
bus ini tetap disiplin urusan waktu. Penumpang hanya diberikan waktu kurang lebih 10-15 menit untuk santap malam.
Selanjutnya menghitung sisa waktu dengan isi perut yang lumayan kenyang saya
beralih menikmati perjalanan dengan alunan Risky Summerbee bertajuk On A Bus. Cukup representatif hingga
mengajak ku terlelap.
Sejarah Bus EKA
Sekedar
catatan (sejarah) bus EKA yang sempat diulas
Blogger Nanang Himawan, menyebutkan pada 1971 seorang pengusaha tekstil Fendi Haryanto
awalnya mendirikan PO Flores dan PO Surya Agung dengan rute
Malang-Surabaya-Ponorogo yang selanjutnya bakal menjadi cikal bakal PO
Eka/Mira.
1981, Klimaks kebangkrutan dari PO. Flores, ketika mengalami
kecelakaan hebat di daerah Karang Anyar, Bis yang dikemudikan Marwan berisi
rombongan pelajar SMP Wijana Jombang yang melakukan study tour (karya wisata)
ditabrak Kereta Api dan merenggut banyak korban jiwa. Imbasnya, oleh DLLAJR
Pusat (sekarang Dishub) PO Flores dilarang melayani trayek AKAP (Antar Kota
Antar Propinsi) sehingga PO ini hanya beroperasi sampai dengan Mantingan
(perbatasan Jatim – Jateng ). Akibat sanksi tersebut PO Flores banyak penumpang
luar propinsi yang akhirnya beralih ke PO lain karena menghindari resiko harus
oper di mantingan. Jika hal ini dibiarkan bisa-bisa PO.Flores kolaps/gulung
tikar
Walhasil
pihak manajemen segera mengatasi polemic tersebut.Akhirnya mambuat PO.EKA dan
MIRA yang diambilkan dari nama anak-anak Bp Fendi Haryanto, sehingga terdapat 4
PO dalam 1 manajemen dengan fungsinya sebagai berikut;
PO.EKA
=> Berangkat pada Pagi-Petang hari;
PO.MIRA
=> Berangkat pada petang – pagi hari;
PO.FLORES
=> difokuskan trayek Surabaya – Ponorogo PP;
PO.SURYA
AGUNG => Malang – Surabaya – Madiun – Ponorogo/Magetan PP.
Satu
hal yang menarik yaitu pengambilan nama anak untuk dijadikan sebagai merek
bisnis keluarga. Tentunya sepintas barangkali kita akan dengan medah
beranggapan bahwa imperium bisnis keluarga ini bakal menjadi warisan turun
temurun dari sederet nama-nama anak yang memungkinkan meneruskan usaha/binis
transportasi. Anggapan ini tentunya ada benarnya, meningat bisnis ini diawali
oleh seorang pengusaha yang dapat dipastikan tetap dikendalikan oleh anak dan
keturunannya kelak.
Selanjutnya Tahun
1990 PO Eka membuat terobosan dengan meluncurkan 1 buah armada ber-livery biru
yang melayani rute Surabaya – Madiun – Solo – Jogja PP menggunakan mesin Nissan
Diesel CB dengan karoseri Malindo yang pada waktu itu sedang jadi tren (seperti
adiputro sekarang). Namun itu tidak bertahan lama karena dalam waktu beberapa
bulan bus yang dikemudikan Darno ini mengalami kecelakaan hebat yaitu menabrak
truk bermuatan elpiji. Kejadian itu menewaskan sang pengemudi dari
menghanguskan bus tersebut. Hal itu tidak menyurutkan langkah PO EKA-MIRA untuk
tetap melanjutkan ekspansinya ke rute Surabaya – Madiun – Solo – Jogja PP.
Sekitar 2 tahun kemudian semua armada PO EKA-MIRA telah melayani rute tersebut,
dan mengganti warna dasar armada-armadanya yang tadinya putih menjadi abu-abu
berikut dengan livery-nya.
Karena dirasa tidak lagi memberikan kontribusi maksimal dan
untuk meremajakan armadanya, seluruh armada PO Flores dan PO Surya Agung
sebanyak 52 unit yang seluruhnya bermesin Mitsubishi BM dijual ke PO AKAS II
beserta trayek, kru dan teknisinya. Inilah akhir bakti kepada manajemen dan
sekaligus akhir riwayat dari kedua PO ini. Sekitar tahun 1992 manajemen kembali
membuat terobosan dengan meluncurkan PO ITA (berasal dari nama anak Ibu MIRA)
yang melayani rute AKDP Surabaya – Madiun – Ponorogo PP.
pada tahun 1993 Manajemen membeli 27 unit chasis Hino AK
176, terdiri dari 25 unit berchasis panjang dan 2 unit masih menggunakan chasis
pendek. Chasis-chasis tersebut disiapkan untuk armada-armada ber-AC. EKA dan
MIRA maing-masing mendapatkan bagian 10 unit armada ATB (AC Tarip Biasa),
sedangkan ITA mendapatkan bagian 2 unit. Sisanya 5 unit chasis disiapkan untuk
menjadi armada PATAS (sebelum menjadi CEPAT). Dari armada-armada inilah cikal
bakal EKA CEPAT berasal sebagai upaya penjajakan merambah ke segmen kelas non
Ekonomi.
Armada EKA CEPAT berkembang menjadi pilihan di jalurnya
seiring dengan mulai digantikannya armada-armada Hino AK 176 dengan
armada-armada bermesin belakang seperti Nissan Diesel RB dan Hino RK2HR.
Perlahan-lahan EKA CEPAT mulai mampu menyisihkan pesaing-pesaingnya, dan
menjadi pilihan utama sekaligus pemain tunggal di jalurnya.
Saat ini EKA CEPAT melayani Surabaya-Solo-Jogjakarta
-Magelang dan Surabaya-Solo-Salatiga-Semarang. dan Bis EKA merupakan
satu-satunya PO yang mengoperasionalkan BUS eksekutif yang sudah tidak ada
pesaingnya. Pesaing armada CEPAT/EKA hanya bis PATAS AKAS itupun sudah tidak
ada lagi sejak tahun 2006-2007 karena kalah bersaing dengan Bis CEPAT/EKA.
Akhirnya, meski tidak mendapat kompensasi apapun dari
manajemen, saya layak berterimakasih atas tersedianya armada kelas eksekutif
dengan tariff yang terjangkau. Pun pada kenyatanya melalui tulisan ini saya
turut mempromosikan. Tetapi tidak hanya bus ini, pastinya masih banyak armada
lain yang jauh lebih terjangkau, jadi hak anda memilih. []
Bitung, 28, Juli, 2012
Komentar
Posting Komentar