Langsung ke konten utama

AMARAH




Cinta dan benci adalah dua hal yang sifatnya sangat tipis dibedakan jika tersandung pada sesorang yang saling mencinta. Ke-duanya memiliki daya tarik menarik, seketika bisa saling melemahkan tetapi bisa saling menguatkan. Dan kamu tahu, tanpa sifat benci  rasa-rasanya cinta tak akan mungkin terdefiniskan. Bagi ku, cinta hadir ketika kita sudah mengenal kebencian, juga sebaliknya semua mahluk akan mengenal benci jika telah mampu memahami cinta. Perkara saling mengenal kedua sifat ini niscaya telah ada dalam nalar purba manusia. Mahluk semacam Hitler sekali pun tentu memiliki cinta, setidaknya cinta pada tanah air dan ras Aria nya.
Lalu di mana posisi amarah? Ia selalu menelikung di setiap celah kebencian dan sesekali  nampak sungkan di moment percintaan. Sekiranya kita telah berlaku tidak adil, bahwa dalam hubungan percintaan selalu yang dituntut adalah peran mencinta. Bagi ku, ini argumentasi tak bijak. Amarah, layak diposisikan setera dengan cinta. Ia menjadi senyawa penguji kualitas kadar cinta mengendap.
Amarah selalu disematkan pada upaya memaafkan. Tapi perlu kamu tahu, aku bukanlah pemaaf terhebat yang kau kenal. Aku adalah adalah pemarah yang kau temui di sisa-sisa keikhlasan masa lalu mu.  Hal-hal terkait dengan mu beberapa tahun silam  adalah sosok mu hari ini. Masa lalu mu selalu aktual untuk disimak. Penuh semak egois dan tak mampu menyerap kedamaian. Bayang-banyang-nya adalah album romantik yang terpajang rapi di atas tumpukan kertas putih tak kusut.  Ia tak akan lenyap walau sejenggal dalam ingatan mu. Serupa pohon cemara di depan rumah, rimbun dengan semak belukarnya.
Selain pemarah aku adalah pencemburu paling akut, menyimpan dendam. Terlanjur sulit menangkap energi kedamaian pada diri ku.  Suatu hari aku dipaksa menelan pil pahit, tapi berhasil ku muntahkan di depan telungkuk kaki mu. Bukanya membantu meredam onak, kamu menyisipkan belati tak bertuan itu tepat di perut sebalah kiri. Suara ku menyeruak berusaha menyebut nama mu, tapi nalar ku terjebak dalam riak getir kebencihan. Tak ada lagi senandung cinta yang ku rajut,. Benci membuat benangnya kusut tak terurai lagi. Benci kini menjadi panglima memandang setiap gerak mu. Benci berkawan baik dengan amarah, ia tak ubahnya kidung sepi yang menghunjam nalar. Memlih merawat kemarahan adalah memilih berjarak dengan sosok mu yang perih itu. Biarlah kengerian ini membalut bekas sayatan belati mu. Aku sudah terbiasa menikmati kesakitan. Kesakitan adalah kenikmatan maha dahsyat, setalah kematian menjadi sandaran kesunyian terakhir.[]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resume Buku Teori Budaya, karya David Kaplan dan Robert Manners

Antropologi “ metodologi dan pokok soal dalam penyusunan teori” Pada pembahasan awal Buku karya Kaplan dan Manners yang bertajuk teori budaya ( the teory of culture ) mengetengahkan masalah mendasar Antropologi sebagai suatu bidang pengetahuan yang mendisiplinkan diri dalam kaidah ketat epistemology,   pada akhir abad sem bilan belas. Menurut keduanya, pokok –pokok problem yang diperhatikan Antropolog dapat diringkas menjadi dua pertanyaan besar yang saling terkait, yaitu   pertama, bagaimanakah berkerjanya berbagai system budaya yang berbeda-beda? kedua, bagaimanakah sistem-sistem budaya yang beraneka ragam itu   mendapat tempat seperti saat ini? (Kaplan &Manners hal 2)                 Problem mendasar dalam uraian akademis yang dikemukakan oleh Kaplan dan Manners tersebut,   merujuk pada pemahaman mengenai perbedaaan   pada setiap budaya, baik dari segi ruang maupun waktu, dimana semua budaya sama. Sehingga keduanya beranggapan memungkinkan disiplin Antropologi t

Resensi: Simulasi dan Hiperrealitas dalam film SIMONE

   Ciri khusus genre film sains fiksi Holywood kerap kali mengetengahkan ide tentang keunguulan komputerisasi sebagai satu-satunya instrument penting industri film Amerika serikat dewasa ini. Ilustrasi dimensi ruang dan waktu dalam virtualisasi kapsul digital menjadi penanda dimulainya  era digitaliasi sebagai tema mainstrim performativitas film Holywood, setidaknya 10 tahun belakangan.       Dari sekian banyak film bergendre sains fiksi, salah satu yang masuk kategori film favorit-ku tahun 2011 jatuh pada SIMONE. Film besutan sutradara Anderew Nicola yang dibintangi aktor Alpacino ini, sempat direkomendasikan oleh ketua prodi Kajian Budaya dan Media, Prof. Heru Nugroho sebagai salah satu dari sekian banyak tugas mata kuliah teori kritis dan posmodernisme.       Sekedar catatan, melalui film ini setidaknya kita diajak berkenalan dengan sejumlah teori postmodernisme. Lewat Simone memungkinkan siapa saja bisa mengenaliasis fenomena  digitaliasi masyarakat kontemporer.  Ter

Menjadi Abnormal

#Tulisan lawas- Juli 2009     P erkembangan teknologi informasi memungkinkan siapa saja terlibat aktif menjalin hubungan dengan siapapun dan dimanapun. Perangkat jejaring sosial   yang akhir-akhir ini digandrungi hampir semua kalangan, menjadi petanda bahwa teknologi informasi dan komunikasi adalah salah satu instrument penting dalam   prasayarat pergaulan sosial. Meskipun stigma ini belum menjadi dasar   pembenaran.    Berbicara soal peluang dan kesempatan terkait situs jajaring sosial. Saya punya pengalaman unik, aneh dan mungkin bisa dibilang berlebihan. Kejadian ini bermula ketika   sebagian   teman-teman kampus   jadi pengguna aktif friendster salah satu situs jejaring sosial. Awalnya,   Jamil kerabat saya se-kampus dan juga se-kampung meperkenalakan mesin ini. Dari dialah cerita kecanggihan friendster yang katanya sanggup membuka akses komunikasi virtual dengan siapa saja dari pelosok dunia, terpaksa   saya mengharuskanya membuatkan accout di situs itu.      Sebena