Cinta dan
benci adalah dua hal yang sifatnya
sangat tipis dibedakan jika tersandung pada sesorang yang saling mencinta. Ke-duanya
memiliki daya tarik menarik, seketika bisa saling melemahkan tetapi bisa saling
menguatkan. Dan kamu tahu, tanpa sifat benci
rasa-rasanya cinta tak akan mungkin terdefiniskan. Bagi ku, cinta hadir
ketika kita sudah mengenal kebencian, juga sebaliknya semua mahluk akan
mengenal benci jika telah mampu memahami cinta. Perkara saling mengenal kedua
sifat ini niscaya telah ada dalam nalar purba manusia. Mahluk semacam Hitler sekali
pun tentu memiliki cinta, setidaknya cinta pada tanah air dan ras Aria nya.
Lalu di mana
posisi amarah? Ia selalu menelikung di setiap celah kebencian dan sesekali nampak sungkan di moment percintaan. Sekiranya
kita telah berlaku tidak adil, bahwa dalam hubungan percintaan selalu yang
dituntut adalah peran mencinta. Bagi ku, ini argumentasi tak bijak. Amarah, layak
diposisikan setera dengan cinta. Ia menjadi senyawa penguji kualitas kadar
cinta mengendap.
Amarah
selalu disematkan pada upaya memaafkan. Tapi perlu kamu tahu, aku bukanlah pemaaf
terhebat yang kau kenal. Aku adalah adalah pemarah yang kau temui di sisa-sisa
keikhlasan masa lalu mu. Hal-hal terkait
dengan mu beberapa tahun silam adalah
sosok mu hari ini. Masa lalu mu selalu aktual untuk disimak. Penuh semak egois
dan tak mampu menyerap kedamaian. Bayang-banyang-nya adalah album romantik yang
terpajang rapi di atas tumpukan kertas putih tak kusut. Ia tak akan lenyap walau sejenggal dalam
ingatan mu. Serupa pohon cemara di depan rumah, rimbun dengan semak belukarnya.
Selain pemarah
aku adalah pencemburu paling akut, menyimpan dendam. Terlanjur sulit menangkap
energi kedamaian pada diri ku. Suatu
hari aku dipaksa menelan pil pahit, tapi berhasil ku muntahkan di depan
telungkuk kaki mu. Bukanya membantu meredam onak, kamu menyisipkan belati tak
bertuan itu tepat di perut sebalah kiri. Suara ku menyeruak berusaha menyebut
nama mu, tapi nalar ku terjebak dalam riak getir kebencihan. Tak ada lagi
senandung cinta yang ku rajut,. Benci membuat benangnya kusut tak terurai lagi.
Benci kini menjadi panglima memandang setiap gerak mu. Benci berkawan baik
dengan amarah, ia tak ubahnya kidung sepi yang menghunjam nalar. Memlih merawat
kemarahan adalah memilih berjarak dengan sosok mu yang perih itu. Biarlah kengerian
ini membalut bekas sayatan belati mu. Aku sudah terbiasa menikmati kesakitan. Kesakitan
adalah kenikmatan maha dahsyat, setalah kematian menjadi sandaran kesunyian
terakhir.[]
Komentar
Posting Komentar