Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2012

Review : ‘’Saussure And the Origin Of Semiotics’’. Karya Hodge dan Kress

Tulisan ini adalah hasil pembacaan saya atas artikel ‘’Saussure And the Origin Of Semiotics’’ karya Robert Hodge dan Gunther Kress, Professor semiotika pada University of Western Sydney dan Institute of Education University of London. Sekaligus tulisan ini ‘tiket masuk’ kelas semiotika media di prodi kajian budaya dan media.        Setelah membaca tulisan ini, saya mencoba memberikan beberapa tinjauan. Pertama, bahasa yang menjadi acuan lingustik Saussure terkait erat dengan proses yang ada dalam kehidupan manusia sebagai sebuah fakta sosial. Bahasa sebagai fakta sosial ini selanjutnya dianalisa berdasarkan strukturnya melalui penjabaran dikotomis antara: Langue dan Parole, sinkronis dan diakronis, signifier dan signified, serta sintagmatik dan paradigmatic. Sehingga dapat dikatakan semua realitas sosial bisa dianalisa berdasarkan pendekatan srtuktuktural yang tidak terlepas dari aspek kebahasaan (linguistic term) ketika membaca pemikiran Saussure seolah-olah kita diajak berdiolog

ON A BUS EKA

Berawal dari perbincangan beberapa orang teman di Yogyakarta, perihal armada transportasi  darat khusus rute Yogyakarta- Surabaya. Kebanyakan mereka merekomendasikan bus EKA sebagai moda transportasi kelas eksekutif dengan tarif lumayan terjangkau. Berdasarkan tuturan dan kesaksian mereka, setidaknya saya mendapat gambaran bahwa bus EKA tidak hanya menyedikan jumlah armada yang relatif tersedia hampir setiap jam, namun armada yang mengawali rutenya dari Magelang- Surabaya pp ini, pun mampu menciptakan kenyaman selama perjalanan anda, meski dibandrol dengan tariff Rp.63.000 untuk rute jauh seperti Yogyakarta- Surabaya yang tergolong ‘murah’. Salain dua hal diatas tadi, salah satu keunggulan bus ini menurut versi mereka yang sudah loyal menjadi ‘jamaah’ bus ini, saban kali ke Surabaya adalah ketersedianya menu makan di rumah makan Duta Kabupaten Ngawi, Jatim. Dengan hanya mengeikhlaskan 63 ribu jumlah tersebut sudah termasuk memilih salah satu dari lima menu yang dikhususkan buat

Dari ART JOG 12 Hingga Representasi Subjek ‘Timur’

Takjub dan terkesima, mungkin terlalu berlebihan. Tetapi itulah ekspresi kekaguman ketika bertandang ke pameran seni rupa   terbesar di Yogyakarta. Mulanya saya sama sakali tidak menduga kalau event ini hanya sebatas ajang performatifitas seniman yang ada di yogya saja. Tapi dugaan itu harus ku koreksi ketika saya dan beberapa kawan baru mengetahui   bilamana pameran tersebut telah melibatkan kurang lebih 103 perupa, dari Indonesia dan beberapa seniman asing. Mendengar kabar itu saya sedikit bergumam, rupanya ini bakal menjadi moment sekadar memanjakan indera sembari belajar mengasah sensitifitas seni, sekaligus turut merayakan keberuntungan nasib memlih Yogya sebagai alternative pendidikan. Sebab kota ini  harus diakui, tergolong tidak pernah perhenti berdenyut dari aktivitas berkesenianya. Berlokasi di gedung kesenian Taman Budaya Yogyakarta, event Art-Jog12 ini berlangsung sejak 14 Juli hingga 28 Juli nanti. Nah, berikut ini saya sekedar menceritakan hasil pandangan mata se

Sejarah Pembangunan [Developmentalisme] (Telaah Arkeologi Foucultian Dalam Diskursus Pembangunan/Dunia Ketiga)

Latar belakang tulisan ini adalah respon dari keterlibatan saya dalam perbincangan mengenai polemik kedudukan postrukturalis dalam tataran metedologi dan ranah praksis. Konon, kedua tataran tersebut  mendapat gugatan karena dituding mengalami keretakan epistemologi dan ontologi dalam memahami kemelut kapitalisme. Hingga pada akhirnya, diklaim terjebak dalam kehanyutan kemapanan ‘’status quo’ ilmu pengetahuan [?]         Namun, melalui tulisan ini saya tidak berhasrat ingin mempertanyakan lagi perihal argument tersebut. Akan tetapi, saya hanya ingin menunjukan sumbangsi pemikiran Foucault dalam Cultural studies dan kajian ilmu sosial kontemporer.    Mengawali tulisan ini saya mencoba memberikan tinjaun seputar penerapan konsep kekuasaan (power) perspektif Foucaultian. Terutama terkait pada bagaimana kekuasaan menjadi  instrumen utama dalam mengamati  ketimpangan yang dilatari oleh adanya kekuatan 'dominan' dalam peta sejarah panjang umat manusia, yaitu: kapitalis

Review: A New Criminal Type In Jakarta, Karya James T. Siegel (Sebuah Ulasan Etnografi Media)

Buku: A new Criminal Type In Jakarta Di awal pembukaan (pendahuluan) buku ini, Antropolog James Siegel mencoba mengintrodusir persitiwa   penting dalam sejarah Indonesai pada tiga gelombang utama, meliputi:   tahun 1949 peralihan kedaulatan dari Belanda   kepada Negara Indonesia merdeka. Gelombang berikutnya Siegel menempatkan peristiwa pada tahun 1948, selama berkecamuknya revolusi, kaum yang mengkalim dirinya sebagai nasionalias memerangi golongan komunis yang sebenarnya juga nasionalias. Hasilnya fakta sejarah terungkap bahwa   angka kematian dipastikan tergolong besar. Kemudian pada tahun 1965, terjadi pembantaian orang-orang komunis Indonesia dan siapa saja yang dituduh komunis   (Siegel:2000: 1) Tiga gelombang besar ini bagi Siegel setidaknya menjadi penanda, betapa pembantaian/pembunuhan menjadi dalih yang sekaligus ambigu demi membenarkan perilaku dan tabiat rezim berkuasa (baca: orde baru). Secara   kritis Seigel telah memberikan petunjuk ‘idelogis’ dalam peta diskurus re