Sebenarnya tak
ada yang perlu dirisaukan tentang ku. Saya bukan lelaki penganut bualan kata
manis, tapi lumpuh praksis. Upaya membahagiakan-mu adalah perkara
memotong waktu. Serupa membabat gerembolan rumbut liar dari halam rumah
mu. Saya cukup membutuhkan parang kecil serta kelincahan gerak saja. Kamu tak
perlu mengajari ku tentang hal-hal terkait pembuktian setiap kalimat yang
ku lontarkan di malam itu. Sebab semua tentang ku adalah sejarah penaklukan. Termasuk kemampuan
ku menaklukan jiwa subtil mu kandas di bawah kelenturan lidah ku. Bukankah dahulu
saya adalah pribadi yang membuat mu gemas, meski sekedar berbisik dikuping mu.
Nampaknya kamu
lupa, ketika saya dan dirimu melepas penat di sebuah warung makan, diringi
suara parau pengamen jalanan. Saat itu saya hadir membuktikan kata dan janji ku
tepat waktu. Walau memang urusan percintaan kita kali ini datang tak tepat
waktu. Selalu ada penyesalan terselip dalam percakapan kita. Seperti ketika
kamu mengatakan ‘’duh sayang ya.. nanti
saat ini kita baru ketemu’’, atau dengan kalimat: ‘’coba saja kemarin kamu datang’’. Ah tak mengapa gumam ku, toh Hidangan
Mie-Titi ini rasanya selalu sama, tak banyak yang berubah. Kecuali cara mu
memperlakukan-ku, seolah saya adalah lelaki yang baru pertama kali pacaran. Sama
seperti kamu mengomentari pengalaman ku menyantap mie titi itu.
Ah sudahlah, barangkali kamu butuh istirahat
panjang, menenangkan pikiran mu, agar besok pagi pulih memanggil kenangan itu. Moment
di mana kamu merasa diperlakukan sepantasnya dan sehormat-hormatnya.[]
Komentar
Posting Komentar