Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2011

Indusrti Budaya Ditengah “Pencerahan” yang Menipu

Review : The cultural industry: Enlightemant as mass deception ( Max Horkheimer dan Theodore Adorno) M ax Horkheimer dan Theodore Adorno, pentolan pemikir madzhab Frankfrut melalui tulisan-nya “ The cultural industry: Enlightement as mass deceptiont”, secara tajam mengkrtisi fenomena industri budaya pada sekitaran tahun 1950-an- yang dinilai masih menuai problem. Budaya massa menurut mereka terjebak dalam istilah “pencerahan”. Dimana pencerahan tersebut justru terkandung penipuan/muslihat di dalamnya. Pencerahan: ilusi dan manipulasi massa             Bagi Adorno dan Horkhaimer, kehadiran media massa seperti televisi, film dan majalah (untuk konteks saat itu ) turut andil dalam perkembangan industry budaya. Betapa tidak, kehadiran media massa tersebut berhasil melakukan standarisasi serta penyeragaman terhadap produk budaya. Masayarakat/khalayak baik secara sadar dan tidak, ternyata telah digerakan secara masif membutuhkan  produk budaya tertentu. Di point inilah industri kapitalis

Jalan-jalan ke museum permainan anak - kolong tangga Yogyakarta

Oleh: Nur Allan Lasido Kontributor: jurnal tanggomo di Yogyakarta Saat memasuki kompleks taman budaya Yogyakarta, di akhir pekan, 21/10. Nampak keramain cukup memadati kawasan kebanggan warga yogjakarta itu. Sesuai informasi, taman budaya yogjakarta tersebut,di dalamnya terdapat museum yang dikhsuskan untuk koleksi permainan anak – anak, baik dari Indonesia juga mancanegara. Bertempat di lantai dua, gedung Societe, meski bukan museum besar tetapi masih menyimpan koleksi original, museum ini hadir menyapa ruang memory masa kecil bagi pengunjung dewasa seperti saya ini. Sebelum masuk dan mendaftarkan diri sebagai pengujung,saya berhenti sejenak sekedar mengamati dari bilik jendela kaca . Nampak kesan dunia anak-anak begitu terasa, dalam benak, saya menemukan diriku 16 tahun lalu. Bergegas saya menuju tempat membelian tiket, tidak jauh dari saya berdiri, dua boneka berukuran jumbo siap menjamu anda. Setelah mendaftarkan diri, saya ditemani Primi, salah seorang pemandu yan

Bernazar di Makam Syekh Yusuf

Siapa yang tidak mengenal sosok Syekh Yusuf, Sufi besar kharismatik yang tidak hanya populer di tanah kelahirannya, Gowa. Nama besarnya sudah terlanjur menyejarah hingga dunia mengakuinya sebagai ulama agung yang gelar kepahlawanannya dimiliki dua negara: Indonesia dan Afrika Selatan. Menurut catatan sejarah, ulama bergelar Tuanta Salamaka ini adalah juru dakwah yang pernah mensyiarkan ajaran Islam hingga ke pelosok Afrika Selatan. Di negara tuan rumah Piala Dunia 2010 itu, putra angkat Raja Gowa Sultan Aluddin ini mengislamkan beberapa penduduk di sana, dan mengajarkan Tarekat Qadiniyyah, Shattariyyah, dan Rifaiyyah. Bagi kita yang hidup, ziarah kubur dilakukan untuk mengingat mati. Itu saja. Adapun membawa hewan, itu hanya untuk menyelesaikan nadzar yang sudah mentradisi. Sebetulnya hal itu tidak berkaitan dengan ajaran islam Ketika wafat pada tanggal 23 Mei 1699 beliau dimakamkan di Faure, Cape Town. Makamnya terkenal ‘Karamah’ dan ramai diziarahi banyak orang dari p

komodifikasi dan kapitalisme lanjut (tulisan kawan wawan)

Rasanya begitu sulit untuk tidak menyimpulkan bahwa arus kehidupan bergerak satu arah. Hari ini kecendrungan social secara jelas merefleksikan wajah masyarakat yang terus dilapisi kemapanan ekonomi. Hampir disetiap jengkal lapangan kehidupan kita diperhadapkan pada pilihan yang amat seragam. Dinamika dan interaksi manusia kini tengah terjebak dalam kurungan industrial dan materialisme. Sehingga cukup mudah untuk memahami bahwa ternyata tatanan dunia terseret ke suatu muara yang disebut kapitalisme. Eksistensi kapitalisme bukanlah sekedar jargon klasik kelompok kiri (leftist) tapi ia telah mewujud dalam sebagian besar sisi kehidupan manusia bahkan untuk sisi yang paling personal sekalipun. Masyarakat hampir tak memiliki ruang lain untuk berinteraksi selain dalam dunia artificial yang dikonstruk secara sistemik dan teratur oleh kapitalisme. Fenomena konsumerisme berhasil mengepung kehidupan lewat media massa dan iklan yang terus merajalela. Pergerakan pasar melahirkan sayap-sayap imaji d

Catatan yang tercecer: Mitos Indonesia Merdeka: Agenda Pemiskinan Tanpa Jedah

Bagi seorang yang berusia 64 tahun pahit getir kehidupan tentu sudah termatangkan. Romantisme masa muda kini tinggal kenangan. Tak jarang disetiap moment bersejarah tak luput diabdikan sebagai bukti eksitensi keberadaaan kita. Manusia selalu berusaha memberi kenagan bagi dirinya. Potret buram maupun sketsa gemilang dan jejak prestasi terus diupayakn untuk diabadikan. Wajar, usia manusia diberi jedah untuk bertahan di kolong bumi ini. Belum lagi penada usia semakin mencolok. Secara fisik daya cangkau mata mulai mengabur. Rambut mulai beruban dan paras wajah menampakan keriputan. Daya tahan tubuh mulai rentan terhadap lingkungan. Sebuah penanda kalau usia kita tidak lagi mudah. Tetapi belum tentu mereka rentah. Daya pikir mereka masih optimal dan tak jarang masih kita temukan karya-karya besar mereka digoreskan saat usia mulai senja itu.Mari kita bandingkan dengan orang-orang yang ada disekitar kita yang tahun kelahiranya samA dengan tahun Indonesia diproklamirkan. Pasti kondisinya berb