Seingat ku, pertama kali kita bersua hanya
sebatas mengandalkan perangkat teknologi. lewat Fesbuk, saya berhusaha menghadirkan
sosok virtual mu seolah sedang bercakap di depan ku. Rupa-rupanya kamu tak tahu
bahwa saya sedang memuji, juga sesekali sedang menguji . Saat itu saya sedang
menerawang mu, mencoba merasakan kejutan –kejutan apalagi yang bakal kau
tumbahkan walau hanya sapaan status terkini. Rasa-rasanya tak ada lelaki segembira
diri ku ketika menanti mu di penghujung sisa sisa penghabisan malam itu.
Perkara waktu bagi mu adalah upaya merangkai
senja berputar seirama dengan ayunan gerak pedal sepeda. Melewati setiap gang,
menghirup udara pagi, lalu sesekali kulit mu gosong terpapar matahari nyaris
tak kau hiraukan. Gerak mu seolah sedang bicara bahwa akulah yang angkuh itu. Akulah
sang batu yang tak akan tergoyah oleh guyonan lelaki. Tak akan pernah goyah
tentu ini adalah sebuah pengharapan. Bagi ku, sekecil apapun harapan itu asal masih
tentang hal- hal yang terkait dengan mu, entah itu
sisa pembakaran kemenyan di malam Jumat
kliwon kemarin, aroma khas keringat tubuh mu, hingga bekas lintasan sepada yang
kau gowes kencang di depan ku, selagi menyimpan jejak tentang mu, akan ku rekam
lalu dipajang pada etalase rumah ku. Perkara tentang jejak itu telah ku maknai
sebagai rintihan maha kudus yang pantas dirayakan.
Kamu masih berada pada titik itu, belajar dan
berkawan. Aku sebenaranya berada pada ruang ada dan waktu yang sama dengan mu. Namun
walau berada di Ruang dan waktu yang sama nyatanya tak selalu berbuah manis. Pada
akirnya aku menjadi pribadi yang kesulitan mempercayai adanya lintasan
kemungkinan-kemungkinan lain dalam ruang yang sama. Perindahan ruang jutru membentuk kenyamaan masing-masing.
Aku disini sedang merajut kenangan hasil terawangan mesin pemintal
kenangan. Sementara otak kanan mu masih lumpuh, kesulitan menangkap deretan
implus tentang ku. Saya adalah kesenyapan dan keheningan sekaligus bagi mu .
Tak apalah. Cukup obralan kita malam itu sudah
menjawab semua tentang mu menjadi arsip bernyawa. Sekali waktu ia mampu ku
panggil kapan pun. Anggap saja ini proses. Proses mencintai mu adalah proses pertapaan
terlama. Serupa Biksu Tong berkelana ke Barat mencari kitab suci. Kamu adalah
tumbukan kitab klasik yang harus dibaca tuntas . Membaca-mu tak bisa hanya
separoh kitab apalagi hanya sebatas paragaf pembuka semata. Membaca tentang mu
adalah usaha melawan lupa itu sendiri.
Aku
mencintai mu kini tak sepantasnya dengan cara sederhana, sebagaimana omongan Sapardi Djoko Damono yang terkenal itu. Mencintai
mu adalah hal terumit yang pernah ku temui. Serupa usaha ku membaca buku Filsaat klasik yang
tak kunjung khatam, harus ditelisik halaman demi halaman. Meskipun itu rumit,
saya selalu mampu menyederhanakan bilangan dan aksara tentang mu menjadi mudah
dipahami. Kenapa? Sebab selalu ada rindu yang tertunda nonggol dalam denyut ku.
[].
Komentar
Posting Komentar