#Tulisan lawas- Juli 2009
Perkembangan
teknologi informasi memungkinkan siapa saja terlibat aktif menjalin hubungan
dengan siapapun dan dimanapun. Perangkat jejaring sosial yang akhir-akhir ini digandrungi hampir semua
kalangan, menjadi petanda bahwa teknologi informasi dan komunikasi adalah salah
satu instrument penting dalam prasayarat
pergaulan sosial. Meskipun stigma ini belum menjadi dasar pembenaran.
Berbicara
soal peluang dan kesempatan terkait situs jajaring sosial. Saya punya pengalaman
unik, aneh dan mungkin bisa dibilang
berlebihan. Kejadian ini bermula ketika sebagian teman-teman kampus jadi pengguna aktif friendster salah satu situs jejaring sosial. Awalnya, Jamil kerabat saya se-kampus dan juga
se-kampung meperkenalakan mesin ini. Dari dialah cerita kecanggihan friendster
yang katanya sanggup membuka akses komunikasi virtual dengan siapa saja dari
pelosok dunia, terpaksa saya
mengharuskanya membuatkan accout di
situs itu.
Sebenarnya
niatku bergabung dengan jejaring virtual ini adalah rasa keingintahuan tentang pembicaraan
teman–teman di kampus seputar perangkat ini. Sampai-sampai tidak ada hal
menarik yang diceritakan kalau bukan berkembangan status terbaru atau komentar
terbaru di dinding atau di inbox para
pecandu facebook dan friendster.
Bermula
dari perkenalan dengan alat inilah saya bertemu orang-orang yang sama sekali
tidak ku kenal. Tapi ada juga beberapa ku kenal sebelumya dan dari merekalah
satu persatu namanama asing itu telah menjadi bagian dari sahabatku. Nah,
mereka yang baru ku kenal inilah paling banyak menyita waktu dan tentunya juga
ongkos. Bayangkan kita harus mengawali perkenalan dari saling sapa, bertanya
dimana berdomisili, atau sekedar basabasi. “Dimana sekolah/kuliah?, asal dari
mana?” Sampai pertanyaan yang tidak penting pun kerap kali ku lontarkan. Bahkan
tak jarang saling tukaran nomor ponsel, tentu ini bukan perkara sesaat.
Deposito yang seharusnya digunakan untuk menambah koleksi perpustakaan pribadi,
kini harus diikhlaskan untuk biaya browsing.
Minggu
pertama mengenal mesin ini membuat sebagian
aktivitasku bertambah satu kegiatan yang cukup menyita banyak waktu, yaitu nongkorong
di warnet. Mulai dari pagi ketika penjaga warnet masih terlelap, saya sudah ada di tempat itu. Jangan heran, ada satu warnet
penjaganya sudah hapal betul, username yang
biasa kupakai sebagai identititas dan
nomor kabin ditempati.
Saat
duduk di kabin nomor 10, dari sekian banyak situs yang harus dijelajahi saat
mata menatap di depan monitor. Hanya ada satu situs yang hinggap di kepalaku. Apalagi
kalau bukan friendster.com atau ada
juga generasi yang lebih canggih, Fuckbook.
Alias facebook.
Begitu
situs ini terbuka, jemariku menuliskan email
lengkap dengan password. Dan ahaa, dalam hitungan detik bermunculan satupersatu
deretan fitur. Tak ketinggalan mampir beberapa iklan. Kalo yang satu ini tidak
usah heran, bukan tidak mungkin medium yang melibatkan banyak orang (massa) bebas dari lirikan iklan. Selanjutnya,
muncul namanama teman yang sudah menuliskan pesanya di inbox. Susan misalnya, cewek asal Makassar ini beri ucapan
terimakasih sudah menjadi teman. Diapun balik bertanya. “Asal mana?, Kul/ker?“
itulah unggakapan lumrah dan memang penuh basabasi.
Di
dalam kabin berukuran 1x1 meter, jadi seperti ruang kendali. Deri tempat itu kita “berselancar” ke manapun
dalam jangkaun piranti maya. Termasuk sebuah situs yang hampir tiap kali ke warnet
selalu dikunjungi. Youtube Brocasting Streming.
Bagi saya, situs ini cukup membantu menemukan banyak cuplikan video apa saja
yang diinginankan. Tiba-tiba jemari saya spontan mengetik sederet kata “Demonstarsi
mahasisawa Makasar.”Sekejap bermunculan beberapa rekaman aksi dalam jumlah
cukup banyak. Tapi, kali ini saya tidak begitu tertarik berlam-lama dengan
situs ini. Selanjutnya cukup menekan tombol delate layar monitor beralih pada sebuah nama teman friendster. “Nirmalasari,” satupersatu
semua tentang wanita ini ku jajaki. Membaca profil, liat beberapa foto, hingga
sedikit memberi komentar, seperti kutulis di kololm komentar foto “wow seksi
sekali!”. Tanpa berharap dibalas.
Tak
terasa arloji sudah pukul dua siang. itu artinya, sudah dua jam
menghabiskan waktu dan tentunya juga biaya browsing di warnet ini. Padahal kondisi ini tidak separah dulu.
Kalaupun harus browsing paling lama
hanya sekitar setengah jam saja, itupun sudah cukup lama. Lain halnya sebuah
kondisi seperti ku lami saat ini. Dan parahnya, ternyata saya tidak kuasa
mengkopromikan keingananku untuk sehari saja tanpa membuka situs jejaring
sosial ini terasa cukup hambar. Setiap hari selalu kuluangkan waktu meski sesaat hanya sekedar
membuka situs ini. Sungguh konyol kurasa, bersapa dengan orangorang yang tidak
dikenal, basabasi murahan yang semsetinya tidak kulakukan. Tapi, kondisi ini
menjadi semacam ekstasi yang sulit terbendung.
*****
Hari
itu saya memutuskan tidak ikut kuliah’’Psikologi Komunikasi.” Keputusan ini
terpaksa ku jalani karena mustahil masuk
ruangan di saat temanteman sudah bubar. Kebiasaan begadang membuahkan hasil
sering telat kuliah pagi. Perjalanan ke kampus akhirnya ditunda. Aku
putuskan mampir ke warnet melihat pesan di inbox.
Saat membuka friendster, saya teringat ada orang yang pernah saya ajak gabung jadi . Ingatan-ku tertuju pada sebuah nama. Setelah lebaran lalu, kusempatkan
menjadi salah satu teman dari sosok cewek yang lumyan cantik, meski ini hanya
penglihatan “buta” sekilas lewat tabung ajaib monitor komputer.
Namanya
Amisha. Cewek Manado yang sebenarnya bukan orang asli daerah itu. Mulanya saya
mengenal-nya ketika liburan lebaran tahun lalu di kampung halaman-ku Mando. Dulu Ketika
browsing saya menemukan nick name-nya di salah seorang teman
maya-ku.
lama mengenalnya meski hanya diperantarai komunikasi jarak jauh via email, semuanya dirasa kian dekat.
Dunia semakin sempit, interval ruang dan
waktu menyusut drastis. Tidak ada batasan, tidak ada tabir
penghalang, semua terkoneksi dalam genggaman dan kelihaian jemari. Begitupun hasrat,
naluri instuisi bermutasi sesuai yang kita rasakan. Meski itu tampak samar
didepan mata. Kalau dulu teknologi tidak mampu menembus dinding dasar naluri
seseorang, tapi kali ini, teknologi jadi penghubung bagi jiwa yang absurd. Seperti ku-alami saat ini, ada suatu
keadaan di diri ku, mungkin bisa dibilang tabiat “buruk”. Yaitu, sangat
mudah percaya orang yang baru kukenal.
Dari
sinilah bermula ketergantungan-ku pada mesin jejaraing sosial kian menggila
ini. Tak tanggungtanggung dalam sehari ada empat kali ke warnet hanya sekedar
numpang lihat pesan atau koment darinya. Kian lama kian akut ketergantunganku
pada mesin ini. Sebenarnya bukan karena alat ini. Tapi, sosok gadis itu “menghipnotis” saya harus melototinya tiap
saat. Niatanku untuk ketemu dengan-nya
semakin kuat. Namun saya sadar, letak geografis menjadi halangan utama. Maklum,
saya di Makassar melanjutkan sisa kuliah sementara dia menetap di Manado.
Kini
harihari-ku banyak dihabisi di warnet.
Tidak puas di internet, kondisi ini berlanjut lewat medium SMS. Pesan terkirim dalam sehari cukup
fantastis. Pertanyaan tidak penting
selalu jadi pembuka Sms-an kami. Seperti menyapanya “Pa kabar Amisha?, lagi
ngapain?” Kalimat basi ini pun berlanjut dengan beragam topik. Pelanpelan
“obrolan“ kami menjurus ke soal sekolah, masa depan, persahabatan hingga yang
paling “Radikal” seperti budaya konsumtif, tak luput dibicarakan. Saya coba lontarkan
pertanyaan.
“Kenapa ya, wanita diidentik doyan belanja, sampaisampai sesuatu yang tidak mesti menjadi kebutuhan
tetap dibeli?” tanyaku berharap ada balas.
10
menit berlalu nada penunjuk pesan berdering diponsel-ku. Berlahan saya buka
inbox memebaca balasan-nya, namun argument-nya masih sangat standar. Pertanyaan
terkait kebiasaan sebagian wanita yang doyan belanja, dia mengomentari:
“Itu
si wajar karena wanita membutuhkan aksesoris yang lebih ketimbang lelaki.
Bohong, kalau tidak ada wanita yang tidak mau memerhatikan kondisinya, salah
satu cara yaitu dengan memenuhi semua kebutuhan penunjang penampilanya!”
Hahahah…
Pendapat ini langsung kujawab.
“Saat
ini tidak ada perbedaan antara kebutuhan dan keinginan. Kebutuhan sudah
bergeser menjadi keinginan. Indikasinya, konsumsi mengalahkan produksi, nilai
tanda mengalahkan nilai guna dan nilai tukar.Contoh gampangnya, jika kita
membeli produk import (apapun mereknya), bukan dilihat dari fungsinya tapi
justru dari gengsinya (kecenderungan seperti ini banyak melanda kaum muda perkotaan).
Dalam hal konsumsipun mereka cenderung memilih produk import ketimbang buatan
lokal. Lebih memilih makan di McDonalds
ketimbang di Mbok Berek. Padahal sajiannya hampir sama, yaitu dari ayam yang
digoreng!” balasku hingga muat empat SMS
terkirim untuk-nya.
Ada
banyak pendapat terlontar dari-nya, tapi tetap saja kupatahkan. Sampai akhirnya
dia terpaksa harus mengakihri SMS
dengan sebuah tanggapan yang kuanggap miris.
“Wajarlah,
saya masih terlalu dini. Harus banyak belajar, banyak hal yang belum saya tahu
Kalau kamu kan banyak pengalaman dan
pengetahuannya. Jadi tidak mudah dibodohi lagi.”
Ku
cernah kalimat itu, nampak keluguhan dan kepolosan masih dominan tersirat
darinya. Tapi bagi saya, jawabanjawaban-nya sudah-ku anggap cukup. Aku pun memaklumi
kapasitas pengetahuanya, lagi pula untuk cewek seusia SMU kelas tiga, tidak terlampau serius untuk
disikapi.
*****
Harihari-ku
kian runyam, berharap ada SMS balasan
dari-nya. Hampir setiap saat mataku melotot
didepan layar ponsel, hanya sekedar melihat balasan dari nomornya. Dan
lagilagi kehampaan harus menjadi teman setia menghabisi sisa waktu dalam
sehari. Setiap ada jedah, ditambah sedikit keberanian serta tanpa rasa malu,
jemariku cukup lihai menekan deretan tombol yang melekat diponsel ku. Sederet
kata ku tulis “Pa kabar?, tidak mengagu neh?”
Kalau dihitunghitung kalimat serupa sudah lebih dari lima kali ku kirim, tidak
ada satupun balasanya. Bosan menuggu jawaban, siang ini ku putuskan
meninggalkan rumah. Seperti biasa sy paling tidak bisa tahan seharian ditempatku.
Ada beberapa alasan dan alasan yang paling tidak bisa dikompromikan adalah soal
kondisi rumah saat siang hari panasnya minta ampun. Letak perumahan berada di pesisir
kota, jangan berharap dapat keteduhan walau sesaat itu tidak mungkin.!
*****
Tiba
di kampus saya menuju PKM (Pusat Kegiatan Mahasiswa) di tempat ini kuhabiskan
harihariku. Di halaman belakang sebuah
taman di dekat PKM kesejukan sangat terasa disekitar taman yang
biasa kami sebut Edenpark. Nampak pula dua kawanku membaca koran, tersirat keteduhan
dan sedikit keseriusan terpancar dari eksperi dua mahluk itu. Reza dan
Fahri ditemani secangkir kopi jadi penghangat suasana. Ada banyak tema
pembicaraan dua orang ini terkait pemeberitaan suratkabar yang barusan dibaca.
Namun obrolan mereka sempat tidak aku ikuti. Bukan karena saya terlambat
bergabung. Tapi, karena pikiran ini belum bisa fokus. Lalu kuputusan beralih
posisi ke lantai dua tepatnya di studio radio. Begitu melangka ke tempat itu
tidak ada satupun penyiarnya. Dan ini tentunya kesempatan saya mengotakatik
semua folder lagu dan mencari lantunan musik yang menghentak. “Marjinal”, jadi
pilihan paling pas buat memanaskan kupingku. Satu persatu kumasukan lagu ini
dalam playlist winamap. Kudengar
dengan khusuk suara khas vokalisnya, cukup memberi semangat dan sejenak melupakan
targedi SMS yang tak kunjung
digubris.
Hingga
jelang malam, tak satupun pesan darinya masuk di ponselku. Ingin rasanya saya
telpon dan kulancarkan hujatan ke arahnya. Namun, lagilagi ku tak kuasa
memberanikan diri. Muncul dugaan dibenak-ku. Salah satunya, pasti yang ada
dipikiran wanita itu aku hanyalah parasit yang kerab mengagung hidupnya atau
saya pecundang, tidak memiliki keberaniaan menemuainya. Tapi, kalau alasan “Pecundang,”
belum bisa diterima, bukan tidak berani tapi ini soal jarak. Cukup jauh
dijangkau, dia di Manado, sementara saya sudah di Makassar. Pikiranpikiran
konyol ini terus “melilit” otak kanan ku. Dan akhirnya keberanian pun datang,
seperti biasa sebelum menelpon sudah saya siapkan beberapa kalimat pamungkas
untuk mengawali pembicaran kita. Kudengar nada sambung pribadinya masih
melantun dikupingku, hingga diunjung NSP-nya tak kutemukan ada sapa dari nomor
yang ditelpon itu. Berulang ku lakukan hal serupa tapi, kemalangan masih
berpihak di posisiku. Samasekali tidak ada jawaban!
Kondisi
ini ternyata tidak berakhir di hari itu. Hingga sepekan berlalu, sudah lebih dari puluhan kali ku hubungi. Lewat fasilitas penghubung super cangihpun (Facebook/friensdter) tatap tidak ada
tanggapan, hanya perubahan status facebook
kutatap. Sampaisamapai kalau browsing jadi
sreg dirasa kalau tidak
melihat status terbarunya. Itu terus kulakukan tidak pagi, sore dan malam, berusaha
“menungguinya.”
Untuk
kali ini ada sedikit perubahan saat
mengontaknya, frekuensi SMS sudah berkurang, saya lebih sering “
menyerangnya” lewat facebook. Pernah
satu waktu dia berkomenter, kurang lebih
menyarankan agar jangan pernah
menghubunginya lagi dalam perangkat penghubung apapun. “Ku sarankan hentikan semua koneksi yang bisa
membuatmu terhubung dengan ku” begitu respon sms-nya. Spontan kutulis jawabnya dengan kalimat:
“Tak kecuali pikiranku yang mampu menghubung
dan membuka akses apapun tentang dirimu tanpa batas piranti maya sekalipun!”
Waktu
berjalan cepat, tiba pada satu kondisi
saat semua harapan dan kerinduan terakumulasi di kepalaku. Saat itu. sosoknya
yang fiktif menjelmah jadi sosok nyata, dirasa, bahkan disentuh. Hingga pada
satu kesempatan dirinya kerapkali jadi teman ngobrol dalam kesuyian. Ungkapan
saya kini jadi kenyataan. Pikiranku mampu menebus batas apapun tentang dirimu. Amisha
bukan lagi menjadi jiwa maya, selebihnya dia
begitu nyata ada dalam alam sadarku. Kini saya lebih leluasa bertemu,
hingga tidak jarang membelainya. Diapun dengan manja memainkan peranya disaat
saya membutuhkan sosoknya. Dia hadir sangat nampak di dunia ku. Sangat nyata ku
tatap di retina mataku. Bahkan wangi parfum-nya terasa di indera penciumanku.
Tiap
kali aku kirim pesan kosong tanpa balas, saat itu pula khayalku mengantar mendekatinya.
Tiap hari kebresamaaku dengan waniita ini kian akrab.Berbincang dengannya jadi
moment yang dinantikan. Bersama denganya adalah orgasme tertinggi bagi-ku. Imaji
ini berlansung cukup lama. Hanya lewat SMS jadi penghubung jitu dengan
dunianya. Meski tanpa balas.
Kondisi
ini terus kulakoni. Berharihari ku kirim pesanpesan kosong sebagi reaksi
menstilmuli pertemuan dengan-nya. Tiba-tiba benak-ku ada yang menganjil. Ingin
saya sapa dia lewat ponselku.
Kesabaranku
habis, Saya beranikan diri menghubunginya, namun masih ada ragu jadi
penghalang, sejenak saya urungkan niatku, sekedar mengumpul keberanian dan
menghilangkan keraguan serta ketakutan. Kurasa cukup,lalu aku tekan satupersatu
angka-angka yang sudah di hapal mati. Tidak terduga, dari arah lawan telpon,
ku-terdengar ada sapa “Maaf, telephon
yang anda tujuh tidak terpasang”, ku ulangi tetap terdenagar ocehan serupa. Masih tidak percya, SMS
kulancarkan. Tapi untuk kali ini pesan-ku berstatus tidak terkirim. Saat itu kusadar
selama ini sosoknya menjadi imaji palsu yang hinggap di otak kanan-ku. sosoknya
adlah mesin penipu yang benar-benar nyata. Dan aku tertipu!
Sebagian
orang disekitarku mengagap ini ketidaknormalan. Sebagian pula menuding ini
penyakit jiwa akut. Skizofrenia itulah ganguan terhebat ku alami saat ini.
Bagiku, skizofrenia bukan penyakit. Tapi, merupakan penggambaran orang yang
secara psikis tak memiliki batas-batas antara dunia yang memang nyata dan dunia
(Dianggap) yang tak nyata. Namun, di mata Gilles Deleuze dan Felix Guattari,
Skizo justru ditempatkan sebagai sesuatu yang bisa dijadikan pelajaran penting
bagi orang-orang yang selama ini menganggap dirinya normal.
Bukankah kenormalan adalah sesuatu yang dipaksakan di bawah suatu ancaman hukuman? Mereka yang di luar kenormalan akan diasingkan oleh kultur di mana seseorang tinggal. Dalam pengasingan itu, akan terkandung hukuman dalam berbagai kemungkinan bentuknya. Kenormalan dengan demikian merupakan sesuatu yang secara khas dekat dengan apa yang dijelaskan oleh Sigmund Freud dalam konsep psikoanalisanya. Saya yakin itu dan kondisi ini adalah penyelamat keirinduan yang tak kunjung padam. Cukup dia hadir dalam imajiku, bagi mereka yang anggap dalam batas kenormalan.
Makassar, 27Juli, 2009. 3.00 wita
Komentar
Posting Komentar