Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2014

DUKA

    Entah sudah berapa tahun lamanya saya tidak pernah lagi menghabisi akhir tahun di kota Bitung bersama keluarga. Jika 2013 kemarin posisi saya di Kendari, lalu beberapa tahun lalu seingat ku saya masih di Jogja. Penghujung tahun ini harus ditutup dengan suasana duka perihal kecelakaan pesawat AirAsia. Hampir semua media massa menayangkan sisi sisi dramatis kecelakan pesawat itu. Ada yang sebatas menayangkannya di jam-jam penting saja, tapi ada juga yang nyaris 24 jam ‘breaking news’ bahkan status berita ‘ breaking news’ sudah tak memiliki nilai ‘sakral’ pemberitaanya. Padahal sifat berita seperti itu menunjukan adanya kedaruratan pemberitaan atau ada sesuatu maha penting dan segera utnuk ditanyangkan. Tetapi parahnya tayangan ini malah mencapai nyaris 24 jam non stop.    Tv One dan Metro tv, dua media ini terbilang non stop mengabarkan. Namun suasana duka di akhir Desember ini tercemar oleh tayangan brutal dari TV One, berupa penayangan ekstrim salah satu jenazah kor

Menjadi Abnormal

#Tulisan lawas- Juli 2009     P erkembangan teknologi informasi memungkinkan siapa saja terlibat aktif menjalin hubungan dengan siapapun dan dimanapun. Perangkat jejaring sosial   yang akhir-akhir ini digandrungi hampir semua kalangan, menjadi petanda bahwa teknologi informasi dan komunikasi adalah salah satu instrument penting dalam   prasayarat pergaulan sosial. Meskipun stigma ini belum menjadi dasar   pembenaran.    Berbicara soal peluang dan kesempatan terkait situs jajaring sosial. Saya punya pengalaman unik, aneh dan mungkin bisa dibilang berlebihan. Kejadian ini bermula ketika   sebagian   teman-teman kampus   jadi pengguna aktif friendster salah satu situs jejaring sosial. Awalnya,   Jamil kerabat saya se-kampus dan juga se-kampung meperkenalakan mesin ini. Dari dialah cerita kecanggihan friendster yang katanya sanggup membuka akses komunikasi virtual dengan siapa saja dari pelosok dunia, terpaksa   saya mengharuskanya membuatkan accout di situs itu.      Sebena

BUALAN

Sebenarnya tak ada yang perlu dirisaukan tentang ku. Saya bukan lelaki penganut bualan kata manis, tapi lumpuh praksis. Upaya membahagiakan-mu adalah perkara memotong waktu. Serupa membabat gerembolan rumbut liar dari halam rumah mu. Saya cukup membutuhkan parang kecil serta kelincahan gerak saja. Kamu tak perlu mengajari ku tentang hal-hal terkait pembuktian setiap kalimat yang ku lontarkan di malam itu. Sebab semua tentang ku adalah sejarah penaklukan. Termasuk kemampuan ku menaklukan jiwa subtil mu kandas di bawah kelenturan lidah ku. Bukankah dahulu saya adalah pribadi yang membuat mu gemas, meski sekedar berbisik dikuping mu. Nampaknya kamu lupa, ketika saya dan dirimu melepas penat di sebuah warung makan, diringi suara parau pengamen jalanan. Saat itu saya hadir membuktikan kata dan janji ku tepat waktu. Walau memang urusan percintaan kita kali ini datang tak tepat waktu. Selalu ada penyesalan terselip dalam percakapan kita. Seperti ketika kamu mengatakan ‘’duh sayang y

AMARAH

Cinta dan benci adalah dua hal yang sifatnya sangat tipis dibedakan jika tersandung pada sesorang yang saling mencinta. Ke-duanya memiliki daya tarik menarik, seketika bisa saling melemahkan tetapi bisa saling menguatkan. Dan kamu tahu, tanpa sifat benci   rasa-rasanya cinta tak akan mungkin terdefiniskan. Bagi ku, cinta hadir ketika kita sudah mengenal kebencian, juga sebaliknya semua mahluk akan mengenal benci jika telah mampu memahami cinta. Perkara saling mengenal kedua sifat ini niscaya telah ada dalam nalar purba manusia. Mahluk semacam Hitler sekali pun tentu memiliki cinta, setidaknya cinta pada tanah air dan ras Aria nya. Lalu di mana posisi amarah? Ia selalu menelikung di setiap celah kebencian dan sesekali   nampak sungkan di moment percintaan. Sekiranya kita telah berlaku tidak adil, bahwa dalam hubungan percintaan selalu yang dituntut adalah peran mencinta. Bagi ku, ini argumentasi tak bijak. Amarah, layak diposisikan setera dengan cinta. Ia menjadi senyawa pe

RUANG

Seingat ku, pertama kali kita bersua hanya sebatas mengandalkan perangkat teknologi. lewat Fesbuk, saya berhusaha menghadirkan sosok virtual mu seolah sedang bercakap di depan ku. Rupa-rupanya kamu tak tahu bahwa saya sedang memuji, juga sesekali sedang menguji . Saat itu saya sedang menerawang mu, mencoba merasakan kejutan –kejutan apalagi yang bakal kau tumbahkan walau hanya sapaan status terkini. Rasa-rasanya tak ada lelaki segembira diri ku ketika menanti mu di penghujung sisa sisa penghabisan malam itu. Perkara waktu bagi mu adalah upaya merangkai senja berputar seirama dengan ayunan gerak pedal sepeda. Melewati setiap gang, menghirup udara pagi, lalu sesekali kulit mu gosong terpapar matahari nyaris tak kau hiraukan. Gerak mu seolah sedang bicara bahwa akulah yang angkuh itu. Akulah sang batu yang tak akan tergoyah oleh guyonan lelaki. Tak akan pernah goyah tentu ini adalah sebuah pengharapan. Bagi ku, sekecil apapun harapan itu asal masih   tentang   hal- hal yang terka

RADAR

Tak selamanya semua yang diharapkan selalu berakhir sesuai ketepatan recana-rencana. Sama seperti dirimu harus meredam beban ingatan masa lalu, berakhir pilu bersama sosok pujaan mu silam. Ingatan tak selamanya erat dalam ikatan. Ia bisa   terurai walau diikat dengan simpul mati khas anak Pramuka sekali pun. Ingatan selalu mencari jalan pulang demi menanyakan kepada siapa yang pantas disandarkan separoh beban itu. Saya adalah radar yang   berhasil menagkap sinyal-sinyal beban memori itu dipancarkan. Walau terkadang hanya seupil sinyal, tapi radar ku sanggup mendeteksi gelombangnya. Gelombang itu tentang dirimu dan hal-hal yang membebani kepala mu. Sabagai radar kadang kapasitas ku di luar harapkan. Sama sepeti dirimu yang tak berdaya menimbun masa lalu. Sejak pertama kita memulai percakapan sudah terasa ganjil, sehingga saya butuh beragam argumentasi   sekedar mengenapkan cerita kita. Sesakali kamu menimpali komentar ku dengan arumentasi-arumentasi khas mahasiswa fresh gradu