Langsung ke konten utama

Semacam Catatan Akhir Tahun


         2015 adalah tahun tidak produktif menulis.  Di blog saya hanya tercatat  tidak kurang 15 tulisan. Kondisi ini sangat memprihatinkan. Kemalasan menulis berbanding lurus dengan kuantitas buku yang saya baca. Jika dikalkulasi dalam setahun ini, saya hanya tuntas  membaca  tidak kurang 13 judul buku. Ya benar, judul buku. Sungguh prestasi yang memalukan.
2015 adalah tahun paling sentimentil. Menguras emosi. Tidak saja isi otak tapi juga isi dompet.  Untuk urusan terakhir ini saya beberapa kali melewati kesempatan memiliki sejumlah buku favorit. Saya menghabiskan banyak waktu sekedar mondar mandir memilih kampus di sejumlah kota. Urusan mencari, menungu hingga mempersiapkan diri jika dipanggil mengikuti seleksi wawancara, kadang berbuah letih dan malas berkepanjangan, walau sekedar membaca buku dalam arti sesugguhnya, bukan membaca melalui gejet yang bekakang rutin saya jalani.
 Akhirnya saya kapok ikut ikutan memberi catatan resolusi awal tahun. Sama saja.  Terhitung sudah tiga tahun saya orang yang selalu gagal merencanakan sesuatu. Tidak seperti kebanakan orang barangkali berhasil melewatinya. Misal, pada resolusi tahun lalu saya pernah berencana mencari kerjaan di Makassar, membayangkan hidup paripurna  dan menua  di kota itu,  tetapi seiring waktu, ternyata  tidak ada yang menyaka saya terdampar sepi di Jakarta saat ini. Sama ketika saya tidak mampu memprediksi minggu minggu pertama di Jakarta. Belum genap se bulan, sakit maag dan amandel kumat. Betapa kota ini tdak ramah bagi lelaki malang macam saya.
Walau demikian, 2015 memberi banyak pelajaran. Bahwa tidak semua yang kita inginkan meskipun sudah begitu matang diatur akan sesuai  rencana.  Sama persoalnya bahwa tidak semua buku tentang perencanan masa depan disertai kiat sukses menjadi ini itu, yang  banyak beredar di toko buku  bisa dengan muda diterapkan pada semua kondisi. Ada kondisi di mana kita dituntut taktis dan spontan mengambil sikap setelah sebuah rencana dianggap gagal dijalani. Untuk parkara ini saya masih banyak belajar dan menyimak dari orang-orang kreatif di sekitar saya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resume Buku Teori Budaya, karya David Kaplan dan Robert Manners

Antropologi “ metodologi dan pokok soal dalam penyusunan teori” Pada pembahasan awal Buku karya Kaplan dan Manners yang bertajuk teori budaya ( the teory of culture ) mengetengahkan masalah mendasar Antropologi sebagai suatu bidang pengetahuan yang mendisiplinkan diri dalam kaidah ketat epistemology,   pada akhir abad sem bilan belas. Menurut keduanya, pokok –pokok problem yang diperhatikan Antropolog dapat diringkas menjadi dua pertanyaan besar yang saling terkait, yaitu   pertama, bagaimanakah berkerjanya berbagai system budaya yang berbeda-beda? kedua, bagaimanakah sistem-sistem budaya yang beraneka ragam itu   mendapat tempat seperti saat ini? (Kaplan &Manners hal 2)                 Problem mendasar dalam uraian akademis yang dikemukakan oleh Kaplan dan Manners tersebut,   merujuk pada pemahaman mengenai perbedaaan   pada setiap budaya, baik dari segi ruang maupun...

ON A BUS EKA

Berawal dari perbincangan beberapa orang teman di Yogyakarta, perihal armada transportasi  darat khusus rute Yogyakarta- Surabaya. Kebanyakan mereka merekomendasikan bus EKA sebagai moda transportasi kelas eksekutif dengan tarif lumayan terjangkau. Berdasarkan tuturan dan kesaksian mereka, setidaknya saya mendapat gambaran bahwa bus EKA tidak hanya menyedikan jumlah armada yang relatif tersedia hampir setiap jam, namun armada yang mengawali rutenya dari Magelang- Surabaya pp ini, pun mampu menciptakan kenyaman selama perjalanan anda, meski dibandrol dengan tariff Rp.63.000 untuk rute jauh seperti Yogyakarta- Surabaya yang tergolong ‘murah’. Salain dua hal diatas tadi, salah satu keunggulan bus ini menurut versi mereka yang sudah loyal menjadi ‘jamaah’ bus ini, saban kali ke Surabaya adalah ketersedianya menu makan di rumah makan Duta Kabupaten Ngawi, Jatim. Dengan hanya mengeikhlaskan 63 ribu jumlah tersebut sudah termasuk memilih salah satu dari lima menu yang dikhususkan ...

Resensi: Simulasi dan Hiperrealitas dalam film SIMONE

   Ciri khusus genre film sains fiksi Holywood kerap kali mengetengahkan ide tentang keunguulan komputerisasi sebagai satu-satunya instrument penting industri film Amerika serikat dewasa ini. Ilustrasi dimensi ruang dan waktu dalam virtualisasi kapsul digital menjadi penanda dimulainya  era digitaliasi sebagai tema mainstrim performativitas film Holywood, setidaknya 10 tahun belakangan.       Dari sekian banyak film bergendre sains fiksi, salah satu yang masuk kategori film favorit-ku tahun 2011 jatuh pada SIMONE. Film besutan sutradara Anderew Nicola yang dibintangi aktor Alpacino ini, sempat direkomendasikan oleh ketua prodi Kajian Budaya dan Media, Prof. Heru Nugroho sebagai salah satu dari sekian banyak tugas mata kuliah teori kritis dan posmodernisme.       Sekedar catatan, melalui film ini setidaknya kita diajak berkenalan dengan sejumlah teori postmodernisme. Lewat Simone memungkinkan siapa saja bisa m...