Masih tentang Ben Anderson. Hari itu menjadi hari paling saya sesali
dalam hidup, ketika tahu Ben memberikan
kuliah tamu di FIB UI, tapi di saat
bersamaan saya wajib menghadiri kegiatan pengabdian masyarakat sebuah SD di
kota Bogor. Kesempatan melihat langsung
sosok scholar yang tercatat memiliki reputasi terkemuka di bidang kajian politik-pemerintahan itu harus ditukar dengan
rutinitas lainya. Tiga hari sebelum mendapat tugas dari pimpnan Prodi, saya
sudah menyiapkan diri, termasuk menghubungi teman yang bisa diajak saat itu.
Jika diibaratkan meyaksikan langsung Ben Anderson memberikan kuliah, serupa
mendapatkan hadiah malam Lailatul Qadri, ganjaran pahala seribu bulan.
sumber foto:news.babe.co.id |
Sebuah berita pada Minggu malam
di sosial media mengabarkan kematian Ben Anderson, sesuatu yang awalnya sukar
dipercaya. Tetapi, faktanya memang
adanya, penyesalan bercampur kesedihan sesaat menyeruak di benak.
Saya bukanlah orang yang begitu tekun membaca semua karya Ben, Selintas
saya hanya membaca karya fenomenalnya ‘imagined communities’. Hanya lewat buku
itu saya diajak berkenalan dengan konsep nasionalisme/kebangsaan. Di sejumlah
paper yang sempat saya jadikan tugas akhir saat kuliah di KBM silam, nama besar Ben selalu jadi rujukan utama. Berntung saya masih
berkesempatan mengenalkan profil dan gagasannya di depan mahasiswa saat membahas
perihal identitas kebangsaan.
Ben Anderson kini telah berpulang, penghormatan atasnya begitu gemuruh. Harian
Kompas berturut turut memuat catatan in
memoriam ditulis oleh sejumlah Indonesianis
seperti Dhaniel Dhakidei dan Hedi Hadiz,
dua pesohor ilmuan sosial ini telah secara khusus mengulas jejak pemikiran Ben. Selain itu Ariel Heryanto pengkaji studi Indonesia
juga telah secara cernih mencatatnya di situs CNN Indonesia. Oleh ketiga pengkaji politik Indonesia,
menggaris bawahi karakter dan pandangan intelektual Ben, dinilai sangat berani
mengambil jarak beretentangan dengan kajian politik-pemerintahan yang terlamapu
maindstriem. Di tangan Ben Anderson kajian politik nampak begitu cair. Ia
sanggup menjembatani lintasan displin: sosial, sejarah, antropolgi dan bahasa.
Sebuah pendekatan yag masih dicap ‘tidak
biasa’ untuk iklim intelektual di Indoenesia. Bahkan, tak jarang jika ada yang
mengambil sikap yang menyerupai tipikal
tersebut, oleh sejumlah ‘akademisi’
justru dinilai bertentangan dengan disiplin sebuah kajian, seolah dianggap
‘keliru’ jika mengakajinya terlalu luas melibatkan beragam spektrum. Sampai di
sini, saya hanya bisa melongo sambil berguman : ‘’mungkin mereka lelah’’ . Pertanyaan
ini barangkali berelasi dengan sebarapa banyak sarjana kita mengklaim sebagai ilmuan sosial
bersentuhan dengan figur - firgur semacam Ben Anderson? Kata seorang teman, kita
boleh saja berduka cita, sepeninggalan
Ben, tapi akan sengat berduka cita jika ada yang mengaku dirinya seagai ilmuan
sosial tapi tidak mengenal alam pemikran Ben Anderson. Sungguh sebuah ironi.
Selamat Jalan Om Ben….
Komentar
Posting Komentar