Langsung ke konten utama

Peluang




Pilihan bekerja di Jakarta adalah pilihan paling pelik. Sejumlah persoalan terkait rutinitas kota ini serupa cobaan hidup tak pernah berkesudahan. Energi warga Jakarta nyaris tak pernah habis  membahas kemacetan  di hampir semua ruas Jalan. Pesona Jakarta memang masih berdenyut kuat memanggil orang orang  di luar Jawa memilih kota ini sebagai arena kontestasi melawan derasnya  himpitan pertumbuhan ekonomi serta angka penagguran usia produktif yang terus meningkat.
Sejak pertegahan Ramadhan 2015 saya sudah berada di Jakarta. Nyaris tak ada pilihan selain bertaruh memprediksi nasib, berekal ijazah S2 yang ku kantongi.  Semua kampus yang  memiliki program studi Ilmu Komunikasi di Jakarta, ku jajaki satu persatu memasukan lamaran sebagai dosen tetap. Alamdulliah hanya menggu kurang lebih sebulan, kabar gembira  perihal selesksi dosen, mulai ada kejelasan.  Universitas Indraprasta adalah Kampus  pertama  menerima saya mengajar di Prodi Desain Komunikasi Visual.  DKV adalah  bidang kajian pertama kali ku guluti. Walau memang masih ada kaitan dengan disiplin saya pada bidang kajian media dan budaya. Tetapi di kampus ini saya hanya bertahan tak 
lebih dari dua bulan, setalah akhirnya pada awal oktober lalu, saya kebali mendapat kabar kelulusan seleksi  dosen  prodi Ilmu Komunikasi di  Universitas Paramadina. Sebuah kampus  terkemuka di jatung kemacetan Jakarta.
Di Jakarta, ternyata  saya masih bisa melihat celah  kecil kesempatan,  yang menurut ku tak semua orang bisa melaluinya dengan paripurna. Ketekunan dan kesabaran menanti setiap proses adalah kunci taktis diterapkan bagi setiap orang yang  rela mengais rejeki di Jakarta.  Seorang kerabat pernah mengatakan, persoalan mendapat pekerjaan yang tergolong layak di  Jakarta  hanya bisa dimiliki  bagi mereka yang  mempunai tingkat kesabaran dan kerja keras di atas rata rata.  Tidak ada istilah keberuntungan. Konsep itu hanya  sebatas mitos. Peluang hanya  hadir jika kita berani menciptakan kemungkinan yang lain. Jakarta masih berdenyut kencang bagi mereka yang nekat dan kreatif  []

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resume Buku Teori Budaya, karya David Kaplan dan Robert Manners

Antropologi “ metodologi dan pokok soal dalam penyusunan teori” Pada pembahasan awal Buku karya Kaplan dan Manners yang bertajuk teori budaya ( the teory of culture ) mengetengahkan masalah mendasar Antropologi sebagai suatu bidang pengetahuan yang mendisiplinkan diri dalam kaidah ketat epistemology,   pada akhir abad sem bilan belas. Menurut keduanya, pokok –pokok problem yang diperhatikan Antropolog dapat diringkas menjadi dua pertanyaan besar yang saling terkait, yaitu   pertama, bagaimanakah berkerjanya berbagai system budaya yang berbeda-beda? kedua, bagaimanakah sistem-sistem budaya yang beraneka ragam itu   mendapat tempat seperti saat ini? (Kaplan &Manners hal 2)                 Problem mendasar dalam uraian akademis yang dikemukakan oleh Kaplan dan Manners tersebut,   merujuk pada pemahaman mengenai perbedaaan   pada setiap budaya, baik dari segi ruang maupun...

ON A BUS EKA

Berawal dari perbincangan beberapa orang teman di Yogyakarta, perihal armada transportasi  darat khusus rute Yogyakarta- Surabaya. Kebanyakan mereka merekomendasikan bus EKA sebagai moda transportasi kelas eksekutif dengan tarif lumayan terjangkau. Berdasarkan tuturan dan kesaksian mereka, setidaknya saya mendapat gambaran bahwa bus EKA tidak hanya menyedikan jumlah armada yang relatif tersedia hampir setiap jam, namun armada yang mengawali rutenya dari Magelang- Surabaya pp ini, pun mampu menciptakan kenyaman selama perjalanan anda, meski dibandrol dengan tariff Rp.63.000 untuk rute jauh seperti Yogyakarta- Surabaya yang tergolong ‘murah’. Salain dua hal diatas tadi, salah satu keunggulan bus ini menurut versi mereka yang sudah loyal menjadi ‘jamaah’ bus ini, saban kali ke Surabaya adalah ketersedianya menu makan di rumah makan Duta Kabupaten Ngawi, Jatim. Dengan hanya mengeikhlaskan 63 ribu jumlah tersebut sudah termasuk memilih salah satu dari lima menu yang dikhususkan ...

Resensi: Simulasi dan Hiperrealitas dalam film SIMONE

   Ciri khusus genre film sains fiksi Holywood kerap kali mengetengahkan ide tentang keunguulan komputerisasi sebagai satu-satunya instrument penting industri film Amerika serikat dewasa ini. Ilustrasi dimensi ruang dan waktu dalam virtualisasi kapsul digital menjadi penanda dimulainya  era digitaliasi sebagai tema mainstrim performativitas film Holywood, setidaknya 10 tahun belakangan.       Dari sekian banyak film bergendre sains fiksi, salah satu yang masuk kategori film favorit-ku tahun 2011 jatuh pada SIMONE. Film besutan sutradara Anderew Nicola yang dibintangi aktor Alpacino ini, sempat direkomendasikan oleh ketua prodi Kajian Budaya dan Media, Prof. Heru Nugroho sebagai salah satu dari sekian banyak tugas mata kuliah teori kritis dan posmodernisme.       Sekedar catatan, melalui film ini setidaknya kita diajak berkenalan dengan sejumlah teori postmodernisme. Lewat Simone memungkinkan siapa saja bisa m...