Sejarah Pembangunan [Developmentalisme] (Telaah Arkeologi Foucultian Dalam Diskursus Pembangunan/Dunia Ketiga)
Latar belakang tulisan ini adalah respon dari keterlibatan saya
dalam perbincangan mengenai polemik kedudukan postrukturalis dalam tataran
metedologi dan ranah praksis. Konon, kedua tataran tersebut mendapat
gugatan karena dituding mengalami keretakan epistemologi dan ontologi dalam
memahami kemelut kapitalisme. Hingga pada akhirnya, diklaim terjebak dalam
kehanyutan kemapanan ‘’status quo’ ilmu pengetahuan [?]
Namun, melalui tulisan ini saya tidak berhasrat ingin
mempertanyakan lagi perihal argument tersebut. Akan tetapi, saya hanya ingin
menunjukan sumbangsi pemikiran Foucault dalam Cultural studies dan kajian ilmu
sosial kontemporer.
Mengawali tulisan ini saya mencoba memberikan tinjaun
seputar penerapan konsep kekuasaan (power) perspektif Foucaultian. Terutama
terkait pada bagaimana kekuasaan menjadi instrumen utama dalam
mengamati ketimpangan yang dilatari oleh adanya kekuatan 'dominan' dalam
peta sejarah panjang umat manusia, yaitu: kapitalisme dalam segala ekspresi,
baik budaya, ekonomi dan politik.
Alur tulisan ini, pertama saya mencoba menintrodusir konsep
sejarah dan kekuasaan perpektif Foucault dan selanjutnya memeriksa
bagaimana strategi kekuasaan bersemyam dalam tatanan yang
mempengaruhi cara pandang Negara-negara yang telanjur dilekatkan dengan
sebutan Negara dunia ketiga atau terketegori sebagai Negara berkembang dalam
kerangka menegguhkan sifat inferioritas, yakni hubungan dominasi asimetris
(tak-setara).
Merujuk pembacaan sejarah perspektif Foucault, tentunya
berbeda dengan Marx yang mengadopsi pemikiran dialektika Hegel. Foucault
malah meminjam pengertian sejarah dari karya filsuf Jerman Fredrich Nietszhe,
terutama terkait dengan aspek geneologinya, meskipun dalam beberapa hal agak
berbeda pula dengan Nietszhe.
Marxian dan pengaruh sejarah Hegel-nya,
diidentifikasikan oleh Foucault telah mengembangkan sejarah total. Dalam
sejarah total, sejarah dianggap sebuah totalitas dengan hubungan-hubungan sebab
akibat yang menerangkan perkembangan-perkembangan yang terjadi dengan
membaginya dalam periodisasi yang sifatnya kronologis.
Foucoult
sendiri mengembangkan sejarah umum (general history)yaitu
“[…] seek series, division, differencies of temporary and
level, forms, of continuity and mutation, particular types of transitions and
events, possible relations and so on. A general history would be non-reductive,
non-totalising, one which specifies its own terrain, the serries it
constitutes, and the rellations beetween them: […] [it] opens up an attention
to detail, grain, and complexity, and the specification of form or relation
which is indispensable if [we are] to move beyond caricatures of historical
periodisation passing for a science of social development (Dean dalam Kendall & Wickham, 1999;
24).
Menariknya, Foucault telah mengidentifikasikan adanya diskontinu
wacana dalam kesejarahan yang selalu berusaha disembunyikan oleh sejarah total.
Diskontinuitas wacana tersebut menimbulkan retakan-retakan kesejarahan.
Pengertian retakan-retakan kesejarahan adalah bahwa setiap wacana akan bersifat
terpotong-potong, tidak utuh, dan tersebar. Paradigma tersebut
secara langsung menolak pandangan yang mengatakan bahwa sejarah
merupakan sebuah tabel perkembangan yang kontinu dan berdasar pada hukum kausalitas.
Sejarah diskontinu tidak lain merupakan penciptaan kondisi dan aturan yang
menetukan bagaimana sebuah obyek dibicarakan dan dibentuk dalam praktik
diskursif yang memiliki sistem pemaknaan (baca: episteme) pada masing-masing
zaman. .
Melalui metode praktik diskursus ala Foucaultian dalam
kajian kekuasaan/pengetahuan,dapat dipahami bahwa term kekuasaan (power)
niscaya dimaknai sebagai kata kerja, bukan power sebagai kata benda. Asumsi ini
berangkat dari konsepsi Foucault tetang kekuasan yang mampu terseber kesegala
arah dan dalam segala bentuk formasi diskursus.
Asumsi ini disebabkan
penyatuaan antara kekuasaan dan pengetahuan yang dilakukan oleh Foucault,
memiliki konsekuensi metedologis yakni kekuasaan secara erat dikaitkan dengan
diskursus (wacana). Wacana terutama memberikan kontribusi terhadap pemroduksian
subjek siapa kita dan objek-objek yang kita ketahui (termasuk kita sendiri
sebagai subjek) (Jorgensen dan Phillips, 2007 : 27).
Adapun Formasi diskursus menurut Foucault merupakan wadah di
mana berbagai objek mendapat status ilmiah barunnya dan karenanya
membedakan diri dari berbagai objek lain yang masih tinggal dalam status ilmiah
lama. (Foucault, 1972:154). Apa yang dimaksud dengan proses penyebaran
diskursus sebenarnya merupakan tindakan radikal Foucault, menunjukan peyebaran
diskursus atau pengetahuan yang mendistribusikan apa yang dianggap penting dan
tidak penting, dianggap benar, tidak benar dalam kategorisasi episteme sejarah.
Sehingga dengan Mengamati proses ini sama juga dengan memahami apa yang
ditegakan dan disingkirkan (dilimitasi) dalam lahirnya suatu periode sejarah
tertentu (episteme) (Foucault, 1972:42)
Degan begitu, setidaknya Foucault secara metedologi
mampu melontarkan kritik atas manifestasi teori developmentalisme/pembangunan
yang ingin saya telaah dengan mengunakan pendekatan arkeologi produksi
dominasi wacana sebagai strategi kekuasaan. Disinilah sebenarnya Foucault
membangkitkan sikap kritis dan perlawanannya terhadap semua bentuk dominasi.
Oleh karena, kekuasaan tidak bisa lepas dari rezim wacana dan setiap
wacana mempunyai klaim kebenaran, maka mutlak kita harus kritis terhadap
perubahan wacana. Sebab dengan sendirinya perubahan wacana telah setara dengan
perubahan akses politik, nama lain dari kekuassan dalam selubung pengetahuan
itu sendiri. Terlampau heroik jika saya mengatakan orang harus waspada
terhadap kebenaran yang ditunjukkan dalam wacana ilmiah. Meskipun yang saya
maksud memamang seruan-seruan moralis tersebut, semata melihat wacana sebagai
strategi kekuasaan diterapkan secara amat tersamar.
Diskursus Pembangunan
Kata pembangunan kerap kali kita mendengar istilah itu sudah
telanjur diidentik pada memori negara yang dilabeli status ‘berkembang’ atau
paling sarkastik dilabeli dengan sebutan Negara dunia ketiga. Dari
pengertian kata 'berkembang' dan 'dunia ketiga' menjadi sebuah penegasan bahwa
ada Negara maju dan Negara dunia pertama yang secara umum kita tahu bahwa
pemosisian kategori Negara ketiga adalah objek utama dari proyek-proyek
pembangunan.
Tanpa mengurangi penelitian-penelitian sebelumnya, harus diakui
sisi kritis atas pembagunan sudah banyak pengamat yang membicangkan, baik
dalam kredo tatanan ekonomi politik global, isu-isu globalisasi, regionalisime
dan sejarah. Di sini boleh dikata saya terlambat membicangkan (kalo bukan
sekeder sok-sok-an menulis) yang sudah banyak orang lain menulisnya. Sebut
misalnya Rita Abrahamsen (2000) dan Escobar (1985) meskipun berangkat dari
objek yang sama. Hanya saja berangkali saya akan memberi sentuhan yang berbeda.
Melalui pembacaan level praktik diskursus perspektif arkeologi Foucaultian di
mana kekuasaan melanggengkan dominasi Negara superior terhadap
Negara inverior .
Secara umum, dalam sejarah ekonomi Indonesia diskursus
pembangunan menjadi isu mayor dalam segala kebijakan ekonomi di bawah
kendali Orba. Diskursus pembangunan dihadirkan oleh Negara maju
sebagai ‘solusi’ atas gejolak kemerosotan ekonomi Indonesia sebagai Negara
berkembang pasca kolonial.
Dari sini, saya lantas melontarkan pertanyaan apakah betul argumentasi
sejarah pada kondisi itu Indonesia mengalami tekakan ekonomi yang luar biasa
akut sehingga satu-satunya formula penyelamatan ekonomi dikendali oleh
perpektif developmentalisme? Jika periode itu ekonomi Indonesia buruk Adakah
alternative selain developmentalisme? Atau jangan-jangan (sekedar
kesoktahuaan saya ) bahwa penilaian keterburukan, ketertinggalan dan
kemiskinan justru hasil konstruksi dari regime of truth Negara maju yang
telah memiliki instrumen pengetahuan, melakukan mendefinisian dan
pengkategorisasi siapa yang pantas disebut maju atau berkembang,
miskin/kaya, sejahtera tidak sejahtera? Persepsi ini akhirnya menegasikan
kemungkinan lain, akibatnya nampak seolah-oleh tidak ada alternative,
sehingga kesempatan melakukan represifitas dan dominasi telah menemukan
kebenarannya.
Selanjutnya jika benar kecurigaan atau kesoktahuan saya diatas,
pertanyaan berikutnya sejak kapan kategori Negara berkembang dan
term pembangunaN jadi ‘’solusi’’ bagi Negara-negara ‘timur’ ?
- - Diskurus
Pembangunan dan rezim pemaknaan
Dapat dikatakan pengabaian pembacaan relasi kuasa/pengetahuan
turut menggiring penerimaan secara langsung pada kategori mensubjeksikan
Negara berkembang berada pada posisi subordinan dari Negara maju. Dalam
sederet konstruksi diskursus tertentu pada gilirannya akan memproduksi rezim
kebenaran dan menjadi semacam pranata yang lumrah/lazim untuk dibicangkan dan
bertindak terhadap Negara-negara yang terkategorisasi Negara berkembang. (lihat
Escobar, 1995).
Hal ini perlu diperhatikan karena tanpa menganalisis
pembangunan sebagai suatu diskursus, maka akan sulit untuk memahami bagaimana
Negara Barat mampu melanggengkan kontrol secara sistematik dan bahkan
menciptakan ketergantungan negara Dunia Ketiga secara politik, budaya dan
sosilogi kepada Negara Barat tersebut. Meskipun underdevelopment adalah formasi
sejarah yang riil, tetapi hal tersebut telah melahirkan praktek dominasi
terhadap Dunia Ketiga.
Penerapan kategorisasi Negara ‘’berkembang’ beserta segala
penilaian dan ciri keterbelakangannya. oleh Negara Barat ciri tersebut
didefinisikan sebagai ‘penyimpangan’. Sehingga membutuhkan formulasi yang
diproduksi oleh rezim wacana/pengetahuan untuk menyembuhkan ‘’penyakit’’
seperti: keterbelakangan, kemiskinan dan kesenjangan sosial, melalui kuasa
pengetahauan yang sekali lagi, memandang dunia ketiga memiliki
ketimpangan bahkan dipandang mengalami kelainan ‘abnormal’. Pun
sebaliknya pandangan dari Negara berkembang yang melihat Negara maju
representasi oleh Amerika dan Eropa adalah imaji ideal sebuah tatanan
modernitas, berperadaban, sejahtera, demokratis, ‘nampak’ liberal dan unggul
dalam penguasaan teknologi- menjadi keniscayaan sejarah yang ‘’normal’’.
Karakter dasar saling memandang dan dipandang, menamai dan
dinamai pada diskursus pembagunan yang melibatkan subjek barat dan timur
sebagai ‘’maju’’ dan ‘’berkembang’’ tidak lain merupakan praktik politik
repsresentasi. Strategi representasi ini kerap kali ditegaskan Foucault
terutama dalam kaitanya dengan kekuasaan/pengetahuan mempunyai
konsekuensi-konsekuensi terhadap konsepsinya tentang kebenaran. Foucault
menyatakan bahwa tidak mungkin mendapatkan akses ke kebenaran universal karena
mustahil membicarakannya dari posisi di luar wacana; tidak ada jalan untuk
lolos dari representasi (Jorgensen dan Phillips, 2007 : 27).
Terkait diskursus pembangunan atas Negara-negara ‘’berkembang’’
merasa tidak elok jika luput mengambil katakanlah hikmah berharga mengkaji
betapa kuatnya hegemoni barat mendudukan timur sebagai subjek.
Sebagaimana ditelanjangi dalam argumentasi brilliant Edward Said,
pada karya magnum opusnya Orientalisme. Di awal awal pembukaan buku tersebut
dia telah dengan tegas mengatakan tidak ada sesuatu yang dengan begitu saja
ada. Yang sesungguhnya muncul adalah yang diadakan (reprence) atau
representasi.
Bagi Said, Orientalisme yang dia maksud tidak lain suatu gaya
berfikir yang didasarkan pada pembedaan ontologis dan epistemologis antara
timur dan hampir selalu barat. Akibatnya sejumlah penulis, yang terdiri dari
penyair, novelis, filsuf, pakar politik, ekonom dan para pejabat harus menerima
dan tak jarang larut pula melakukan pembedaan antara timur dan barat sebagai
ajuan, titik pijak untuk merumuskan bergam, teori, streotipe, dan narasi
politik baik dalam cerita, novel, potret sosial, serta kajian politik mengenai
dunia timur, rakyat timur, adat kebiasan timur, pikiran timur, dan takdir timur
(Said.2010: 03)
Apa yang dikemukakan Said dalam Orientalism meluber ke
cara pandang dan imajinasi serdadu colonial, sejarawan, Guru besar ketimuran,
serangkaian ide-ide ketimuran, despostisme timur, keangungan timur, sensualitas
timur, bahkan kebrutalan timur, Hal ini tidak lain bagi Said sebagai tindakan mendudukan
subjek timur yang ditimurkan dalam relasi kekuasaan, dominasi dan hegemoni yang
kompleks.
Pelajaran lain yang bisa diambil dari Said, tentunya pada
ketaatan rujukan metedologi dikursus yang diadopasi dari Foucault dalam The
Archaelogi of knowlagde dan Discipline and punish, relevan diterapakan
untuk membedah orientalisme dan menelisik sejarah dunia ketiga.
Dengan begitu sesungguhnya kategori dunia timur, pembagunan dan
istilah dunia ketiga merupakan kosntruksi sejarah. Ketiga term ini adalah manifestasi
imajinasi suatu tatanan atau dunia yang sebenarnya tidak banyak berkesesuaian
dengan kondisi yang direpsesnatisikan atau yang digambarkan. Akan tetapi justru
jika ditelisik akan sangat banyak dan peka beririsan dan berelasi dengan
kontestasi kekuatan politik ketika diskursus itu hadir.
- Membaca
Sejarah Pembagunan
Pertama kali term pembangunan dan kategori dunia ketiga muncul
sebagai diskursus pengetahuan bermula pada awal periode pasca perang dingin
dalam sebuah teks pidato pengukuhan president AS Hery Trument. Pada Januari
1949 pidato terebut memperkenalkan wilayah terbelakang dan menandai peluncuran
usaha global untuk membangun dunia dan menghapus kemiskinan. Akan tetapi tidak
berhenti disini, (Norgaard 1994,Cowen dan Sheton 1995 dalam Rita Abrahamsen
2000 ) menyatkan bahwa gagasan modern tentang pembangunan secara
intrisnik berkaitan dengan pandangan mengenai kemajuan dan evolusi yang telah
dengan sangat peka menandai budaya barat sejak zaman pencerahan silam. Ciri
tersebut ditentukan melalui perkembangan ilmu pengetahuan dan pertumbuhan
kapitalisme (industrialisasi)
Namun jauh sebelum mereka mengukapan hal itu, Foucault melalui
telaah arkeologinya telah membuka areal-areal sejarah yang dikubur oleh
kekuasaan untuk dapat menampakan secara jelas diskursus kekuasaan apa yang
mengkosntruksi individu, khsusunya individu modern Eropa yang diselimuti
awan hitam pencerahan ilmu pengetahuan. Sehingga keyakinan terhadap pengetahuan
ini lambat laun menjadi instrument cara pandang individu hingga menggeser
posisi doktrin teologis (agama). Ilmu pengetahuan menjadi kontrol bagi kemajuan
dan perkembangan dunia barat. Ditegaskan Foucault, peyebaran diskursus atau
pengetahuan telah mendistribusikan proses seleksi, control,dan ekslusi
(penyinkiran) yang melestarikan rezim kebenaran.termasuk pada level
institusional pengetahuan (Foucault, 1972:42)
Apa yang dikemukakan Foucault, mendapat mendalaman oleh Rita
Abrahamsen dalam buku Diciplining Democracy: Development discours and good
Governance in Africa (2000) bahwa meskipun gagasan mengenai pembanguan terkait
dengan berkembangnya kapitalisme dan modernitas di Eropa pada akhir abad 18,
namun pelembagaan (institusional) pembangunan sesungguhnya telah mendapat
statusnya setalah perang dunia kedua. Periode ini turut menjadi saksi munculnya
organisasi pembangunan, ahli pembangunan, ekonomi pembanguan, pembagunan
nasional, hingga sederat matakuliah tentang pembagunan di kampus-kampus.
Kembali pada teks pidato presiden Truman, titik tekan politis
atas sikapnya terhadap usaha pengurangan angka kemiskinan yang masih melanda
hampir sebagian panduduk dunia, menjadi seruan penting atas kebijakannya kelak.
Seperti tercantum di bawah ini:
‘’Lebih dari setengah penduduk dunia hidup dalam kondisi
menderita. Makanan mereka tidak mencukupi, mereka menjadi korban penyakit.
Kehidupan ekonomi mereka primitive dan stanan. Kemiskinan mereka merupakan
sebuah noda dan ancaman bukan saja bagi mereka tetapi juga bagi wilayah yang
lebih makmur. (Truman 1949)
Pidato presiden ini kian menegaskan posisi Amerika serikat
sebagai Negara power full turut andil dalam dinamika global. Sekaligus
tentunya ia telah mengkategorikan Negara yang pertumbuhan ekonominya belum
stabil, angka kemiskinan melonjak dan ancaman wabah penyakit adalah ciri Negara
terkebelakang.
Dengan jelas formasi diskursus pidato di atas menggiring
pengetahuan kita, bahwa Negara terbelakang harus dibantu Negara maju sebab
Negara keterbelakang dicitrakan pasif. Korban ketimbangan ekonomi yang berkibat
pada kemiskinan dan lemahnya angka kualitas hidup, ancaman penyakit serta
rendahnya mutu pendidikan. Disamping itu, teks tersebut memperlihatkan
imajinasi Amerika, atas citra Negara terbelakang sangat streotipikal, di
antarnya: miskin, penyakitan, stagnan, dan primitf.
Namun dibalik nuansa (seola-olah) humanis ini terdengar
ketakutan tertentu terhadap kemiskinan. Dalam bahasa/teks pidato Truman ‘’kemiskinan
mereka adalah ancaman bukan saja bagi mereka tetapi juga bagi wilayah yang
lebih makmur’’ . Pengaitan antara kemiskinan dengan bahaya, serta acaman
tersebut, dapat dilacak sampai ke abad ke-18. Ketika perkembangan industrial di
Eropa justru menjadi penyabab utama ketimpangan kemiskinan yang luas, telah
menjadi ancaman bagi jalan hidup yang ‘beradab’ atau ‘normal’. Karena itu kelompok-kelompok
yang berbahaya harus dikontrol atau diawasi.(lihat Abrahamsen: 35)
Kemajuan industrial pada kurun periode itu pun tidaklah benar-benar membawa
‘’berkah’’ bagi masyarakat namun jutru kian membuka jurang ketidaksejahtraan.
Lantas, siapakah kelompok-kelompok yang dianggap berbahaya
tersebut? sehingga peran mereka harus diawasi? Seolah kehadiran mereka dinilai
jadi penghambat kemajuan/pembagunan yang ditandai dalam periode pencerahan abad
ke- 18. Untuk menjawab itu saya merujuk pada gagasan dan penemuan Foucault
dalam Madness and civilization, menyatakan mereka merupakan kumpulan
orang-orang miskin, gelandangan dan pengangguran yang ditangkap dan
dikurung dalam rumah sakit khusus penyandang lepra,dipandang tidak produktif
bagi kemajuan industrialisasi Eropa.
Fenomena pembersihan besar-besaran di seluruh Eropa diteliti
Foucault. Sejumlah arsip menyebutkan banyak masyarakat Eropa dirundung oleh
semacam ketakutan dan kepanikan dari terror dan penculikan. Baik yang datangnya
dari perintah melalui letter de cachet (surat perintah resmi raja) atau
yang datangnya dari institusi swasta lainya. (Foucault.1975)
Apa yang dapat dipahami dari adanya kebijakan pemusnahan
orang-orang yang dianggap bermasalah ini? Tentunya persoalan ekonomi tidak
dapat dielakan meskipun itu bukan menjadi factor penting. Foucault melihat,
pengunaan bangunan-bangunan lama bekas rumah sakit lepra untuk keperluan
penampungan orang-orang miskin ini pada mulanya ada kaitanya dengan krisis
ekonomi yang melanda seluruh Eropa pada akhir adab ke- 17. Hal ini juga yang
menjadi pehatian Foucault pada periode tetang kelahiran dikursus medik dan
kemunculan klinik. Nanti pada kesempatan lain akan saya ulas. Selanjutnya
terkait ancman tersebut, hampir setiap kota di Eropa ditemukan fenomena turunya
gaji, pengguran dan semakin berkurangnya jumlah mata uang (Lihat
Suyono:215:2002).
Bahkan dalam bagunan bekas rumah sakit lepra, mereka tetap
dituntut bekerja. Sementara upahnya Negara cukup menganti dengan memberi mereka
makan dan minum sekedarnya. Selain itu, mereka harus melewati masa-masa sulit
melalui pembinaan mental dan moralitasnya agar menjadi pekerja-pekerja yang
patuh pada upah murah demi melayani industri. Seperti ditulisnya pada Madness
and civilization ketika Foucault meneliti arsip-arsip dia menemukan di Jerman
setiap rumah penangkapan memliki spesifikasi tersendiri. Di Bremen, Brunswick,
Munich, Breslau, dan Berlin Pendirian Bagunan tersebut dkhususkan untuk pekerja
pemintalan, di Hanover penenunan, di Hamburg dan Bremen untuk pekerja pembelahan
kayu (Foucault.1975)
Memang benar betapapun logika ekonomi ada dibalik fenomena
penangkapan ini, namun dalam Madness and civilization(1975) sejauh dicermati
sebenarnya ada yang kurang diungkapkan namun terasa cukup kuat mempengaruhi
alam pikiran masyarakat Eropa. Foucault menunjukan penyebab peristiwa itu
adalah pikiran mengenai impian kaum borjuis yang tengah tumbuh untuk
menciptakan sebuah kota yang teratur, tertata rapi, sehat sesuai cita-cita
moral kelas sosial mereka. Motif utama penagkapan tersebut dalam dimensi
pemikiran Foucualt di samping ekonomi juga masih terdapat motif yang hubugannya
dengan hasrat moral dan cita-cita sosial kelas masyarkat tertentu. Sebagaimana
dikatakan Foucault dalam Dicipline and Punish (1977) bahwa melalui berbagai teknik
untuk anjuran perang melawan kemiskinan, si miskin lantas diteliti dan
diklasifikasi, diatur dan diawasi. Mereka menjadi objek yang bisa diamati
oleh kekuasaan pendisiplinan .
Berdsarkan argument ini kita bisa beranggapan bahwa sesungguhnya
keberadaan sector industri justru turut andil memperburuk keadaan.
Diskursus inilah yang telah dengan sengaja disembunyikan. Dengan begitu
runtuhlah anggapan bahwa dengan kemajuan ekonomi ditandai meningkanya
industrialisasi akan benar-benar memberikan kesejahtraan, sesuguhnya hanya
isapan jempol atau omong kosong !
Pada konteks sekarang, bantuan luar negeri yang dipolopori oleh
sejumlah lembaga, tidak lain adalah upaya pemosisian subjek timur tetap
berada pada lapisan bawah dan kendali Negara barat. Atau katakanlah, misalnya
terkait wacana eneregi dan perminyakan. Harus dipahami tidak ada di dunia ini,
sebuah masyarakat, Negara atau daerah memperoleh sejahtera dan kaya hanya
karena tambang.
Pada akhirnya meskipun tulisan
ini terlanjur cepat pada kesimpulan, namun patut dicatat, bahwa diskursus
pembangunan memperoleh legitimasi ‘’kebenaranya’’ telah secara efektif
membentuk dan memaksakan suatu cara agar Negara maju dapat memandang dan
bertindak sekaligus menciptakan ketergantungan untuk Negara berkembang/Negara
dunia ketiga. Sekarang ini sangat sulit untuk berbicara atau berfikir tetang
dunia ketiga dalam kerangka yang berbeda karena sudah dilekatkan secara
hegemonik pada kosa kata ‘pembangunan’ yang bisa kita peroleh untuk
meilustrasikan keadaan Negara-negara tersebut, karena citra dan hirarki
diskursus pembagunan senantiasa direproduksi dan diperkukuh pula dalam
representasi utara-selatan.Imajinasi geografi tersebut telah berbicara dalam
bingkai hubungan geopolitik yang telah menudukan Negara-negara utara dan barat
pada posisi superior berdiri tegak dalam hubungan domninasi taka setara.
Tiap hari di
media massa tayangan anak-anak kelaparan dan petani yang bekerja menutup
representasi apapun mengenai dunia. Sedemikian kuat hegemoni diskursus
pembangunan ini seperti ditunjukan Escobar (1995:5), mereka yang menentang
pembangunan konvensional, bahkan sampai sekarang masih terjebak dalam bahasa
dan pencitraan tersebut, karena sulit keluar dari diskursus yang hegemonic
tadi. Akibatnya kritik-kritiknya kerap menyebut pembangunan alternative
seperti pembangunan partisipatoris, atau yang belakangan marak seperti
community development hingga semacam sosial responsiblity corporatioan, jusrtu
mereproduksi diskurusus pembanguan.
Inilah sederet kekuatan diskursus pembagunan membentuk dunia
sosial agar nampak humanis dalam selubung penciptaan ‘rezim kebenaran’
sekaligus penciptaan ketergantungan atas Negara maju bagi Negara berkembang.
Lantas memandang kemajuan untuk ditiru agar nampak setara dengan barat yang
‘maju’ itu. Dunia ketiga dikonstruksi memiliki alasan untuk meminta lebih
banyak bantuan, lebih banyak ahli pembagunan, lebih banyak skema perluasan
pembaguanan desa, tatakelola pemerintahan, dan landscape tata ekonomi regional
dan lain-lain.
Namun meskipun dalam objek dunia ketiga, termasuk saya
dilahirkan dan masih menghuni kolong langit dari dunia ketiga, menggap kegalaun
ini harus segera diakhir. Sebab saya masih meyakini, objek pembagunan bukanlah
penerima yang pasif, ditindas selurunya kekuasaan oleh Negara barat. Sesuguhnya
mereka adalah individu-individu atau komune-komune aktif yang masih mampu
melawan/resisiten menjungkir balik penipuan-penipuan yang dilakukan atas nama
pembangunan. []
Kali Code, 16 Juli 2012
Komentar
Posting Komentar