Langsung ke konten utama

Review : ‘’Saussure And the Origin Of Semiotics’’. Karya Hodge dan Kress




Tulisan ini adalah hasil pembacaan saya atas artikel ‘’Saussure And the Origin Of Semiotics’’ karya Robert Hodge dan Gunther Kress, Professor semiotika pada University of Western Sydney dan Institute of Education University of London. Sekaligus tulisan ini ‘tiket masuk’ kelas semiotika media di prodi kajian budaya dan media.
       Setelah membaca tulisan ini, saya mencoba memberikan beberapa tinjauan. Pertama, bahasa yang menjadi acuan lingustik Saussure terkait erat dengan proses yang ada dalam kehidupan manusia sebagai sebuah fakta sosial. Bahasa sebagai fakta sosial ini selanjutnya dianalisa berdasarkan strukturnya melalui penjabaran dikotomis antara: Langue dan Parole, sinkronis dan diakronis, signifier dan signified, serta sintagmatik dan paradigmatic. Sehingga dapat dikatakan semua realitas sosial bisa dianalisa berdasarkan pendekatan srtuktuktural yang tidak terlepas dari aspek kebahasaan (linguistic term) ketika membaca pemikiran Saussure seolah-olah kita diajak berdiolog sistemik dikotomis tersebut.




       Kedua, (Hodge dan Kress) dalam tulisan tersebut ingin memposisikan dirinya mengkritisi konsep semiotika Saussure tentang ketidak-berterimaan bahasa atas kajian semiotika yang dinilai memiliki kecendrungan pada sifat mana suka (arbitrair) atau semena-mena terhadap bunyi dan kata. Dalam hal ini sangat bergantung pada konvensi atau kesepakatan pemakai bahasanya. Artinya tidak ada hubungan alami dari signifier dan signified.

…the linguistic sign is arbitrary: there is no necessary or natural connection between a signified and its signifier… (p, 46)
       Mengingat hubungan signifier dan signified bersifat arbitrair, maka keduanya bisa berupa apa saja(mana suka). Lalu apa yang dapat menentukan bahwa signifier adalah signifier dan signified adalah signified? Atau apakah yang menentukan semata-mata adalah relasi? Sekiranya benar jika menggunakan pendekatan Saussure, tentunya relasi menjadi kata kunci. Akan tetapi relasi tanda Saussure yang masih dikotomis cenderung objektif dan masih berkutat pada kategorisasi oposisi biner yang melandasi kuatnya pengaruh objetivisme. Seperti diungkapkan oleh Voloshinov dalam Hodge dan Kress bahwa tradisi semiotika Saussure sebagai ‘’abstarct objectivism’’ (hal 43)
      Sementara bukankah setiap kebudayaan dan teks –teks bisa ditafsirkan dengan beragam macam cara dan mampu menghasilkan pembacaan yang beragam. Mampukah semiotika strukturalis Saussure melampaui rezim oposisi biner/dikotomis? di satu sisi indeks-indeks kultural yang nilai dan maknanya sangat bervariasi di dalam kehidupan masyarakat?
       Memang benar semiotika perspektif Saussure dan Pirce sanggup membaca tanda-tanda yang sifatnya sudah fix dalam sebuah struktur. Namun yang menjadi masalah menurut saya adalah, apakah semiotika mampu menjelaskan gejala-gejala kebudayaan yang sifatnya sangat fluid, dinamis dan bergerak.? Bagi saya cukup sulit. Pada tataran ini, semiotika akan sulit memberikan pemecahan.
      Disebabkan semiotika utamanya Saussure masih ‘asyik’ dalam permain struktur tanda ketimbang menekankan perubahan pada tanda itu sendiri. Sebagaimana oleh Begawan postrukturalis Jean Buaudrirall mengatakan bahwa semiotika juga menitik beratkan pada reproduksi kode ketimbang produksi tanda-tanda.
       Dengan demikian maka, fakta sosial seperti apa yang melandasi teori semiotika Suassure? Jika relasi tanda selalu diproduksi ulang dalam bentuk yang sama, cenderung bergantung pada konvensi dan sifat linearnya. Sementara realitas sosial senantiasa bergerak dinamis.
       Kiranya semiotika a la Saussurean akhirnya dan terpaksa dilabeli gelar’konvensional’ karena cukup kesulitan mengurai komplesitas gerak budaya post industrial dewasa ini. Ricahard Harland, dalam karyanya Superstructruralism: the Philosophy of structuralism and postructrualism (1987:123) memaparkan sekelumit problem penerapan semiotika konvensional mengartikulasikan konsep tanda yang bersifat stabil dan pasti di dalam kebudayaan postmodern. Sebuah kebudayaan yang mengkuduskan citra (image) sebagai realitas otentik. Di dalamnya gerak kecepatan justru melampaui arti dan makna tanda itu sendiri. Sebab dalam memahami teks-teks post-modern kaitanya dengan semiotika cenderung menampilkan dan mengembangkan praktik-praktik wacana paradigmatic bukan lagi dibelenggu pada aras sintagmatik,yang niscaya patuh terhadap bahasa sebagai order dari system pertandaan (langue).
      Kritik ini lantas memberikan celah mendudukan tanda pada aras paradikmatik atau tepatnya pada penekanan ketidakstabilan makna-makna keluar jauh dari lingkup ideologis yang mapan. Kenyataan ini menurut Harland dikarenakan teks-teks post-modern bermigrasi dalam gerak yang sangat cair, misalnya perubahan tampilan iklan, fashion, televise, media massa, produk konsumsi oleh kendali bahasa yang bersifat ironic dan metaforik.
    Simak misalnya Para ‘nabi’ postrukturalis sperti Derrida, Foucault, Deluze, guattari serta Buadrillard memahami tanda telah memiliki kualitas sirkular layaknya penyebaran aspek diskurus, pada setiap formasi sosial. Ia mudah berubah bentuk dan dipertukarkan pada setiap medium.
     Dalam menyoroti perkembangan model konsumsi tanda-tanda di dalam masyarakat konsumer, saya lebih condong menyebutnya demikian ketimbang dilabeli masyarakat ‘kontemporer’. Oleh Baudrillard menegaskan dalam masyarakat konsumer, penekanan aspek paradigmatik tanda, kini mampu mengamputasi nilai guna berganti wujud dengan nilai citra itu sendiri. Nilai guna tak jarang lebih dari semacam alibi. Sebab identitas beserta cirri-ciri yang melekat dalam masyarkat konsumer, justru merupakan arena bagi pertarungan sekaligus permainan tanda terlepas dari kuasa struktur. Tanda lebih diakui, mendapat tempat dalam derajat problem mentalitas subjek-subjek konsumer ketimbang nilai guna (utilitas) sebuah objek.
       Apa yang diunggapkan kedua penulis, pada tataran semiotik nampaknya belum menelusuri hingga ke level praktik tanda dalam masyakat consumer berserta segala konsekuensinya. Sehingga niatan penulis yang semula ingin mengkritik semiotika Saussure justru masih berlama-lama dalam narasi kearbitrairian tanda dan makna. Memang aspek keabertarian ini merupakan pintu masuk memahami tanda pada demensi cultural dengan segenap sisi konvensi tandanya.
     Akan tetapi penulis luput memahami bahwa problem keabertarian hanya salah satu dari sekian banyak rujukan menelusuri karakter budaya. Kearbitrairian tidak cukup ampuh membaca ajuan budaya tanpa menggenapkanya dengan memberikan sentuhan diskurus yang muncul melatari setiap gejala sosial dan cultural. Sekaligus turut membaca ciri masyarakat konsumer yang memiliki banyak perbedaan.
     Salah satunya dalam masyarakat konsumer tanda bukan lagi mengandung makna ideologis yang stabil/tetap. Melainkan permainan penanda (aspek materil tanda). Sehingga derajat penanda (aspek mental tanda dan makna) pada giliranya sudah tidak lagi berfungsi. Atau dengan kata lain petanda kini menemui ajalnya. Penada (makna) telah mati dibunuh arogansi citra yang melipatgandakan realitas seola-ola merujuk pada realitas objektif yang sesungguhnya.
     Terkait kematian penanda, secara khusus Fredric Jameson (1991:96) mengatakan, ‘’Di dalam diskursus postmodern referensi dan realitas secara bersamaan ikut menghilang dan bahkan petanda (makna) terjebak dalam problem eksistensinya’’.
     Ambil contoh, dalam tontonan sepak bola, tidak ada lagi makna yang diiginkan atau dihadirkan penonton, tetapi ritual seremonial menonton bola itulah yang sesugguhnya menjadi element produksi dan reprodusi tanda. Produksi tanda ini selanjutnya menjadi komoditi yang dikonsumsi masyarkat tontonan. Sebut misalnya iklan-iklan produk rokok, minuan, dan aksesoris telah dilabeli dengan identitas ‘’kesepakbolaan’’. Untuk kajian tentang masyrakat tontonan kita bisa menelaah pemikiran Guy Debord dalam argementasinya terkait The society of the spectacle, selanjutnya.
       Akhirnya saya harus meninjau lagi konsepsi Saussure yang mengakui bahwa language is irreducibly a ‘social fact’ (p.41), tapi pada sisi lain ia juga menegaskan perlunya memisahkan what is social from what is individual; what is essential from what is accessory and more or less accidental. Lantas di manakah titik temu antara teks dan realitas? Jawaban sementara, yaitu Jika Dalam semiotika meletakan realitas sebagai proses dinamis yang terus bergerak dan berubah.[]



Referensi


Hodge dan Kress ‘’Saussure And the Origin Of Semiotics’’


Richard Harland Superstructruralism: the Philosophy of structuralism and postructrualism.1987


Jean Baudrillard. : the ecstacy of communication.1988


-----------------------: Toward a critique of the political economic of the sign. 1981


Fredric Jamson: Postmodernism or the cultural logic of late capitalism. 1991


Yasraf, Piliang: Dunia yang dilipat.2011

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resume Buku Teori Budaya, karya David Kaplan dan Robert Manners

Antropologi “ metodologi dan pokok soal dalam penyusunan teori” Pada pembahasan awal Buku karya Kaplan dan Manners yang bertajuk teori budaya ( the teory of culture ) mengetengahkan masalah mendasar Antropologi sebagai suatu bidang pengetahuan yang mendisiplinkan diri dalam kaidah ketat epistemology,   pada akhir abad sem bilan belas. Menurut keduanya, pokok –pokok problem yang diperhatikan Antropolog dapat diringkas menjadi dua pertanyaan besar yang saling terkait, yaitu   pertama, bagaimanakah berkerjanya berbagai system budaya yang berbeda-beda? kedua, bagaimanakah sistem-sistem budaya yang beraneka ragam itu   mendapat tempat seperti saat ini? (Kaplan &Manners hal 2)                 Problem mendasar dalam uraian akademis yang dikemukakan oleh Kaplan dan Manners tersebut,   merujuk pada pemahaman mengenai perbedaaan   pada setiap budaya, baik dari segi ruang maupun...

ON A BUS EKA

Berawal dari perbincangan beberapa orang teman di Yogyakarta, perihal armada transportasi  darat khusus rute Yogyakarta- Surabaya. Kebanyakan mereka merekomendasikan bus EKA sebagai moda transportasi kelas eksekutif dengan tarif lumayan terjangkau. Berdasarkan tuturan dan kesaksian mereka, setidaknya saya mendapat gambaran bahwa bus EKA tidak hanya menyedikan jumlah armada yang relatif tersedia hampir setiap jam, namun armada yang mengawali rutenya dari Magelang- Surabaya pp ini, pun mampu menciptakan kenyaman selama perjalanan anda, meski dibandrol dengan tariff Rp.63.000 untuk rute jauh seperti Yogyakarta- Surabaya yang tergolong ‘murah’. Salain dua hal diatas tadi, salah satu keunggulan bus ini menurut versi mereka yang sudah loyal menjadi ‘jamaah’ bus ini, saban kali ke Surabaya adalah ketersedianya menu makan di rumah makan Duta Kabupaten Ngawi, Jatim. Dengan hanya mengeikhlaskan 63 ribu jumlah tersebut sudah termasuk memilih salah satu dari lima menu yang dikhususkan ...

Resensi: Simulasi dan Hiperrealitas dalam film SIMONE

   Ciri khusus genre film sains fiksi Holywood kerap kali mengetengahkan ide tentang keunguulan komputerisasi sebagai satu-satunya instrument penting industri film Amerika serikat dewasa ini. Ilustrasi dimensi ruang dan waktu dalam virtualisasi kapsul digital menjadi penanda dimulainya  era digitaliasi sebagai tema mainstrim performativitas film Holywood, setidaknya 10 tahun belakangan.       Dari sekian banyak film bergendre sains fiksi, salah satu yang masuk kategori film favorit-ku tahun 2011 jatuh pada SIMONE. Film besutan sutradara Anderew Nicola yang dibintangi aktor Alpacino ini, sempat direkomendasikan oleh ketua prodi Kajian Budaya dan Media, Prof. Heru Nugroho sebagai salah satu dari sekian banyak tugas mata kuliah teori kritis dan posmodernisme.       Sekedar catatan, melalui film ini setidaknya kita diajak berkenalan dengan sejumlah teori postmodernisme. Lewat Simone memungkinkan siapa saja bisa m...