Takjub dan terkesima, mungkin terlalu
berlebihan. Tetapi itulah ekspresi kekaguman ketika bertandang ke pameran seni
rupa terbesar di Yogyakarta. Mulanya
saya sama sakali tidak menduga kalau event ini hanya sebatas ajang
performatifitas seniman yang ada di yogya saja. Tapi dugaan itu harus ku
koreksi ketika saya dan beberapa kawan baru mengetahui bilamana pameran tersebut telah melibatkan
kurang lebih 103 perupa, dari Indonesia dan beberapa seniman asing. Mendengar kabar
itu saya sedikit bergumam, rupanya ini bakal menjadi moment sekadar memanjakan
indera sembari belajar mengasah sensitifitas seni, sekaligus turut merayakan
keberuntungan nasib memlih Yogya sebagai alternative pendidikan. Sebab kota ini harus diakui, tergolong tidak pernah perhenti berdenyut dari
aktivitas berkesenianya.
Berlokasi di gedung kesenian Taman
Budaya Yogyakarta, event Art-Jog12 ini berlangsung sejak 14 Juli hingga 28 Juli
nanti. Nah, berikut ini saya sekedar menceritakan hasil pandangan mata selama
kurang lebih 1 jam berada di gedung itu demi memulihkan indera penglihatan setalah beberapa hari lalu
sempat terganggu oleh objek pemandangan kurang sedap di sekitar kost.:) Meskipun saya
sadar durasi satu jam itu tergolong singkat untuk mengamati satu-persatu objek kreativitas olah rasa dari tangan dingin seniman ‘berkelas’.
Karya seni instalasi 'tanaman vegetasi' |
Usai merapikan motor, saya beranjak
masuk di halaman gedung kesenian. Spontan saya dikejutkan oleh sebuah objek tidak lazim,
yaitu Gedung kesenian Yogyakata secara khusus telah berganti rupa, didandan mengikuti
konsep kreativitas tangan-tangan terampil perupa. Bangunan tua tersebut di-makeover menyererupai
sebuah tanaman vegetasi pantai terbuat dari bahan dasar anyaman-anyaman bambu.
Kalo diprediksi kira-kira mencapai lebih
dari angka 1000 buah bambu. Karya instalasi itu nampak tegak menjulang dalam
lilitan bambu menutupi bagian depan gedung peninggalan Belanda tersebut.
Anda bisa membayangkan, sebuah gedung
kesenian bergaya arsitektur Eropa kontinental itu, nasibnya kini harus
menyesuaikan dengan objek pamer berupa lilitan bamboo dibuat menyerupai salah satu tanaman vegetasi katakanlah jenis mangrove. Proses kreatif perupa Joko Dwi Arianto ini tergolong
unik untuk ukuran kelopak mata orang awam seperti saya. Kita bisa membanyangkan
dari dekat betapa rumitnya pembuatan anyaman-anyaman bambu harus diliit/lipat
dan didesaian sesuai konsep/model dan karakter tanaman vegetasi tersebut. Bahkan untuk
ukuran sebuah karya seni, gedung kesenian harus rela diganti warna tembok yang semula putih, kini dipoles hitam pekat,
termasuk papan nama gedung pun mengalami nasib serupa, dicat hitam untuk menyesuaikan
dengan karakter objek karya.
Tidak hanya itu, saya dan kawan-kawan masih ‘’terjebak’’
takjup di pelataran, karena selain karya tanaman vegetasi tersebut terdapat
juga sebuah karya tiga dimenasi yaitu sebuah ikon gajah mati di atas kira-kira
ratusan tumpukan kelapa . karya Perupa I Made Widya Diputra ini merupakan
argumentasi kritik atas ironi negara kaya
sumber daya, namun masih kekurangan
pangan dan himpitan masalah kemiskinan di tengah limpahan kekayaan alam Indonesia.
Sekitar 15 menit saya
dan kawan-kawan tertahan di pelataran, selanjutnya
memilih masuk lalu masing-masing di antara kami terpencar mengamati setiap detil
objek tatapan dengan ekpresi dan kadar ke- khusukan masing-masing.
Seperti sebuah alur cerita, setiap
ruang pamer tersusun secara tematik. Dan tentunya ada semacam pesan yang ingin disampaikan
perupa dan juga penyelanggra. Bermula pada
objek tatapan sebuah karya prototype pesawat komersial berbahan dasar alumenium didesain unik dengan tampilan
permukaan tubuh/body pesawat dibubuhi cetakan sejumlah berita surat kabar
tetang Indonesia, tertuang dalam fragmen berita politik, pembangunan ekonomi, pengembangan
industri dirgantara, hingga berita terkait aksi demonstrasi mahasiswa di Makassar,
sempat diabadikan pada batang tubuh pesawat jenis boing itu.
Kemuadian saya beralih pada ruang
pamer seni patung dan sketsa. Terlihat penggambaran abstrak tetang kejadian manusia, pola pikir manusia,
aktualisasi dan penggambaran penaklukan alam, hingga tabiat manusia melekat dalam
fragmen digitalisasi kehidupan masyarakat berlabel ‘kontemporer’ menjadi tema utama yang sempat saya rekam dalam keterbatasan quota memory ingatan ku. Ingin rasanya
saya menulis setiap moment langsung dari lokasi, namun lagi-lagi hal sepele,
tidak membawa pulpen menjadi perkara serius.
Dalam ruang pamer, rasa-rasanya saya
seperti sedang memasuki sebuah miniature dunia lain. Sebuah dunia lipatan dalam
gerak simulasi citra dan symbol. Penggambaran dunia beserta kompleksitasnya seolah menyatu
dalam ruang representasi. Sebab Sebuah ruang
tidak hanya dipahami sebagai peneguh geografis, namun ruang kini bergerak melampaui
sekat geografis itu sendiri. Ruang hadir dalam imajinasi akan kerinduan sebuah
masyarakat [kelompok kelas menengah perkotaan] yang berhasrat menuangkan gelora
liberalisasi seksualnya dalam sketsa-sketsa abstark. Pun di satu sisi ruang
menjadi arena penegguhan sekaligus
makian atas kebijakan pemerintah, membuat petani menjerit kehilangan cangkul serta
nelayan menahan isak, gagal melaut ditengah himpitan harga solar melangit, hadir dalam memory lukisan surealis
Selang beberapa menit setalah keliling
di beberapa titik pamer, saya sedikit berkontemplasi perihal plihan tema oleh pihak
penyelengra atau kurator. Di mana meraka mengusung
tema
‘’Looking East a Gaze Indonesia upon
Contemporary Art. Bagi saya tema ini
tidak hanya memprovokasi tatapi mampu menelisik selubung praktik-praktik kolonial
yang masih mengendap di dasar memory masyarakat timur. Proses pengubahan dari
teks hingga diskursus kolonial atas ‘’timur yang ditimurkan’’ dalam sejumlah
karya di sini cukup tematik. saya melihat pendefinisian identitas ketimuran,
hadir dalam pencitraan dan penceritaan atas timur yang teduh, timur yang
santun, timur yang sensual, eksotik hingga timur yang primitive dan irasional,
mampu terbingkai dalam system representasi citra timur yang dinarasikan dan
dikonstruksi barat. Kerinduan akan hujan
salju, keterkaguman akan popularitas selebriti papan atas Hollywood,
perkembangan fashion, dan kemajuan teknologi antariksa adalah sejumlah
repsresentasi keunggulan barat, telah beririsan dengan hasrat ingin setara objek barat lalu bertindak meniru tabiat dan karakternya adalah
sederet implus-implus mentalitas kolonial yang menyebar dalam diskursus pengetahuan,
termasuk karya seni, sastra, entnografi dan teknologi tetantang timur yang
minor dan primodial oleh rezim pengetahuan barat yang dicitrakan maju,
berperaaban, dan [sok] demokratis itu.
Karya-karya dalam setiap ruang pamer
yang dikreasi dalam ketertundukan tema di atas bisa dikata merupakan reprsentasi elegy atas suatu periode ketika orang sudah selesai
dengan urusan menafsirakan teks-teks secara filologi,literal dan sejumlah
perangkat pengetahuan lain. Di dalamnya persoalan kuantitas ‘isi perut’’ telah
selasai. Sehingga upaya pencarian timur yang hilang, merujuk pada keterangan kurator
event ini, bagi saya hanyalah sebuah usaha
sia-sia, jika proses pencariannya tidak menemukan retakan-retakan sejarah penyebab
timur didudukan sebagai subjek atas hegemoni barat.
Jika proses pencarian tidak menemukan
retakan sejarah, maka bagi saya pameran ini hanyalah bentuk reproduksi ‘kegalauan’
subjek timur yang naïf mengendap dalam lapisan ketidaktahuan posisi. Sehingga mengambil
bagian merayakan ketertindasan tatapi merasa tidak ditindas. [].
Kali Code, 18, Juli, 2012
Komentar
Posting Komentar