Ada sebuah ruang dalam kebudayaan yang di dalamnya sebuah kedustaan telah dikemas dengan sebuah kemasan yang menarik dapat berubah menjadi sebuah kebenaran. Sebuah kepalsuan ditampilkan lewat teknik penampakan dan pencitraan yang sempurna, dapat nampak sebagai keaslian sebuah ilusi.
Merujuk komentar Piliang (33:2003) bahwa “Dekade inilah peristiwa dan fakta dikonstruksi lewat rumitan teknologi informasi dan komunikasi telah diterima sebagai sebuah realitas. Sebuah kejahatan yang dibungkus lewat rekayasa sosial berteknologi tinggi dapat menjelma menjadi sebuah kemulian”. Inilah sebuah dunia yang di dalamnya kebenaran tumpang tindih dengan kedustaan, realitas bercampur aduk dengan ilusi, kejahatan melebur di dalam kemulian, sehingga di antara keduanya seakan-akan tidak ada lagi ruang pembatas.
Sungguh naif jika hari ini kita masih mempercayai bahwa, media berdiri pada posisi netral
Fenomena tersebut ditandai dengan adanya “angin baru” akses informasi dan perkembangan teknologi komunikasi beserta indudstri media massa sebagai konektor kebutuhan manusia modern. Media massa tak lain menjelma menjadi penghubung antar waktu, pencipta sebuah tatanan lewat kemahiran memainkan mesin kostruksi realitas dan ideologi
Dalam memahami cara kerja media merekam dan mengkonstruksi sebuah fakta, tentulah tidak dapat dipisahkan dengan bagaimana media menanggkap realitas di balik pemberitaan. Mulai proses pencarian, pengumpulan dan penyampaian pesan (realitas) semuanya melibatkan agen pengkonstruksi, dalam hal ini adalah wartawan/jurnalis. Sebagaimana Tuchman (262:1978) mengatakan, “Media mengikutsertakan perspektif dan cara pandang mereka dalam menafsirkan realitas sosial”.
Kemampuan medialah untuk menentukan aspek-aspek yang ditonjolkan maupun dihilangkan sesuai dengan muatan kepentingan/ideologinya. pada bagian inilah seorang wartawan menentukan struktur berita yang sesuai dengan kehendak mereka, dari sisi mana sebuah peristiwa disoroti. Bagian mana dari peristiwa tersebut yang didahulukan atau dilupakan. Serta bagian mana dari peristiwa yang ditonjolkan atau dihilangkan; lalu sosok siapa diagendakan diwawancarai menjadi sumber berita, dan lain-lain.
Berita bukanlah representasi dari peristiwa semata-mata. Keliru jika pemahaman yang cenderung positifistik itu masih dianut hingga kini oleh mereka yang menamakan dirinya sebagai ilmuan sosial. Justru melalui pendekatan konstruktivisme, media massa tidak lagi berada pada ruang hampa tanda tendensi, akan tetapi di dalamnya memuat juga nilai-nilai institusi media terhadap semua kepentingannya.
Pekerjaan media pada hakikatnya adalah mengkonsrtuksikan realitas. Isi media adalah hasil praktisi media mengkonstruksi berbagai realitas yang dipilihnya berdasarkan ideologi dan kognisi sosial wartawan. Ciri utama pekerjaan media adalah menceritakan peristiwa-peristiwa, maka seluruh isi media adalah realitas yang telah dikonstruksi. Pembuatan berita di media massa pada dasarnya tak lebih dari penyusunan kepingan-kepingan realitas hingga membentuk sebuah cerita .
Lebih lanjut lagi, isi media adalah hasil konstruksi realitas dengan bahasa sebagai perangkat dasarnya. Sementara bahasa bukan saja alat merepresentasikan realitas namun lebih dari itu, bisa menentukan apa tendensi ideologi yang ditonjolkan lewat bahasa. Menurut Jhon. B. Thompson (2007:19) “Ideologi bekerja melalui bahasa dan bahasa adalah medium tindakan sosial”. berdasarkan penjelasannya media massa kini mempunyai peluang besar dalam mempengaruhi makna dan gambaran yang dihasilkan dari realitas hasil konstruksi awak media.
Tulisan ini berpijak dari karakter dasar konstruktivisme yang menolak pemisahan antara subjek dan objek. Bahasa telah menempatkan subjek sebagai aktor sentral dalam kegiatan wacana. Subjek boleh melakukan kontrol terhadap maksud-maksud yang ada dalam wacana. Begitu pula dengan profesi wartawan, pekerjaan utama wartawan mengisahkan hasil reportasenya kepada khalayak berupa pesan (berita) yang sudah terangkai pemaknaannya dan sesuai dengan muatan ideologi media tersebut yang tersaji pada teks berita (news), karangan khas (feature) atau gabungan dari keduanya (Sobur :2002:89). Karena menceritakan berbagai kejadian atau peristiwa itulah maka tidak berlebihan bila dikatakan seluruh isi media realitas yang telah dikonstruksi. Dengan demikian, benarlah apa yang dikatakan Tuchman bahwa berita pada dasarnya realitas yang telah dikonstruksi
Oleh karena itu, membincangkan konstruksi media terhadap realitas tak dapat melupakan gagasan dari dua tokoh sosiologi interpretatif yakni Peter L Berger dan Thomas Lucman. Bagi kedua professor riset sosial ini telah memposisikan masyarakat sebagai produk dialektis yang hadir terus menerus. Masyarakat adalah produk individu manusia dan begitu juga sebaliknya, manusia adalah produk dari masyarakat. Dalam artian antara manusia dan masyarakat tercipta sebuah negasi sosial yang saling melengkapi. Proses diealektis inilah menjadi peletak dasar pemikiran kritis dalam kancah ilmu sosial.
Secara detail Berger menjelaskan, realitas tidaklah dibentuk secara alamiah tetapi sebaliknya ia dibentuk dan dikonstruksi. Dengan pemahaman ini artinya realitas berwajah ganda/plural. Setiap individu bisa saja memiliki paradigma yang berbeda dalam melihat sebuah realitas. Hal ini disebabkan setiap orang memiliki pengalaman, pretense, dan kognisi sosial yang berbeda-beda. Sehingga tafsiran terhadap suatu realitas pastilah berbeda.
Berdasarkan penjelasan dua ahli tadi, maka dapat dikatakan produk manusia tidak dapat dilepaspisahkan dari konteks sosio historis dan kulturalnya dimana realitas itu berada. Setiap aktivitas manusia memiliki pesan-pesan tertentu berdasarkan konteksnya. Pada kajian media massa hal ini menjadi beragam. Pada media cetak misalnya tercermin pada sikap dan kognis sosial wartawan, dan bahasa adalah alat dalam membingkai rentetan makna. Melalui bahasa pula, media memainkan strategi semantik demi mengusung kepentinganya. Sungguh naif jika hari ini kita masih mempercayai bahwa, media berdiri pada posisi netral. Bagi penulis, media massa bukanlah wadah tunggal dalam merekam dan mencerminkan realitas. Media massa hadir dalam wujud lain, yaitu tempat dimana ideologi dan kepentingan kelas dominan –dalam hal ini kekuatan kapitalistik- bersenyawa dengan kekuasaan, bercokol memainkan ”irama merdu” sebagai bentuk legitimasi akan eksisitensinya. Kepentingan itulah yang kerap kali menjadi basis sebuah indusrti media.
Terakhir, melalui tulisan ini tanpa bermaksud menggurui, penulis mengajak khalayak memahami bagaimana media bekerja ”mengkonstruksi” peristiwa dan membidik muatan ideologi serta kepentingannya. Berikut kutipan dari sebuah media indie: ”Dont Hate a Media But, Be a Media!”
Rujukan:
- Thompson, Jhon. 2006. Kritik Ideologi Global; Teori Sosial Kritis Tentang Relasi Ideologi Dan Komunikasi Massa, terj. Haqqul Yaqin. Yogyakarta: IRCISoD.
- Sobur, Alex. 2002. Analisis Teks Media. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
- Piliang, Yasraf Amir. 2003. Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna. Bandung: Jalasutra.
- Chomsky, Noam. 1996.Manufacturing of consent: The Political Economy of the Mass Media. Pantheon Books
- Erianto. 2005. Analisis wacana. Yokyakarta: LKIS
bisa juga!!!
BalasHapusjadi mi
BalasHapusbagus mi
BalasHapus