Siang itu, matahari berdiri tegak di atas petala langit Tamalanrea. Cuaca panas, seakan menjadi pelangkap perjalanan saya menuju sebuah proyek pembangunan rumah toko (ruko) di kompleks perumahan Bumi Tamalanrea Permai (BTP).
Dari ujung ruko bercorak kuning magenta, terlihat sejumlah wanita berbalut kostum panjang yang dililit sehelai kain kusam pada separuh wajah mereka; berdiri dengan sempurna di ujung anak tangga, memanjat tembok sebuah ruko. Satu per satu ayunan tangan mereka seolah memainkan gerak halus melambai beriringan memoles cairan berwarna itu. Tindakan yang dilakukan beberapa wanita parubaya tersebut, tidak lain adalah mengecat seluruh bangunan ruko, sesuai keinginan pemilik proyek yang telah memperkejakan mereka selama tiga bulan terakhir.
Adalah Daeng Nika, lima di antara buruh banguan perempuan itu cukup serius menekuni pekerjannya. Separuh jemari tangannya berlumuran cat, telapak tangannya dipastikan tidak lagi semulus wanita kantoran. Saat istirahat, barulah saya berbincang dengan ibu satu anak ini. Nika mengaku telah 20 tahun berprofesi sebagai buruh bangunan di Makasar. Tepatnya pada 1990 ia membantu suaminya sebagai buruh bangunan yang di gaji 2.000 rupiah per hari.
Tuntutan dan himpitan ekonomi memaksanya untuk hijrah ke Makassar. Tanah kelahirannya, Kajang, Kabupaten Bulukumba ditinggalkannya dengan harapan bisa hidup lebih baik. Tanpa memiliki keterampilan sedikitpun, Nika menerobos kerasnya Makassar. Wanita murah senyum ini menjaring asa; dipaksa untuk bangkit melawan arus mainstream, (menerima kenyataan) bekerja sebagai buruh bangunan.
Profesi ini terbilang unik, bagi sebagian pihak yang menganggap pekerjaan buruh (tukang bangunan) tersebut hanyalah milik kaum Adam. Namun tidak demikian bagi Daeng Nika, pekerjaan ini telah menjadi pilihan hidupnya.
Nika adalah salah satu potret wanita “perkasa” yang melakoni profesi berat layaknya pria. “Lebih baik kerja jadi tukang dari pada jadi pencuri,” jawab wanita kelahiran 1964 ini. Sehari-hari ia dan beberapa rekan mengaku sudah terbiasa menjalani pekerjaan ini. Mulai dari mencat hingga keahliannya mencampur semen. Pekerjaan berat ini boleh jadi tidak semua lelaki piawai melakoninya.
“Awalnya saya liat teman laki-laki mencampur, setelah itu mereka kasi tahu saya cara mengolahnya, pekerjaan ini yang kukerjakan bertahun-tahun jadi sudah terbiasa,” katanya serius, seraya menambahkan penghasilan yang diperolehnya tergolong kecil.
Para buruh di tempat ini hanya diupah Rp 30 ribu sehari selama enam hari kerja. Bisa Anda bayangkan, berapa pendapatan mereka selama sebulan. Meski cuma memiliki anak satu yang kini duduk di bangku sekolah dasar kelas empat, Daeng Nika mengaku kesulitan memenuhi keperluan hidup anaknya yang bernama Yusuf itu. Nika bahkan khawatir dengan masa depan anaknya, mengingat kondisi dirinya yang hanya seorang buruh bangunan.
“Saya merasa kekurangan. Sebagai tukang yang digaji rendah, saya harus menghidupi anak saya terutama biaya pendidikannya di kampung.”
Selama bekerja di ruko tersebut, Nika dan beberapa buruh yang senasib dengannya hanya difasilitasi tempat tinggal yang tak ubahnya sebuah gubuk reot. Tempat tinggal yang sangat jauh dari standar kelayakan pemukiman itu, berada tidak jauh dari lokasi proyek tersebut. Tempatnya terbuat dari sisa bahan bangunan berupa tripleks dan potongan kayu yang tidak terpakai. Jika Anda sempat melintas di jalan BTP, tepatnya di perlintasan SMU 21 Makassar, pemandangan kontras terlihat menyolok. Bandingkan dengan kemegahan bangunan ruko “pelangi” yang dikerjakan oleh buruh ini, sangat bertolak belakang. Parahnya lagi, tempat yang berpenghuni tujuh orang itu ternyata minus fasilitas air, sekadar untuk membasuh dan buang hajat.
“Kami tidak ada pilihan lain kecuali membangun rumah itu untuk tempat tinggal. Mana ada uang kalau kami hanya di gaji 30 ribu sehari, belum lagi menghidupi anak dan keluarga di kampung,” tandasnya.
Beginilah sosok seorang Nika yang menjaring asa melawan arus kodrat demi hidup dan kehidupan orang-orang dicintainya. Bekerja layaknya lelaki merupakan pilihan tersulit baginya, demi memenuhi cita-cita keluarganya. Namun disaat bersamaan triliuan uang rakyat, dirampok, deretan kasus penggelapan uang rakyat semisal Century Gate hingga kasus korupsi di Dirjen Pajak yang semestinya diperuntukkan bagi 33,8 juta rakyat miskin beralih tangan pada segelintir orang saja. Semoga rintihan Nika dan jutaan rakyat miskin menjadi teriakan dahsyat bagi pemerintah di negeri terkorup di Asia ini
Komentar
Posting Komentar