Siang itu, matahari berdiri tegak di atas petala langit Tamalanrea. Cuaca panas, seakan menjadi pelangkap perjalanan saya menuju sebuah proyek pembangunan rumah toko (ruko) di kompleks perumahan Bumi Tamalanrea Permai (BTP).

Daeng Nika. Lokasi: Bumi Tamalanrea Permai (BTP), Tanggal: 14 April 2010, Fotografer : Nur Allan Lasido
Adalah Daeng Nika, lima di antara buruh banguan perempuan itu cukup serius menekuni pekerjannya. Separuh jemari tangannya berlumuran cat, telapak tangannya dipastikan tidak lagi semulus wanita kantoran. Saat istirahat, barulah saya berbincang dengan ibu satu anak ini. Nika mengaku telah 20 tahun berprofesi sebagai buruh bangunan di Makasar. Tepatnya pada 1990 ia membantu suaminya sebagai buruh bangunan yang di gaji 2.000 rupiah per hari.
Lebih baik kerja jadi tukang dari pada jadi pencuri. Lokasi: Bumi Tamalanrea Permai (BTP), Tanggal: 14 April 2010, Fotografer : Nur Allan Lasido
Profesi ini terbilang unik, bagi sebagian pihak yang menganggap pekerjaan buruh (tukang bangunan) tersebut hanyalah milik kaum Adam. Namun tidak demikian bagi Daeng Nika, pekerjaan ini telah menjadi pilihan hidupnya.
Nika adalah salah satu potret wanita “perkasa” yang melakoni profesi berat layaknya pria. “Lebih baik kerja jadi tukang dari pada jadi pencuri,” jawab wanita kelahiran 1964 ini. Sehari-hari ia dan beberapa rekan mengaku sudah terbiasa menjalani pekerjaan ini. Mulai dari mencat hingga keahliannya mencampur semen. Pekerjaan berat ini boleh jadi tidak semua lelaki piawai melakoninya.
Sudah biasa dan terbiasa. Lokasi: Bumi Tamalanrea Permai (BTP), Tanggal: 14 April 2010, Fotografer : Nur Allan Lasido
Para buruh di tempat ini hanya diupah Rp 30 ribu sehari selama enam hari kerja. Bisa Anda bayangkan, berapa pendapatan mereka selama sebulan. Meski cuma memiliki anak satu yang kini duduk di bangku sekolah dasar kelas empat, Daeng Nika mengaku kesulitan memenuhi keperluan hidup anaknya yang bernama Yusuf itu. Nika bahkan khawatir dengan masa depan anaknya, mengingat kondisi dirinya yang hanya seorang buruh bangunan.
“Saya merasa kekurangan. Sebagai tukang yang digaji rendah, saya harus menghidupi anak saya terutama biaya pendidikannya di kampung.”

Kontras: Gubuk Daeng Nika dan Ruko kuning magenta. Lokasi: Bumi Tamalanrea Permai (BTP), Tanggal: 14 April 2010, Fotografer : Nur Allan Lasido
“Kami tidak ada pilihan lain kecuali membangun rumah itu untuk tempat tinggal. Mana ada uang kalau kami hanya di gaji 30 ribu sehari, belum lagi menghidupi anak dan keluarga di kampung,” tandasnya.

"rumah kita". Lokasi: Bumi Tamalanrea Permai (BTP), Tanggal: 14 April 2010, Fotografer : Nur Allan Lasido
Komentar
Posting Komentar