Semakin ke sini wacana tetang Makassar Tidak Aman makin
menarik didiskusikan. Berawal dari beringas-nya tindak kriminalitas jalanan di kota Makasssar dalam waktu beberapa
bulan terakhir ini, membuat sebagaian
warga merasa terancam beraktiitas malama hari.
Tegar #MakassarTidakAman atau Makasssar Harus Aman jadi tranding topic paling
deras di media sosial beberapa hari ini.
Sejumlah komentar seperti yang diulas oleh Sabda Taro dari Ruang Antara,
membuka arena berdebatan tetang tegar #Makassar Tidak Aman, manarik utuk ditelaah lebih lanjut. Untuk itu saya tertarik memberi beberapa amatan, walaupun
saat ini saya berada di luar Makassar, tetapi memory tentang kota ini memberi
banyak pelajaran hidup. Dari yang paling manis hingga paling getir sekalipun pernah ku lewati. Terutama kenangan tetang
mantan dan sejumlah jejek tentang nya terlalu sulit dilupakan setiap kali saya
kembali di Makassar.Tapi itu dulu ces, jauh sebelum kota ini dibuat berisik oleh tegar #MakassarTidakAman. Baiklah, berikut
beberapa amatan saya:
Pertama, coba kita imajinasikan
sejenak kondisi Makassar saat ini aman.
Tentu ‘aman’ yang saya maksud
disini merujuk pada suasana batin kelas menengah kota yang diidentik oleh para user aktif sosial media yang ‘pakaramula’ bercuit tentang Makassar
tidak aman. Aman bagi kelas menegah adalah terpenuhinya jaminan keselamatan
dalam menopang aktivitas mereka. Aman menuju tempat kerja, aman berlibur dan
memanfaat waktu luang, aman memenuhi undangan arisan kelompok sosalita, aman
pulang clubing tenga malam dll . Lalu apa jadinya jika makassar tidak
aman? Tentu kelas menengah macam ini
bakal meradang kesemutan, lalu bersekutu ramai ramai teriak di media sosial.
Dari sini, tak sabar saya melontarkan pertanyaaan, apakah rasa aman itu
benar-benar sampai menembus dinding seluruh warga kota Makassar? Sesunggunhaya
status aman di kota Makasssar itu untuk
siapa? Siapa sesungguhnya yang diuntungkan oleh amannya Makasssar?
Membincangkan stabilitas keamanan sebuah kota metropolitan skala Makassar di Indoesia
timur harus meletakan aspek keamanan sebagai anak kadung dari sirkulasi kapital paling krusial. Iklim investasi
adalah kata kunci yang mestinya dimati dari ‘amanya’ kota Makassar. Selaras dengan citacita pemerintah menuju kota dunia, Makassar kini sedang berupaya mendisiplinkaan diri
keluar dari citra rantasa, kriminal dan
macet. Penerapanya tentu membersihkan pedagang Pasar Terong, pedang emperan jalan atau ancaman pengusuran warga Kassi-
kassi 2008 silam yang hingga kini masih mengancam. Untuk apa semua itu? Untuk kepentingan warga Makassar?
Tidak. Semua itu untuk memuluskan konstalasi capital. Simaklah sejumlah proyek
besar yang mengepung Makassar sejak April 2014, sebanyak 35 proyek properti
besar yang sedang dalam tahap konstruksi di Makassar. Dari sejumlah proyek ini,
dua di antaranya merupakan properti multifungsi yakni St Moritz Makassar, dan
Karebosi Condotel. St Moritz Makassar yang sedang dibangun PT Lippo Karawaci
Tbk., merupakan proyek terbesar dengan nilai investasi Rp 3,5 triliun.
Properti multifungsi ini mencakup di dalamnya pusat belanja, apartemen, hotel,
rumah sakit, sekolah, dan fasilitas pendukung lainnya. Sementara Karebosi
Condotel dibangun PT Tosan Permai Lestari. Proyek ini mencakup kondominium
hotel (kondotel), dan pusat belanja Karebosi Junction (lihat: Kompas Properti.
2014)
Baiklah, sekarang coba bandingkah dengan kemulian Pemerintah
kota yang dengar-dengar saat
kampanye dulu akan membuka lapangan
kerja seluas-luasnya agar tidak ada penganguran usia remaja di kota ini. Kedengarnya
sangat mulia, tapi tunggu dulu ces, sebelum membuka lapangan kerja maka tindakan
yang paling pertama dilakukan adalah menentukan lokasi binis yang akhirnya harus dibayar mahal oleh warga akibat
penggusaran pemukiman seperti Pandang
raya yang kemarin berakhir ngeri, semata
demi sebuah kawansan bisinis
bonafit. Wajah metropolitan kota Makassar harus
berdenyut oleh sederet investasi berskla mega proyek sedang atau
yang akan direncanakan digarap di daerah
ini sejatinya yang paling diutungkan dari
amanya Makassar.
Kedua, mengapa
gelombang protes dan resistensi (perlawanan) atas #Makassar TidakAman di media
sosial paling keras dibunyikan. Sementara,
permasalahan terkait maraknya penggusuran rumah warga di Makassar, Pedagang kecil
di pasar terong atau pelayanan publik atas akses kesehatan dan pendidikan masyrakat
miskin TIDAK diteriakan sepanik ini di media sosial?
Dari sini saya meninjau ulang sejumlah klaim bahwa kelas menengah melalui sosial media melakukan upaya resistensi, kini bisa dibilang bias. Sebab,
glorifikasi atas resistensi yang kerap kali dijumpai dan diproklamirkan oleh kelas
menengah tersebut setidaknya dipandang sebagai ancaman yang sungguh -sungguh
gawat bagi kapitalisme, sebenarnya tidak lain merupakan upaya sistematis mereproduksi
menguatnya sistem imun bagi kelanggengan kapitalisme skala global. Sehingga,
semakin dilabeli resisten, radikal dan subversif sebuah komunitas, kenyataanya
tidak lain merupakan reproduksi budaya missal yang meratapi praktik pemasaran/menjual secara tak langsung. Sialnya,
Rasa aman dibenak mereka adalah sebait doa yang diamini oleh pemangku kepentingan
bisnis di kota ini.
Salam
Makassar baik
baik saja
lagi lagi Kuasa Modal yg bermain bung. heee
BalasHapusditunggu next article : Makasar : getir manis pengalamanku..
iye ust Nugie benar sekali, tidak aman bagi makassar jdi ancaman investor
Hapus