Langsung ke konten utama

Review: A New Criminal Type In Jakarta, Karya James T. Siegel (Sebuah Ulasan Etnografi Media)



Buku: A new Criminal Type In Jakarta
Di awal pembukaan (pendahuluan) buku ini, Antropolog James Siegel mencoba mengintrodusir persitiwa  penting dalam sejarah Indonesai pada tiga gelombang utama, meliputi:  tahun 1949 peralihan kedaulatan dari Belanda  kepada Negara Indonesia merdeka. Gelombang berikutnya Siegel menempatkan peristiwa pada tahun 1948, selama berkecamuknya revolusi, kaum yang mengkalim dirinya sebagai nasionalias memerangi golongan komunis yang sebenarnya juga nasionalias. Hasilnya fakta sejarah terungkap bahwa  angka kematian dipastikan tergolong besar. Kemudian pada tahun 1965, terjadi pembantaian orang-orang komunis Indonesia dan siapa saja yang dituduh komunis  (Siegel:2000: 1)
Tiga gelombang besar ini bagi Siegel setidaknya menjadi penanda, betapa pembantaian/pembunuhan menjadi dalih yang sekaligus ambigu demi membenarkan perilaku dan tabiat rezim berkuasa (baca: orde baru). Secara  kritis Seigel telah memberikan petunjuk ‘idelogis’ dalam peta diskurus rezim orba, bahwa pembunuhan dan pembantaian itu menjadi bayang-bayang yang menghantui rezim Orde Baru. Maka dari itu, kenangan-kenangan akan suasana kacau penuh konflik ideologi yang memuncak dengan peristiwa pada tahun 1965 dibangkitkan secara terus-menerus, menancapkan imaji dan memeori kelam, agar memberikan efek kewaspadaan akan bahaya lanten  komunisme.
Namun di sisi lain, pembantaian terhadap anggota dan simpatisan PKI kiranya luput dalam diskursus politik tangan besi rezim Soeharto- tak pernah digemakan. Justru sebeliknya diskursus anti-komunisme sebagai wujud menyatakan perang terhadap komunisme menjadi dalih atas klaim pembenaran pembantaian massal pada tahun 1965. Sekaligus menumbuhkan kebencian akut terhadap komunis dan simpatisanya. Dari ulasan etnografis Siegel ini lah sejatinya Rezim orba sebagai rezim paranoid,  menciptakan musuh imajiner seperti ketakutan pada hantu (Siegel, 2000: 9).  Dimana komunis telah dilekatkan sama buruknya dengan penjahat penebar tindakan kriminalitas di masyarakat.

 Sebagai peneliti di bidang etnografi, praktik diskursus kebencian terhadap Komunis diperolehnya dengan melakukan dekonstruksi atas teks dan konteks pada pemberitaan di Koran Pos Kota dan Majalah Tempo, dua media massa yang berkedudukan di Jakarta. Terkhusus Pos Kota, bagi Siegel media tersebut tidak lain berada pada posisi pro Soehrato untuk meredam pemberitaan yang politis, mengangu stabilitas kekuasanya. Media tersebut mengiring peristiwa kriminal tanpa memolesnya secara politis. Terlebih lagi, infromasi beritanya justru diperoleh dari kontor polisi sebagai apparatus reprsesif Negara. Berbeda dengan majalah tempo meski memiliki kecendrungan penuh kehati-hatian dalam peliputanya, namun media ini menurut Sigel mampu berdiri di luar lingkaran pemerintah. Sementara di Pos kota, konstruksi makna atas komunis dan simpatisanya telah setara dangan perilaku kriminalitas: pembunuhan, sadisme dan pengkhiantan, yang bisa datang kapan saja melakukan upaya 'balas dendam' dan mengancam stabilitas kekuasaan Orba.

Kritik atas Siegel
Namun terlepas dari ulasan Jemes siegel diatas, salah satu kritik dalam buku ini, menurut saya, Siegel luput melihat peta konflik yang terjadi di Jawa, khususnya Jawa tengah. Meskipun focus penelitiannya di Jakarta akan tetapi kuasa rezim paranoid Orba pun kian ‘’suram’’ dan mencekam justru terjadi di Madiun, Malang dan Yogyakarta. Namun lagi-lagi hal itu tidak disentuh sedikit olehnya. Padahal sebagai peneliti yang sudah pengalaman di Aceh dan Jawa tentunya sudah memiliki data yang terkait. Namun Siegel justru malah  lebih memilih ibu kota Jakarta. Tentunya akan lebih konperhensip jika pengalaman ‘’ketakutan’’ yang dituduhkan pada kaum komunis pun terungkap di sejumlah daerah yang dikenal sebagai basis komunis. Sehingga bisa menjadi perbandingan untuk menemukan apakah ada kesamaan atau perbedaan pola dan bentuk klaim kejahatan yang dipraktikan orba dalam mempertahankan ideloginya seperti halnya yang terjadi di Jakarta. Disinilah pilihan metedologis akhirnya harus dibatasi dan tunduk pada rezim pengetahuan yang bisa jadi masih diselubungi mitos objektiviatas atas fakta dan kebenaran atas sebuah objek penelitian.[]

Yogyakarta, 02 Maret, 2012

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resume Buku Teori Budaya, karya David Kaplan dan Robert Manners

Antropologi “ metodologi dan pokok soal dalam penyusunan teori” Pada pembahasan awal Buku karya Kaplan dan Manners yang bertajuk teori budaya ( the teory of culture ) mengetengahkan masalah mendasar Antropologi sebagai suatu bidang pengetahuan yang mendisiplinkan diri dalam kaidah ketat epistemology,   pada akhir abad sem bilan belas. Menurut keduanya, pokok –pokok problem yang diperhatikan Antropolog dapat diringkas menjadi dua pertanyaan besar yang saling terkait, yaitu   pertama, bagaimanakah berkerjanya berbagai system budaya yang berbeda-beda? kedua, bagaimanakah sistem-sistem budaya yang beraneka ragam itu   mendapat tempat seperti saat ini? (Kaplan &Manners hal 2)                 Problem mendasar dalam uraian akademis yang dikemukakan oleh Kaplan dan Manners tersebut,   merujuk pada pemahaman mengenai perbedaaan   pada setiap budaya, baik dari segi ruang maupun...

ON A BUS EKA

Berawal dari perbincangan beberapa orang teman di Yogyakarta, perihal armada transportasi  darat khusus rute Yogyakarta- Surabaya. Kebanyakan mereka merekomendasikan bus EKA sebagai moda transportasi kelas eksekutif dengan tarif lumayan terjangkau. Berdasarkan tuturan dan kesaksian mereka, setidaknya saya mendapat gambaran bahwa bus EKA tidak hanya menyedikan jumlah armada yang relatif tersedia hampir setiap jam, namun armada yang mengawali rutenya dari Magelang- Surabaya pp ini, pun mampu menciptakan kenyaman selama perjalanan anda, meski dibandrol dengan tariff Rp.63.000 untuk rute jauh seperti Yogyakarta- Surabaya yang tergolong ‘murah’. Salain dua hal diatas tadi, salah satu keunggulan bus ini menurut versi mereka yang sudah loyal menjadi ‘jamaah’ bus ini, saban kali ke Surabaya adalah ketersedianya menu makan di rumah makan Duta Kabupaten Ngawi, Jatim. Dengan hanya mengeikhlaskan 63 ribu jumlah tersebut sudah termasuk memilih salah satu dari lima menu yang dikhususkan ...

Resensi: Simulasi dan Hiperrealitas dalam film SIMONE

   Ciri khusus genre film sains fiksi Holywood kerap kali mengetengahkan ide tentang keunguulan komputerisasi sebagai satu-satunya instrument penting industri film Amerika serikat dewasa ini. Ilustrasi dimensi ruang dan waktu dalam virtualisasi kapsul digital menjadi penanda dimulainya  era digitaliasi sebagai tema mainstrim performativitas film Holywood, setidaknya 10 tahun belakangan.       Dari sekian banyak film bergendre sains fiksi, salah satu yang masuk kategori film favorit-ku tahun 2011 jatuh pada SIMONE. Film besutan sutradara Anderew Nicola yang dibintangi aktor Alpacino ini, sempat direkomendasikan oleh ketua prodi Kajian Budaya dan Media, Prof. Heru Nugroho sebagai salah satu dari sekian banyak tugas mata kuliah teori kritis dan posmodernisme.       Sekedar catatan, melalui film ini setidaknya kita diajak berkenalan dengan sejumlah teori postmodernisme. Lewat Simone memungkinkan siapa saja bisa m...