Langsung ke konten utama

Jalan-jalan ke museum permainan anak - kolong tangga Yogyakarta

Oleh: Nur Allan Lasido
Kontributor: jurnal tanggomo di Yogyakarta


Saat memasuki kompleks taman budaya Yogyakarta, di akhir pekan, 21/10. Nampak keramain cukup memadati kawasan kebanggan warga yogjakarta itu. Sesuai informasi, taman budaya yogjakarta tersebut,di dalamnya terdapat museum yang dikhsuskan untuk koleksi permainan anak – anak, baik dari Indonesia juga mancanegara.
Bertempat di lantai dua, gedung Societe, meski bukan museum besar tetapi masih menyimpan koleksi original, museum ini hadir menyapa ruang memory masa kecil bagi pengunjung dewasa seperti saya ini. Sebelum masuk dan mendaftarkan diri sebagai pengujung,saya berhenti sejenak sekedar mengamati dari bilik jendela kaca . Nampak kesan dunia anak-anak begitu terasa, dalam benak, saya menemukan diriku 16 tahun lalu. Bergegas saya menuju tempat membelian tiket, tidak jauh dari saya berdiri, dua boneka berukuran jumbo siap menjamu anda. Setelah mendaftarkan diri, saya ditemani Primi, salah seorang pemandu yang juga sebagai pengelola. Dari dialah infotermasi terkait koleksi dan agenda museum anak ini diceritakan detil oleh mahasiswa fisipol UGM inI.


Wanita berjiblab itu awalnya menginformasikan, pendirian museum diprakasai oleh seorang seniman asal Belgia Rudi Corens. Atas dasar Kecintaan terhadap dunia anak mendorongnya mengolokesi permainan anak hingga mengejarnya ke beberpa Negara. Museum anak ini secara resmi berdiri pada tanggal 01 februari 2008, dan saat ini telah berkerjasama dengan dinas pariwisata DIY.
Selanjutnya Objek pertama dikenalkan kepada saya yaitu koleksi permainan yang mewakili beberapa nagera di dunia. Namun, untuk menggali informasi tersebut, pemandu mencoba mengantar “mata” pengunjung menikmati sebuah lukisan (reproduksi) dari seorang pelukis terkenal asal Belanda Pieter Brugel (1526). Ditangan pelukis itulah deskripsi dunia anak-di Eropa hadir sebagai representasi permainan yang telah ada saat itu. Dari lukisan tersebut saya diajak mengenal mainan anak yang sudah cuup popular di Indonesia, namun nyatanya telah lama berkembang di eropa.


Salah satunya anggapan sebagain masyarakat bahwa permainan tradsional anak, berupa kuda lumping berasal dari jawa, ternyata dunia anak di Eropa, seperti di Turki telah cukup lama mengenalnya.Begitu pun dengan permainan hulahop yang belakangan ini cukup digandrungi anak-anak di indonesai pun, telah lama dimainkan di Prancis pada 1550. Begitu pun dengan permainan batok kelapa yang digunakan sebagai mainan penganti alas kaki, telah ada di Amerika. Seingat saya, permainan tersebut pernah ada di Sulawesi, saya pun sesekali sempat melihat mainan tradisonal tersebut dimainkan meski saat itu saya belum berani memainkanya.
Usai mengamati lukisan tersebut, saya lalu diajak mengenal sejumlah celengan antic. Masyarkat lampau, tentu belum mengenal adanya bank. Untuk itu kehadiran alat yang berfungsi menyimpan sejumlah uang menjadi barang penting bagi beberapa kalangan. Di museum ini, saya menjumpai,koleksi celengan dari beragam model juga bahan yang digunakan sangat variatif. Salah satunya adalah celengan peninggalan dari zaman Majapahit, dilindungi dengan kaca kira –kira setebal 2 cm, benda ini menjadi salah satu andalan/primadona dari ribuan koleksi di museum ini, bentuknya menyerupai celeng (babi hutan jantan).
Menurut keterangan yang tercantum dibalik box pamer, bahwa, celengan kuno yang terbuat tanah liat itu memilki relasi historis dengan bangsa tionghoa, seperti dalam nasakah nawatnya, diceritakan tentang pejabat kerajaan Majapahit di Trowulan, Mojokerto yang di yakini sejumlah sejarawan dan arkeolog sebagai ibu kota majapahit, di daeah itu, seorang kerajaan Majapahit yang ditugaskan mengawasi pasar yang didominasi oleh pedangang tiongkok. Masing-masing pedagang lalu memberikan setoran kepada pejabat Majapahit sebesar delapan ribu keping uang tunai berupa kepeng tiongkok, dikarenakan kepeng tiongkok diajdikan sebagai mata uang resmi di majapahit sejak abad ke 13, maka dengan demikian uang sebanyak itu lalu dicelengkan ke celangan berbentuk babi. Saya lalu beranggpan kata “celengan” boleh jadi masih memilki hubungan dengan celeng (babi hutan) dimana dari bentuknya seperti celengan-celeng milk pedang-pedang tiongkok kuno di Majapahit silam.


Setalah mendapat penjelasan dari Primi, saya beralih koleksi boneka plastik, salah satu yang menarik perhatian saya adalah, boneka asal Taiwan. Berbentuk anak kecil, laki-laki dan perempuan berjumlah enam buah, memperlihatkan bentuk tubuh bagian dalam. (termasuk alat kelamin) Anggapn saya bahwa dari sejak kecil boneka sabagai mainan anak-anak di Taiwan, ternyata sudah mengenalkan identitas seksual. Anak-anak diajak untuk menganali tubuhnya lewat boneka dijadikan sebagai media edukasi sejak dini, lalu bagaiman dengan indonesai?
Tepat di dekat pintu keluar, sebuah lemari pajang terbuat dari bahan kayu, dilindungi kaca ukuran besar, sebuah boneka dari Kongo,Mesir, dan Yunani, terlihat seperti tak lazim.Meskipun umumnya boneka dibuat sebagai mainan anak-anak, namun kadang-kadang digunakan untuk fungsi fungsi ritual yang berhubungan dengan alam atau hal-hal yang bersifat gaib ataupun mistik, misalnya berupa upacara upacara ritual keagamaan pada zaman dulu, permainan jelangkung, sihir ataupun upacara pemanggilan roh



Kali ini saya hanya sendirian tanpa ditemani Primi/pemandu. Ruang pamar bercorak putih itu ternayata menyimpan koleksi boneka yang diyakini dari daerah asalnya memiliki kekuatan gaib. Saya lalu memberanikan diri, rasa penasaran atas obejek yang terletak paling pojok itu ku datangi. Dan memang, bentuk bonekanya cukup menyeramkan. Berdsarkan informasi yang tertera di dekat lemari, bahawa boneka asal Mesir tersebut dijadikan sebagai benda untuk mendatangkan roh, boneka berjorak biru disertai lilitan panjang di bagian kepalanya berhasil dibawa ke indonesai oleh Rudi corens berkat relasinya dengan beberapa orang di Mesir yang memilki hobi yang sama sebagai kolektor.
Selain itu, pada lemari yang berbeda terdapat sebuah boneka kembar dari Kongo, boneka tersebut juga memlki keterkaitan dengan kepercayaan masyarakat tradsional di Kongo Afrika, yang bermakna bahwa, jika seorang ibu yang memilki anak kembar, lalu sebelum dewasa keduanya atau salah satunya meninggal, maka ibu tersebut diwajibkan membuat boneka kain menyerupai anaknya, lalu disisipkan pada payudara ibunya. Konon, anaknya itu diambil oleh dewa dan kelak akan diangkat sebagai dewa kecil yang melindungi sang ibu. (seperti tercantum pada informasi disamping lemari pamer,)
Setalah hampir sejam di dalam. Benak-ku berkata, betapa museum anak-anak ini menjadi alternatif atas dominasi dan control game elektronik yang membelenggu . Di museum ini, saya menemukan memori masa kecil di kampong halaman-yang cukup akrab dengan sejumlah mainan tradisonal. Namun faktanya, ketika kaki saya meninggalkan museum, saat meingisi buku tamu, untuk hari ini, saya melihat baru ada tiga orang pengunjung, saya dengan terpaksa berguman bahwa, Tak sedikit yang beranggapan, museum adalah tempat yang membosankan karena dipenuhi oleh benda-benda mati yang ditinggalkan. Pemikiran macam ini tidak salah, meski tidak sepenuhnya benar. Museum hakikatnya adalah tempat dimana sejarah dihidupkan. Benda-benda yang dikira mati itu sebenarnya hidup; mereka mengajak bercakap pada siapa saja yang datang. Mereka bahkan melucu dan menghibur kita. Kita yang sebenarnya ‘mati’; enggan menyahuti ucapan dan percakapan yang mereka bangun.



Terakhir, Primi pamandu santun itu mengatakan, Selain aspek pameran, museum aktif melakukan workshop (story telling, kerajinan tangan, dan lain-lain) serta program The Museum Comes to Visit You ditujukan untuk mengunjungi pasien anak di rumah sakit. Dia berharap museum ini bisa dikenal lebih luas lagi, tidak hanya di Yogyakarta juga di daerah lain.

Tiket:
Dewasa dan orang tua Rp 4000
Gratis untuk anak di bawah usia 15 tahun
Senin libur.

tempat

Tak jauh Taman Pintar (Jl.Senopati), di sebelah barat Toko Progo
Bis kota Jalur 4, Jalur 9, Jalur 16, turun di Taman Pintar
Trans Jogja turun di Halte Kantor Pos Besar (Jl.Senopati)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resume Buku Teori Budaya, karya David Kaplan dan Robert Manners

Antropologi “ metodologi dan pokok soal dalam penyusunan teori” Pada pembahasan awal Buku karya Kaplan dan Manners yang bertajuk teori budaya ( the teory of culture ) mengetengahkan masalah mendasar Antropologi sebagai suatu bidang pengetahuan yang mendisiplinkan diri dalam kaidah ketat epistemology,   pada akhir abad sem bilan belas. Menurut keduanya, pokok –pokok problem yang diperhatikan Antropolog dapat diringkas menjadi dua pertanyaan besar yang saling terkait, yaitu   pertama, bagaimanakah berkerjanya berbagai system budaya yang berbeda-beda? kedua, bagaimanakah sistem-sistem budaya yang beraneka ragam itu   mendapat tempat seperti saat ini? (Kaplan &Manners hal 2)                 Problem mendasar dalam uraian akademis yang dikemukakan oleh Kaplan dan Manners tersebut,   merujuk pada pemahaman mengenai perbedaaan   pada setiap budaya, baik dari segi ruang maupun...

ON A BUS EKA

Berawal dari perbincangan beberapa orang teman di Yogyakarta, perihal armada transportasi  darat khusus rute Yogyakarta- Surabaya. Kebanyakan mereka merekomendasikan bus EKA sebagai moda transportasi kelas eksekutif dengan tarif lumayan terjangkau. Berdasarkan tuturan dan kesaksian mereka, setidaknya saya mendapat gambaran bahwa bus EKA tidak hanya menyedikan jumlah armada yang relatif tersedia hampir setiap jam, namun armada yang mengawali rutenya dari Magelang- Surabaya pp ini, pun mampu menciptakan kenyaman selama perjalanan anda, meski dibandrol dengan tariff Rp.63.000 untuk rute jauh seperti Yogyakarta- Surabaya yang tergolong ‘murah’. Salain dua hal diatas tadi, salah satu keunggulan bus ini menurut versi mereka yang sudah loyal menjadi ‘jamaah’ bus ini, saban kali ke Surabaya adalah ketersedianya menu makan di rumah makan Duta Kabupaten Ngawi, Jatim. Dengan hanya mengeikhlaskan 63 ribu jumlah tersebut sudah termasuk memilih salah satu dari lima menu yang dikhususkan ...

Resensi: Simulasi dan Hiperrealitas dalam film SIMONE

   Ciri khusus genre film sains fiksi Holywood kerap kali mengetengahkan ide tentang keunguulan komputerisasi sebagai satu-satunya instrument penting industri film Amerika serikat dewasa ini. Ilustrasi dimensi ruang dan waktu dalam virtualisasi kapsul digital menjadi penanda dimulainya  era digitaliasi sebagai tema mainstrim performativitas film Holywood, setidaknya 10 tahun belakangan.       Dari sekian banyak film bergendre sains fiksi, salah satu yang masuk kategori film favorit-ku tahun 2011 jatuh pada SIMONE. Film besutan sutradara Anderew Nicola yang dibintangi aktor Alpacino ini, sempat direkomendasikan oleh ketua prodi Kajian Budaya dan Media, Prof. Heru Nugroho sebagai salah satu dari sekian banyak tugas mata kuliah teori kritis dan posmodernisme.       Sekedar catatan, melalui film ini setidaknya kita diajak berkenalan dengan sejumlah teori postmodernisme. Lewat Simone memungkinkan siapa saja bisa m...