Langsung ke konten utama

Indusrti Budaya Ditengah “Pencerahan” yang Menipu

Review : The cultural industry: Enlightemant as mass deception ( Max Horkheimer dan Theodore Adorno)

Max Horkheimer dan Theodore Adorno, pentolan pemikir madzhab Frankfrut melalui tulisan-nya “ The cultural industry: Enlightement as mass deceptiont”, secara tajam mengkrtisi fenomena industri budaya pada sekitaran tahun 1950-an- yang dinilai masih menuai problem. Budaya massa menurut mereka terjebak dalam istilah “pencerahan”. Dimana pencerahan tersebut justru terkandung penipuan/muslihat di dalamnya.

Pencerahan: ilusi dan manipulasi massa
            Bagi Adorno dan Horkhaimer, kehadiran media massa seperti televisi, film dan majalah (untuk konteks saat itu ) turut andil dalam perkembangan industry budaya. Betapa tidak, kehadiran media massa tersebut berhasil melakukan standarisasi serta penyeragaman terhadap produk budaya. Masayarakat/khalayak baik secara sadar dan tidak, ternyata telah digerakan secara masif membutuhkan  produk budaya tertentu. Di point inilah industri kapitalis telah menggerakkan massa dengan ilusi semu atas nama sprit-sprit “pencerahan”
..culture today is infecting everything, film and radio from a system. each branch of culture is unanimous within itself and all are unanimous together...
...Film, radio, and magazine make up a system which is uniform as a whole and in every part...

Zaman pencerahan ketika ilmu pengetahuan mendapat tempat khusus menetukan kemajuan dan kesejahtaraan masyarakat lewat kuasa modernitas. Aufklärung (Pencerahan) abad ke-18. berusaha memenuhi janji-janji emansipasi sosial yang diimpikan ketika ilmu penegatahuan masih berada dalam genggaman filsafat abad pertengahan (doktrin agama). Janji janji zaman pencerahan,terutma pada  konsep rasio modern justru dianggap oleh pemikir Frankfrut (Adorno dan Horkahaimer)  telah berubah menjadi dominasi, mitos dan ideologi dalam sosoknya yang lebih muktahir.
 Menurut pemikir Frankfrut salah satu keunggulan zaman pencerahan yaitu adanya usaha manusia berfikir secara technological rasionality, memuluskan massifikasi produk budaya. Adanya penemuan mesin cetak,  radio, televisi dan fotografi merupakan pemicu manipulasi kesadaran pikiran masyarakat. Kehadiran industry budaya menjadi prasyarat merayakan kedigdayaan sprit pencerahan. Kedua pemikir ini menyontohkan produksi film, menurut mereka, melalui film  kehidupan/realitas sudah tidak dapat dibedakan, citra maupun ilusi yang ditampilkan bagitu dahsyat menerpa ruang imaji,sehingga penonton memungkinkan melakukan peniruan berdasarkan ilusi produk budaya yang tampak di film tersebut.Sementara rasio instrumental penonton kian “tumpul” untuk berusaha mempertimbangkan secara krtis pesan/makna lewat tayangan media.
            Inilah yang dipandang oleh Adorno dan Horkheimer sebagai muslihat besar. Sebagai dosa masa lalu atas kuasa rasio teknologi, individu justru kehilangan basis otonomi dan kendali atas dirinya. Dengan “pencerahan” justru masyarakat diposisikan seolah-oleh sebagai subjek, padahal mereka adalah objek. Dalam perspektif ini, budaya tidak lagi lahir dari masyarakat sebagaimana yang dipahami dalam konsep ”mass culture,” namun diproduksi dan direproduksi oleh kaum kapitalis atau penguasa dan pemilik modal (borjuasi) untuk meraup keuntungan. Ilusi-ilusi yang mengiring semangat (sprit) “pencerahan” sebagai ekspresi kebebasan atau emansipatoris justru jangan dilihat secara kasat mata. Didalamnya penuh tendensi kepentingan, yaitu ekonomi politik(baca: kekuasaan kelas borjuasi). 

Komodifikasi budaya menstabilkan system kapitalisme

  Dalam tulisan tersebut Adorno dan Horkhaimer, secara tegas mengatakan industri budaya tetap dipandang sebagi industri hiburan yang dikendalikan langsung oleh  industri media turut menawarkan imaji-imaji palsu. Orang/mass mencari kepuasan melalui konsumsi semu, "kebahagiaan ilutif serta keindahan palsu yang  ditopang industry  kebudayaan (cultural industry) memanipulasi masyarakat yang tak sekadar berbasis konsumsi, tapi juga menjadikan semua artefak budaya sebagai produk industri, dan  komoditas.
...But the tendency is immanet in the principle of entertaimnet itself, as a priciple of bourgeois enlightement-----Nevertheless, the culture industry remains the entertaiment business....

        Selanjutnya, posisi media massa, menjadi tempat paling efektif melakukan komodifikasi, termasuk tempat dimana kapitalisme “mengkonsolidasikan dirinya” melalui upaya penyeragaman dan standarisasi atas selera masyarakat. Seolah tidak ada lagi alternative. Dari bangun tidur sampai tidur lagi selera dan kebutuhan kita telah ditentukan sesuai yang telah kita nonton, dengar atau baca di media. Dan sudah barang tentu kebutuhan tersebut harus ditebus dengan mengunakan alat tukar berupa “uang”.
Salah satu yang mempengaruhi sikap krtis sekolah Frankfrut, termasuk Adorno dan Horkhaimer terkait komodifikasi budaya yaitu Karl Marx. Dialah orang yang pertama kali memperkenalkan terminology “komodifikasi”. Komodifikasi menurut istilah marxist dalam (http://www.marxists.org/glossary/terms/c/o.htm)  merupakan suatu bentuk transformasi serta hubungan, yang mulanya terbebas untuk tidak diperdagangkan, menjadi hubungan yang sifatnya terkomersilkan. Artinya konteks social  ikut ter-reduksi menjadi hubungan pertukaran. Disinilah aspek dasar penjelasan Marx menguraikan bagaimana kapitalisme berkembang lebih lanjut. Terlepas dari krtik mazhab Frankfrut yang menilai Marx dengan segala perangkat teoritiknya tidak menyentuh dimensi kebudayaan.
            Selanjutnya merujuk pada konsepsi komodifikasi ala Marx, pada aspek ini Adorno dan Horkahaimer mengangap, budaya adalah sesuatu yang telah direncanakan, diciptakan dan lalu dikendalikan . Cara kerjanya bagi  kedua pemikir tersebut merasuk pada element “pseudo individualization”dimana individu dilekatkan pada produk budaya yang telah terkomersilkan. Akibatnya yang ada justru sosok individu “gadungan”. Saya lebih suka menyebut-nya sebagai subjek-subjek naïf yang tercerabut dari akar krtis-nya.
 Individu diberi kebebesan memilih, atas pilhan-pilihan yang terkemas secara rasional. Sebuah produk konon katanya dihadirkan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat. Standarisi, seiring dengan perkembangan masyarakat industry, tidak hanya pada produk budaya, namun telah bergeser  pada konsumen budaya.  Misalnya, sebuah iklan dengan konsep mobil keluarga.  Melalui iklan tersebut, soal ruang pun bergeser. Ruang yang diartikan mampu memberikan keceriaan dan kebahagiaan dalam keluarga, tidak lagi ditentukan dari kehangatan obrolan di ruang tamu, namun telah bergesar pada ‘ruang’ lingkup mobil keluarga yang sempit. Ironisnya ruang sempit tersebut mampu membawa keceriaan dan kebahagiaan, sesuatu yang seolah-olah diharapkan bagi pasangan suami istri kelak. Problem ruang mengalami reduksi terlebih jika disandingkan dengan konsep keceriaan. Dngan demikian belum sempurna keceriaan dalam keluarga jika tidak membeli mobil tersebut. Keceriaan ditentukan oleh ada tidaknya produk mobil terpakir di garasi anda, mampu merubah persepsi kebudyaan kita atas ruang (rumah) sebagai tempat berbagi keceriaan keluarga.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resume Buku Teori Budaya, karya David Kaplan dan Robert Manners

Antropologi “ metodologi dan pokok soal dalam penyusunan teori” Pada pembahasan awal Buku karya Kaplan dan Manners yang bertajuk teori budaya ( the teory of culture ) mengetengahkan masalah mendasar Antropologi sebagai suatu bidang pengetahuan yang mendisiplinkan diri dalam kaidah ketat epistemology,   pada akhir abad sem bilan belas. Menurut keduanya, pokok –pokok problem yang diperhatikan Antropolog dapat diringkas menjadi dua pertanyaan besar yang saling terkait, yaitu   pertama, bagaimanakah berkerjanya berbagai system budaya yang berbeda-beda? kedua, bagaimanakah sistem-sistem budaya yang beraneka ragam itu   mendapat tempat seperti saat ini? (Kaplan &Manners hal 2)                 Problem mendasar dalam uraian akademis yang dikemukakan oleh Kaplan dan Manners tersebut,   merujuk pada pemahaman mengenai perbedaaan   pada setiap budaya, baik dari segi ruang maupun...

ON A BUS EKA

Berawal dari perbincangan beberapa orang teman di Yogyakarta, perihal armada transportasi  darat khusus rute Yogyakarta- Surabaya. Kebanyakan mereka merekomendasikan bus EKA sebagai moda transportasi kelas eksekutif dengan tarif lumayan terjangkau. Berdasarkan tuturan dan kesaksian mereka, setidaknya saya mendapat gambaran bahwa bus EKA tidak hanya menyedikan jumlah armada yang relatif tersedia hampir setiap jam, namun armada yang mengawali rutenya dari Magelang- Surabaya pp ini, pun mampu menciptakan kenyaman selama perjalanan anda, meski dibandrol dengan tariff Rp.63.000 untuk rute jauh seperti Yogyakarta- Surabaya yang tergolong ‘murah’. Salain dua hal diatas tadi, salah satu keunggulan bus ini menurut versi mereka yang sudah loyal menjadi ‘jamaah’ bus ini, saban kali ke Surabaya adalah ketersedianya menu makan di rumah makan Duta Kabupaten Ngawi, Jatim. Dengan hanya mengeikhlaskan 63 ribu jumlah tersebut sudah termasuk memilih salah satu dari lima menu yang dikhususkan ...

Resensi: Simulasi dan Hiperrealitas dalam film SIMONE

   Ciri khusus genre film sains fiksi Holywood kerap kali mengetengahkan ide tentang keunguulan komputerisasi sebagai satu-satunya instrument penting industri film Amerika serikat dewasa ini. Ilustrasi dimensi ruang dan waktu dalam virtualisasi kapsul digital menjadi penanda dimulainya  era digitaliasi sebagai tema mainstrim performativitas film Holywood, setidaknya 10 tahun belakangan.       Dari sekian banyak film bergendre sains fiksi, salah satu yang masuk kategori film favorit-ku tahun 2011 jatuh pada SIMONE. Film besutan sutradara Anderew Nicola yang dibintangi aktor Alpacino ini, sempat direkomendasikan oleh ketua prodi Kajian Budaya dan Media, Prof. Heru Nugroho sebagai salah satu dari sekian banyak tugas mata kuliah teori kritis dan posmodernisme.       Sekedar catatan, melalui film ini setidaknya kita diajak berkenalan dengan sejumlah teori postmodernisme. Lewat Simone memungkinkan siapa saja bisa m...