Langsung ke konten utama

Murah Tapi Tidak Murahan : Bandara Sultan Hasanuddin

Saat ini pengguna transportasi udara, baik wisatawan asing maupun domestik yang berpergian dengan tujuan bisnis atau sekadar menikmati keindahan dan pesona alam suatu kawasan, tentunya lebih mengutamakan aspek kenyamanan yang didukung oleh sejumlah fasilitas penunjang sebuah bandara.
Berdasarkan keterangan majalah Travel Trend, sebuah media publik yang fokus pada Aviation, Tourism dan Lifestyle mengatakan “Sejumlah bandara di dunia terus berlomba meningkatkan kualitas pelayanan dan kenyamanan. Salah satunya Bandara Changi di Singapura. Bandara terbaik se-Asia ini menghadirkan sejumlah fasilitas modern dan canggih. Seperti Hotel Bandra, restoran, pusat kesehatan hingga kolam renang bisa dinikmati di Changi. Begitupun di Eropa, ada Bandara Zurich dan Bandara Munich di Jerman cukup tersohor sebagai bandara terbaik kelas dunia.
Tulisan ini tidak bermaksud membandingkan fasilitas bandara di Indonesia, mengingat kemegahan bandara tersebut setara dengan kemajuaan negara dimana bandara itu berasal. Cukup jauh membandingkan Bandara Changi Singapore jika disetarakan dengan Soekarno Hatta di Cengkareng tentunya.
Saat ini telah ada 27 bandara bertaraf internasional di Indonesia. Meskipun sudah berstatus “internasional”, bandara tersebut masih dimiliki pemerintah daerah yang mayoritas dari Kawasan Barat Indonesia dengan dominasi terbanyak berada di pulau Jawa.




Bukan tidak mungkin, Kawasan Timur Indonesia (KTI) merupakan kawasan potensial yang harus diperhatikan pertumbuhannya. Salah satu infrastruktur yang berpengaruh besar pada pertumbuhan ekonomi sebuah kawasan adalah pembangunan bandara sebagai sarana transportasi. Saat ini baru dua bandara internasional di Sulawesi yaitu, Bandara Sultan Hasanudin dan Sam Ratulangi di Manado.

Sekilas Tentang Bandara Sultan Hasanuddin

Bandar Udara Internasional Sultan Hasanuddin, sebelumnya bernama Bandar Udara Hasanuddin, awalnya dibangun Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1935 dengan nama Lapangan Terbang Kadieng, dengan konstruksi lapangan terbang rumput.
Lapangan berlandasan rumput yang berukuran 1,600 m x 45 m (Runway 08-26) tersebut diresmikan pada tanggal 27 September 1937, ditandai dengan penerbangan komersial yang menghubungkan Surabaya - Makassar dengan Pesawat jenis Douglas D2/F6 oleh perusahaan KNILM (Koningklijke Netherland Indische Luchtvaan Maatschappij).
Barulah pada pasca kemerdekaan, tepatnya tahun 1950, diserahkan kepada Pemerintah Indonesia yang dikelola oleh Jawatan Pekerjaan Umum Seksi Lapangan Terbang, dan selanjutnya tahun 1955 dialihkan kepada Jawatan Penerbangan Sipil,
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 1/1987 tanggal 9 Januari 1987 disusul tanggal 3 Maret 1987 Bandar Udara Hasanuddin diserahterimakan pengelolaannya dari Direktorat Jenderal Perhubungan Udara kepada Perum Angkasa Pura I yang kemudian pada tanggal 1 Januari 1993 berubah status menjadi PT (Persero) Angkasa Pura I.
Pada tanggal 30 Oktober 1994, Bandar Udara Hasanuddin dinyatakan sebagai Bandar Udara Internasional sesuai dengan keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 61/1994 tanggal 7 Januari 1995 dan diresmikan oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Provinsi Sulawesi Selatan
Tepat 26 November 2008, Bandara Hasanuddin berganti nama seiring dengan berpindahnya lokasi yang sebelumnya berada di Kabupaten Maros, kini berpindah di Mandai, Makassar. Pada tanggal itu presiden SBY meresmikan bandara yang kini lengkap dengan gelar “Sultan” di depannya.

Futuristik Berciri Lokal

Mega proyek Bandara Sultan Hasanuddin tidak hanya sebatas menjadi ikon politik mercusuar kepentingan pemerintah daerah, akan tetapi diharapkan memicu mobilitas masyarakat yang bertujuan pada peningkatan pertumbuhan ekonomi kawasan.
Olehnya, pemerintah daerah telah mengupayakan berdirinya bandara modern sebagai ikon Sulawesi Selatan. Bandara ini dinilai sejumlah pihak merupakan bandara termegah. Meski demikian, tidak banyak yang tahu kalau anggaran pembangunan proyek Bandara Sultan Hasanuddin menelan biaya relatif murah untuk sebuah bandara udara di Indonesia. Anggarannya hanya mencapai Rp 580 milyar. Cukup jauh bila dibandingkan dengan dana bailout century yang mencapai 6,7 triliun. Seperti diungkapkan oleh Abdul Hadi Jamal Anggota DPR RI asal Sulsel. “Bandara Sultan Hasanuddin ini dibangun dengan anggaran yang paling murah sepanjang sejarah. “
Meski tergolong murah dan dibangun dengan anggaran APBN, harapan masyarakat Sulsel yang merindukan bandara modern, telah menjadi kenyataan. Kerinduaan itu terobati saat soft opening dimulai tanggal 4 Agustus 2008 dan beroperasi penuh tanggal 5 Agustus 2008. Meskipun desainnya futuristik, tapi masih mencerminkan budaya Sulawesi Selatan; tetap menonjolkan budaya lokal, meliputi antara lain: dinding dari curtain wall yang dapat meredam panas, plafond bermotif Mandar, Lantai Marmer dari batu cadas, sementara bagian atap menyerupai layar perahu Phinisi lengkap dengan tiang penyangga menjulang hampir di setiap permukaan atap.



Di samping itu, Bandara Sultan Hasanuddin merupakan satu-satunya bandara di Indonesia yang memiliki Check in Island & MUCS (Multi user common use). Sistem check-in ini menggunakan sistem island seperti Bandara Changi Singapura sehingga memungkinkan checking multi users tanpa antrian panjang
Bandara Sultan Hasanuddin dibangun seluruhnya oleh tenaga ahli dari Indonesia. Mulai dari desain sampai pembangunan dan pengawasan pembangunan, material bangunan pun dari bahan lokal. Pendanaan pembangunan, resmi murni dari PT (Persero) Angkasa Pura I, kecuali Runway yang dibangun oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Udara.
Sebelumnya bandara ini dibangun dengan konsep sederhana, namun dalam perjalanannya ternyata banyak perkembangan yang perlu ditambah dan dilengkapi penambahan fasilitas. Di antaranya Garbarata yang semula hanya ada 2 kemudian ditambah menjadi 6 Garbarata, dan banyak lagi tambahan fasilitas sehingga Bandara Sultan Hasanuddin menjadi sebuah Bandara yang megah dan mewah.
PT (Persero) Angkasa Pura I telah mengeluarkan biaya sebesar kurang lebih 600 milyar untuk sebuah bandara yang futuristik ini, biaya ini tergolong sangat murah bila dibanding dengan bangunan bandara lainnya di Indonesia. Harapan ke depan Bandara Sultan Hasanuddin dapat menampung lebih dari 7 juta penumpang pertahun, dan dapat menampung sedikitnya 17 pesawat wide dan narrow body, mengingat pertumbuhan penumpang tiap tahun semakin meningkat. Rata-rata penumpang per tahun di Bandara Sultan Hasanuddin naik 15-30%, nantinya kalau Runway sudah selesai maka dapat menampung pesawat B747/400.

Proyeksi Pengembangan
Pengembangan Bandara Internasional Sultan Hasanuddin akan terus dilakukan hingga tahun 2020 mendatang. Secara bertahap terminal, apron, dan runway akan dikembangkan sesuai kebutuhan perkembangan dunia penerbangan. Dalam keterangan persnya, Manajer Pusat Pengendalian Lalu Lintas Penerbangan, Eddy Amiruddin, menjelaskan, dalam site plan pengembangan terminal hingga mencapai sekitar 75 ribu meter persegi beserta lapangan parkir kendaraan akan dimulai pada tahun 2012.
Pengembangan terminal akan dilakukan bersamaan dengan pengembangan apron. "Jika saat ini apron bandara baru hanya bisa menampung 17 pesawat, setelah dikembangkan nantinya apron kita bisa menampung 33 pesawat berbagai ukuran," katanya.
Sedangkan pengembangan runway (landasan pacu) akan dilaksanakan tahun 2020. Bandara Internasional Sultan Hasanuddin akan memiliki paralel runway (dua runway searah) seperti yang saat ini dimiliki Bandara Soekarno Hatta, Jakarta, jelas Edi. Kita tunggu saja. [V] Nur Allan Lasido.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resume Buku Teori Budaya, karya David Kaplan dan Robert Manners

Antropologi “ metodologi dan pokok soal dalam penyusunan teori” Pada pembahasan awal Buku karya Kaplan dan Manners yang bertajuk teori budaya ( the teory of culture ) mengetengahkan masalah mendasar Antropologi sebagai suatu bidang pengetahuan yang mendisiplinkan diri dalam kaidah ketat epistemology,   pada akhir abad sem bilan belas. Menurut keduanya, pokok –pokok problem yang diperhatikan Antropolog dapat diringkas menjadi dua pertanyaan besar yang saling terkait, yaitu   pertama, bagaimanakah berkerjanya berbagai system budaya yang berbeda-beda? kedua, bagaimanakah sistem-sistem budaya yang beraneka ragam itu   mendapat tempat seperti saat ini? (Kaplan &Manners hal 2)                 Problem mendasar dalam uraian akademis yang dikemukakan oleh Kaplan dan Manners tersebut,   merujuk pada pemahaman mengenai perbedaaan   pada setiap budaya, baik dari segi ruang maupun...

ON A BUS EKA

Berawal dari perbincangan beberapa orang teman di Yogyakarta, perihal armada transportasi  darat khusus rute Yogyakarta- Surabaya. Kebanyakan mereka merekomendasikan bus EKA sebagai moda transportasi kelas eksekutif dengan tarif lumayan terjangkau. Berdasarkan tuturan dan kesaksian mereka, setidaknya saya mendapat gambaran bahwa bus EKA tidak hanya menyedikan jumlah armada yang relatif tersedia hampir setiap jam, namun armada yang mengawali rutenya dari Magelang- Surabaya pp ini, pun mampu menciptakan kenyaman selama perjalanan anda, meski dibandrol dengan tariff Rp.63.000 untuk rute jauh seperti Yogyakarta- Surabaya yang tergolong ‘murah’. Salain dua hal diatas tadi, salah satu keunggulan bus ini menurut versi mereka yang sudah loyal menjadi ‘jamaah’ bus ini, saban kali ke Surabaya adalah ketersedianya menu makan di rumah makan Duta Kabupaten Ngawi, Jatim. Dengan hanya mengeikhlaskan 63 ribu jumlah tersebut sudah termasuk memilih salah satu dari lima menu yang dikhususkan ...

Resensi: Simulasi dan Hiperrealitas dalam film SIMONE

   Ciri khusus genre film sains fiksi Holywood kerap kali mengetengahkan ide tentang keunguulan komputerisasi sebagai satu-satunya instrument penting industri film Amerika serikat dewasa ini. Ilustrasi dimensi ruang dan waktu dalam virtualisasi kapsul digital menjadi penanda dimulainya  era digitaliasi sebagai tema mainstrim performativitas film Holywood, setidaknya 10 tahun belakangan.       Dari sekian banyak film bergendre sains fiksi, salah satu yang masuk kategori film favorit-ku tahun 2011 jatuh pada SIMONE. Film besutan sutradara Anderew Nicola yang dibintangi aktor Alpacino ini, sempat direkomendasikan oleh ketua prodi Kajian Budaya dan Media, Prof. Heru Nugroho sebagai salah satu dari sekian banyak tugas mata kuliah teori kritis dan posmodernisme.       Sekedar catatan, melalui film ini setidaknya kita diajak berkenalan dengan sejumlah teori postmodernisme. Lewat Simone memungkinkan siapa saja bisa m...