Saat adzan menyahut pada Dzuhur kala itu, suasana Masjid Raya Makassar berubah menjadi sentrum bagi jiwa yang terpanggil. Siang itu, masjid yang dibangun pada 1949 masih menyisahkan kerinduan. Sebuah kerinduan berbalut jiwa yang sublim akan keridohan sang Khalik. lalu lalang jamaah dari beberapa titik keramaian bergegas menuju tiga penjuru gerbang masuk, seolah menjadi petanda bahwa masjid ini masih kuasa bertahan dari hirukpikuk aktivitas ekonomi di jantung keramaian kota metro Makassar.
Sepintas, mungkin tidak ada yang tahu, kalau tanah lapang yang kerap kali dijadikan lapangan sepak bola itu menjadi lokasi berdirinya Masjid Raya megah yang dilengkapi berbagai fasilitas dan dapat menampung 10 ribu jemaah di atas tanah seluas 13.912 meter persegi
Masjid Raya Makassar awalnya dirancang M Soebardjo atas petunjuk KH Ahmad Bone. Ulama asal Kabupaten Bone itu berniat membangun sebuah masjid dengan biaya sebesar Rp 60.000 di tahun 1947. Kala itu bangunan pertama masjid hanya terbuat dari anyaman bambu. Barulah pada tanggal 25 Mei 1949 masjid tersebut diresmikan. Lalu pada tahun 1957, Presiden pertama RI, Soekarno, melaksanakan salat Jumat di masjid ini. Seterusnya upaya renovasi terus digalakan pihak pengelola.
Seiring waktu, Masjid Raya Makassar dirombak total dari bentuk aslinya pada Februari 1999. Saat itu, sempat terjadi silang pendapat terkait perombakan masjid. Tapi kini, masjid tersebut berdiri megah dengan gaya arsitektur Timur Tengah dengan sedikit sentuhan meditarian. Sebuah mozaik kenagan masa lalu yang dipoles dengan arnament modern.
Bagi saya, ini adalah kali ketiga datang ke masjid kebanggaan warga Makassar. Seingatku Ramadhan dua tahun lalu saya pernah bertandang, sekadar memanfaatkan jatah buka puasa di sini. Namun kedatangan saya kali ini tentu bukan mengharapkan adanya jatah makan gratis itu. Tujuanku hanya sekadar menengok aktivitas di dalam masjid bercorak hijau mudah yang mulai memudar itu.
Saat memarkir kendaraan, saya nyaris lupa dimana pintu masuk. Agar tidak terkesan asing, perlahan saya menyamakan langka mengikuti beberapa jamaah menuju sebuah tempat berwudhu di pojok paling belakang masjid. Setelah berwudhu dengan khusyuk, saya berniat sholat Tahyatul Masjid sebagai bentuk penghormatan bagi masjid, namun langkaku terjengat dan melambat. Sejenak kuputuskan berhenti di ujung anak tangga yang berbentuk setengah lingkaran. Mataku memplototi sejumlah aktivitas jamaah di lantai dasar ini. Deretan pedagang memadati tiap sudut lantai. Saya menoleh ke deretan pedagang dan mulai mendekatinya.
Beberapa penjual sempat saya amati. Seperti Yusuf, pedagang buku agama itu mengaku sudah dua tahun berdagang di tempat ini. Selain kumpulan kitab lelaki berjangkut dan berpeci hitam itu menjual aksesoris peralatan sholat. Sementara di samping kiri Yusuf, bagi anda penikmat parfum, bisa memperoleh pada penjual parfume non alkhol di Masjid Raya Makassar. Bahkan penjajah surat kabar dan majalah bekas bisa anda peroleh di lantai dasar ini. Khusus untuk penjual majalah bekas, anda beruntung jika memiliki ketrampilan tawar menawar tingkat tinggi, pasti memperoleh harga yang jauh lebih murah. Namun sayang skill yang satu ini ternyata belum saya kuasai sehingga membawa pulang majalah bekas itu dengan harga yang diprediksi masih relatif mahal.
Kali ini, mataku terhempas pada setiap sudut bagain dasar masjid. Luasnya sebanding dengan lantai dua yang biasa digunakan sholat berjamaah. Dalam benakku, sepertinya pihak pengelola sengaja memberikan space khusus untuk aktivitas jamaah selain beribadah. Jika benar dugaanku, artinya penanggung jawab masjid turut serta memberdayakan ekonomi umat. Sikap ini tentu tidak hanya memposisikan masjid sebagai tempat sujud semata, namun masjid juga adalah wadah pengembangan sektor ekonomi umat. Masjid bukan pula sebagai tempat singgah bagi jiwa yang rumpil, tetapi masjid bisa berfungsi sebagai pemersatu kekuatan umat, gumamku. Agak lama terhanyut dalam lamunan, sontak suara lantang iqamat menyadariku bahwa saya hampir saja didaulat jadi masbuk. Bergegas saya mengambil posisi tepat di pojok kanan shaf.
Usai mengakhiri kewajiban Dzuhur, saya lalu menengadah ke langat-langit, mengikuti titik serambi kubah masjid. Seluruh sudut terbingkai kaligrafi dari beragam model penulisan. Pesona interiornya terpancar pada kombinasi warna tembok yang cukup mempesona. Pahatan lafal Allah dan Muhammd jadi titik pusat dari semua aksara Arab berbalut pada kemegahan bangunan ini. Tak hanya itu, saya mulai memperhatikan marmer coklat muda menjadi pilihan setiap ubin masjid ini. Dari kejauhan terpancar pantulan bayangan. Tentunya ini bukan marmer biasa. dengan harga yang tidak biasa pula.
Namun, terlepas dari mahakarya desain modern pembangunan masjid ini, tak luput dari kontroversi. Di awal pembangunannya, pada masa Walikota Makassar dijabat oleh I.M.Qaemuddin (alm), 1947-1951 kala itu, pemerintah menganjurkan semua masjid di kota ini ditutup dan bersatu di Masjid Raya guna melaksanakan salat Jumat berjemaah. Kegiatan tersebut sontak membuat tentara KNIL (Koninklijke Nederlandsch-Indische Leger) antek tentara Belanda yang pada masa itu masih berkuasa penuh di daearah teritori Makassar, merasa gusar dan menyesali pemberian izin membangun masjid. Sebab mereka mengagap Masjid Raya tidak hanya sebagai tempat ibadah saja tapi juga digunakan sebagai markas pertemuan dan kegiatan pejuang kemerdekaan atas pemberontakan DII/TI pimpinan Qahar Mudazakar pada waktu itu.
Tidak hanya itu, kontroversi pun berlanjur dengan dibuatnya dua ruang terpisah yang terdapat pada rancang awal masjid ini. Sejarah mencatat ihwal mesjid ini memeliki dua ruang terpisah bermula ketika Muhammad Soebardjo juru rancang itu memenangkan sayembara gambar bangunan Masjid Raya Makassar. Arsitek terkemuka itu menampilkan bentuk menyerupai model pesawat terbang. Lengkap dengan kedua sayap di kanan-kiri serambi.Kemudian badannya yang memanjang dari barat ke timur dengan dua badan atau jalur badan pesawat, lalu bagian timur seperti ekor pesawat. Desain itu dipilihnya disebabkan, Soebardjo ketika itu membaca imajinasi masyarakat Makassar yang setiap harinya dihantui oleh pesawat pengebom B-29 yang melayang-layang di atas kota. Dengan upaya meredam ketakutan warga ide itupun ditorehkanya pada model awal masjid ini. Akan tetapi saat ini, kita tidak lagi menemukan model pesawat dan dua ruang terpisah itu, justru kini telah tergantikan dengan desain futuristik menyerupai masjid Kordofa.
Dahulu pada bangunan aslinya, Masjid Raya memiliki Musafir Khana yaitu bangunan khusus tempat penampungan orang-orang terlantar atau musafir dan pelajar yang terputus bantuan dari orangtuanya sehingga memerlukan bantuan. bahkan momentum Paling penting adalah masjid ini pertama kali lahir MTQ pada 1955 silam.
Tidak ada salahnya kalau kita sedikit bangga pada masjid ini, pasalnya pada lantai dua masjid yang bergaya arsitetur modern ini,terdapat Alqoran berukuran jumbo. Dengan kondisi fisik seperti tercantum pada sebuah papan informasi sebagai berikut: Panjang 1x1,5 meter per segi, berat 584 kg terdiri dari 6.666 ayat yang terangkum pada 30 juz, 605 helai kertas, oleh penulis kaligrafi, KH Ahmad Faqih Muntaha, dari Yayasan Al Asy'ariah, Kalibeber, Wonosobo, Jawa Tengah.
Adapun tintanya sendiri dibuat dari campuran tinta Cina dan cairan lainnya seperti air teh kental. Air teh ini berfungsi agar tinta tetap awet melekat di kertas. Untuk tulisan ayat berwarna hitam, digunakan spidol khusus. Sementara tempat bersemayamnya Alquran ini berada dalam bingkai kaca yang cukup tebal. Tentunya Pengurus Masjid Raya Makassar membuka kesempatan kepada siapapun untuk warga Kota Makassar yang ingin melihat langsung Al Quran Raksasa itu
Berdasarkan tulisan ini, sudah saatnya kita kembali mereposisi fungsi masjid, tidak hanya sekedar tempat sublimasi vertikal spiritualis atau tempat penghambaan kaum muslim. Namum, sudah saatnya kita melihat masjid sebagai wadah membina kekuatan horizontal. Salah satunya pemberdayaan ekonomi umat serta pusat kajian keilmuan Islam. Sehingga tidak hanya kampus atau sekolah yang dapat menorehkan prestasi keilmuan, masjid pun sangat memungkina untuk itu. Selain juga sebagai pusat khazanah wisata religi dan budaya keislamaan.
Kalau bukan sebagai tempat pengembangan sumber daya jamaah, lantas apalah arti sebuah kemegahan jika masih ada di sekitar masjid, gerombolan pengemis, anak putus sekolah akibat himpitan ekonomi hingga masih menjamurnya keluarga kurang mampu di Kota Makassar. Masjid cukup menjadi ikon kemegahan sebuah daerah. Bahkan tidak menutup kemiungkinan keberadaan masjid justru dijadikan sebagai politik mercusuar elit dearah, membangun sejarah sebagai prestise bagi pribadi yang tamak! bahkan mungkin mengubur sejarah masa lalu dengan dengan polesan “keangkuhan”. Naudzubillah ! [V]
Komentar
Posting Komentar