Langsung ke konten utama

Cotto Dewi, Cottonya Makassar

Indonesia selain terkenal kekayaan alam, negeri ini juga masih menyisahkan ketenaranya lewat beragam menu nusantara yang memiliki cita rasa tinggi. Salah satunya berasal dari daratan angin mamiri, Makasar.

Makassar, memiliki tiga ikon ternama. Selain populer dengan kesebelasan PSM (Persatuan sepak bola Makassar), pantai Losari untuk kawasan wisata bahari, dan satu nama lagi yang sudah melegenda yaitu Hidangan cotto Makassar. Menu berbahan dasar jeroan danging sapi berkua ini sudah merakyat di lidah warga Makassar pemilik “sah “ makanan ini.


Di beberapa tempat, seperti Manado dan Jakarta, rumah makan ataupun warung tenda khas Makassar bertebaran hampir di setiap sudut jalan besar. Bahkan tidak tanggung-tanggung di Jakarta, cotto Makassar bisa dinikmati disalah satu gerai yang letaknya di pusat perpelanjaan (Mall).

Namun di daerah asalnya, puluhan penjajah cotto bisa dengan mudah diperoleh. Tetapi, diantara tempat makan tersebut, terdapat sebuah rumah makan yang sudah sangat tersohor. Warung makan tersebut bernama warung Cotto Dewi. Lokasi utamanya berada di bilangan kompleks masjid Almarkas, tepatnya di jalan Sunu, Makassar.

Warung cotto ini mulanya dirintis pada 1994 oleh Haji Muhammad Yunus. Saat ini, pria asal Kabupaten Jeneponto itu telah memperkejakan 20-an tenaga pembantu, siap melayani anda dengan santun. Adapun asal muasal berdirinya Cotto Dewi, menurut Hj. Fatimah, salah satu pengelola warung ini mengatakan, nama “ dewi” menjadi brend bagi usaha keluarganya, berasal dari sebuah bioskop kenamaan di kota Maaksar. Bioskop itu benama, bioskop dewi. Pada medio 1994 sebuah tenda sederhana, cikal bakal cotto dewi didirikan disamping biokop tersebut, sehingga banyak pelanggan justru menyebut cotto “Dewi” pada tenda cotto Makassar itu.
Namun sayang, keberadaan bioskop tersebut, saat ini telah tergantikan oleh sejumlah ruko dan usaha komersil. Tetapi nama dewi yang melekat pada tempat hiburan rakyat itu berhasil diselamatkan menjadi brend yang menguntung untuk bisnis kuliner Haji Yunus.
“Kami mengambil nama warung cotto dewi sebagai nama restoran karena memang pada awalnya, ayah saya merintis usaha cotto ini tepat disamping bioskop dewi dulu. Sehingga banyak orang menyebutnya cotto dewi, bukan Cotto Bioskop Dewi” paparnya lantang!

Ada pun menu cotto dewi, rasanya tidak jauh berbeda dengan cotto Makassar pada umumnya. Namun, bedanya dengan racikan cotto ini terdapat pada Potongan jerohan dan daging sapi yang lembut, serta kekentalan kuah, terasa hingga diunjung tenggorokan. Begitupun dengan rerempah yang diolah sendiri oleh Haji Yusuf ini, membuat lidah kita bergoyang. Kekuatan yang dimiliki pada masakan ini terdapat pada racikan beberapa bumbu utama, seperti: Jahe, lengkuas serta beberapa siul bawang putih. Namun, tidak berhenti sampai disitu, masih ada juga bumbu penunjang lainya jangan sampai terlewatkan, diantaranya: bawang goreng, seledri, jeruk nipis, kecap, merica dan kacang goreng. Kesempurnaan campuran enam element ini turut menentukan derajat kenikmatan Cotto Dewi.


Untuk proses olahan agar memiliki cita rasa tinggi, membutuhkan keterampilan khusus. Nah, untuk soal yang satu ini, masih dibawa kendali racikan tangan trampil haji Yunus sendiri. Bahkan seluruh pegawai termasuk anaknya, hingga detik ini belum diwariskan ilmu racik-meracik cotto dewi .

“sampai sekarang belum ada yang tahu bagaimana racikan atau takaran yang digunakan Haji, kami karyawan dan juga anaknya belum mengetahunya secara pasti“ Ucap Cullang serius

Bahan-bahan cotto umumnya sama hanya saja cara dan takaran yang membedakan kedahsyatan cotto Dewi dengan yang lain. Sepintas memang cotto ini kaya akan rempah. Hampir semua jenis bumbu dan rempah dipakai dalam proses olahan cotto. Seperti halnya Palubassa, menu khas Bugis-Makasar ini juga hampir memiliki bahan dasar yang serupa, namun bedanya, Pallubasa dilengkapi bumbu khusus yang terbuat dari parutan kelapa. Sementara cotto Dewi, rasa lengkuas, lada dan jahe begitu mendominasi. Rempah ini membuat kuah cotto terasa gurih serta didukung tekstur daging yang halus. Terasa maknyooos!!!

Kelezatan cotto ini bagai magnet. Tidak sedikit pelanggan berjibaku di warung induk cotto dewi jalan Sunu hingga larut malam. Karena ketagihan dengan menu ini. Ardi Rahman, mahassiwa sebuah perguruan tinggi negeri, jadi pelanggan tetap. Dalam seminggu lelaki berkulit sawo matang itu, sampai dua kali cicipi hidangan ini.

“ Rasnya enak, kental dan dagingnya halus, tidak amis, juga harganya murah untuk kantong mahasiswa.” jelas Ardi tertawa.
.

Ekspansi Beberapa Cabang.

Saat ini, pengelola cotto dewi telah memiliki empat cabang di kota Makassar. Naluri bisnis kuliner Haji Yusuf pendiri Cotto ini tidak bisa diragukan lagi. Ke-empat cabang yang dikelolanya kini dapat anda kunjungi di beberapa kawasan seperti: Jl Alauddin, jl Perintis Kemerdekaan, Jl Panampu, sementara untuk induknya terdapat di Jl Sunu.
Ditempat ini, (Jalan Sunu) sudah banyak kendaraan memadati warung cotto itu. Ketika saya bertandang, dari dalam ruangan bercorak putih sudah penuh sesak pembeli memenuhi beberapa meja makan. Aroma cotto pembangkit selera menyegat di indera penciuman ku. Meski tidak sampai membuat antrian panjang saya mengamati beberapa ekspresi penikmat cotto, dengan gayanya masing-masing mereka cukup khusyuk mencicipi cerohan berkuah itu. Bahkan dari arah depan dekat pintu masuk, lelaki tambun menyahut “ saya pesan “janda” ( Jantung Daging) satu, daeng”

Warung Cotto berkapasitas 50 orang itu ternyata menggunakan daging sapi segar impor asal Australia dan daging lokal. Untuk jatah daging, menurut Saiful salah satu pengelola mengatakan, dalam sehari kebutuhan daging sapi sampai 100 kilo, atau setara dengan 400 pembeli. Bahkan pada hari-hari tertntu, seperti Sabtu dan Minggu bisa mencapai 500 penikmat.

“ untuk sehari kami membutuhkan sekitar 100 sampai 150 kilo danging segar, baik daging lokal ataupun impor” jelas Saiful sumringah.


Selain cotto sebagai menu andalan tadi, pengelola rumah makan ini juga menawarkan sejumlah menu lain yang tak kalah nikmat. Di antaranya Lalapan ayam dan ikan bakar. Untuk menu Cotto di patok harga Rp 7.000 per porsi, harga ini belum termasuk ketupat 500 tiap bungkusnya.

Soal harga di rumah makan ini terbilang relatif murah. Meski begitu bukan berarti murahan, sebab menurut Fatimah, generasi kedua pewaris cotto ini mengatakan , ayahnya sengaja masih mematok harga ini karena cotto menurut nya secara tradisi merupakan hidangan rakyat, itu artinya cotto ini sebisa mungkin dapat dinikmati seluru masyarakat. Dari pernyataan gadis berjilbab hitam tadi, saya berpikir bisa jadi philosofi dan tradisi kedermawahan turut membesarakan nama Cotto Dewi hingga memiliki empat cabang di kota Makassar. Sehingga tidak berlebihan kalau ada slogan mengatakan cotto dewi, cottonya orang Makassar!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resume Buku Teori Budaya, karya David Kaplan dan Robert Manners

Antropologi “ metodologi dan pokok soal dalam penyusunan teori” Pada pembahasan awal Buku karya Kaplan dan Manners yang bertajuk teori budaya ( the teory of culture ) mengetengahkan masalah mendasar Antropologi sebagai suatu bidang pengetahuan yang mendisiplinkan diri dalam kaidah ketat epistemology,   pada akhir abad sem bilan belas. Menurut keduanya, pokok –pokok problem yang diperhatikan Antropolog dapat diringkas menjadi dua pertanyaan besar yang saling terkait, yaitu   pertama, bagaimanakah berkerjanya berbagai system budaya yang berbeda-beda? kedua, bagaimanakah sistem-sistem budaya yang beraneka ragam itu   mendapat tempat seperti saat ini? (Kaplan &Manners hal 2)                 Problem mendasar dalam uraian akademis yang dikemukakan oleh Kaplan dan Manners tersebut,   merujuk pada pemahaman mengenai perbedaaan   pada setiap budaya, baik dari segi ruang maupun waktu, dimana semua budaya sama. Sehingga keduanya beranggapan memungkinkan disiplin Antropologi t

Resensi: Simulasi dan Hiperrealitas dalam film SIMONE

   Ciri khusus genre film sains fiksi Holywood kerap kali mengetengahkan ide tentang keunguulan komputerisasi sebagai satu-satunya instrument penting industri film Amerika serikat dewasa ini. Ilustrasi dimensi ruang dan waktu dalam virtualisasi kapsul digital menjadi penanda dimulainya  era digitaliasi sebagai tema mainstrim performativitas film Holywood, setidaknya 10 tahun belakangan.       Dari sekian banyak film bergendre sains fiksi, salah satu yang masuk kategori film favorit-ku tahun 2011 jatuh pada SIMONE. Film besutan sutradara Anderew Nicola yang dibintangi aktor Alpacino ini, sempat direkomendasikan oleh ketua prodi Kajian Budaya dan Media, Prof. Heru Nugroho sebagai salah satu dari sekian banyak tugas mata kuliah teori kritis dan posmodernisme.       Sekedar catatan, melalui film ini setidaknya kita diajak berkenalan dengan sejumlah teori postmodernisme. Lewat Simone memungkinkan siapa saja bisa mengenaliasis fenomena  digitaliasi masyarakat kontemporer.  Ter

Menjadi Abnormal

#Tulisan lawas- Juli 2009     P erkembangan teknologi informasi memungkinkan siapa saja terlibat aktif menjalin hubungan dengan siapapun dan dimanapun. Perangkat jejaring sosial   yang akhir-akhir ini digandrungi hampir semua kalangan, menjadi petanda bahwa teknologi informasi dan komunikasi adalah salah satu instrument penting dalam   prasayarat pergaulan sosial. Meskipun stigma ini belum menjadi dasar   pembenaran.    Berbicara soal peluang dan kesempatan terkait situs jajaring sosial. Saya punya pengalaman unik, aneh dan mungkin bisa dibilang berlebihan. Kejadian ini bermula ketika   sebagian   teman-teman kampus   jadi pengguna aktif friendster salah satu situs jejaring sosial. Awalnya,   Jamil kerabat saya se-kampus dan juga se-kampung meperkenalakan mesin ini. Dari dialah cerita kecanggihan friendster yang katanya sanggup membuka akses komunikasi virtual dengan siapa saja dari pelosok dunia, terpaksa   saya mengharuskanya membuatkan accout di situs itu.      Sebena