Langsung ke konten utama

Islam dan Jejak Kolonial


    Hampir semua hal di Indonesia memiliki rujukannya dengan agama. Agama nyaris mengatur pernak perrnik di republik ini. Semua dipandang memiliki landasan syariah yang mesti dipatuhi oleh mereka yang meresa paling berhak. Dalam hal ini berhak menentukan batas keyakinan atau keimanan seseorang. Sejumlah kalangan bahkan tak jarang memasukan syariat sebagai pedoman dalam tata pemerintahan. Di negara ini jika Anda berseteru dengan 'mereka' maka terimalah nasib Anda dipandang sebagai individu atau golongan yang tak layak mencium wangi surga. Sangksi ilusif itu panatas diperoleh karena telah menistakan Islam ke tempat paling buruk. Simak saja, perkara memilih sendal jepit bisa ramai diributkan karena dinilai memilki lafadz Allah. Bahkan temuan plat cetakan Alquran untuk cetakan panggangan kue dibuat heboh. Busana Agnes monica beraksara arab dan sajadah/karpet shalat yang digunakan untuk menari di acara Hari Amal Bakti ke 70 Kementerian Agama DKI Jakartapun dipandang menodai simbol Islam. Paling hangat saat ini dalam program sahur di TVRI, yaitu dua pengisi acara program itu mengenakan pakaian muslim berdesain Salib, juga dipandang menistakan Islam karena menyadur simbol agama lain. Efek publik terutama pada sejumlah umat islam di Indonesia cukup reakasioner menanggapi bahkan terhasut akal sehat mereka.
    Untuk kasus yang terakhir ini terbilang sangat absurd. Desain busana yang tentunya tidak memilki unsur penistaan agama tetapi dinilai tidak sesuai dengan topik acara. Untuk itu setidaknya menarik diamati pada bagaimana munculnya anggapan bahwa busana tersebut adalah repesentasi simbol agama lain dan disusul oleh tindakan melarang dan memboikot tayangan dan artis tersebut? Untuk menjawab ini perlu dilihat pada beberapa dekade silam di mana Islam di era Soherato belum mendapat posisi krusial dalam panggung poltik, yang kala itu diperankan secara paripurna oleh unsur militerisme. Pada saat itu Islam hanya memiliki peran pinggiran dan dikesankan tabu dalam kontentasi poltik.
Kondisi ini jika dicermati tidak bisa dipisahkan oleh identitas Islam khususnya di Indonesia sebagai hybrid yaitu entitas yang diambil dari produk lintas budaya lainnya. Menariknya identitas hybrid ini kerap memicu adanya perlawanan. Paling tidak di Indonesia menjadi arena perlawanan kelompok Islam terhadap kekuasan oteritarian Soeharto dan akhirnya mendapat tempat saat dimulainya refomasi 1998 hingaa ia menguat dan mendapatkan panggung poltik saat ini.
    Dengan demikian maraknya kejadian yang dilatari oleh sentimen agama, jika dilisik mengarah pada menguatnya isu identitas sekaligus saling rebut pengakuan pihak mana yang paling layak mengenyam status keaslian, otentik dan murni ajaran Islamnya demi menjaga agar nilai kesilaman tetap utuh, tentu sikap ini memiliki konsekuensi memudarnya keterbukaan pikiran yang reflektif. Segala upaya yang berpotensi mengarah pada perbedaan pandnagan atau tafsiran akan dimaknai secara emosial dan tak jarang mengautkan sentimen primodial.
    Pesona citra Islam yang murni, otentik dan tak terbatahkan ini , memeliki jejak serupa dengan era kolonalisme Belanda. Di mana nilai-nilai yang mengsung Kereopaan digolongkan memiliki status kehormatan tinggi dan brecitra rasa modern. Pengakuan akan citra modern disadur dari tradisi 'Eropa' ini selanjutnya menjadi legitimasi merawat penindasan dalam sejumlah praktik budaya kala itu. Merasa diri dan golongannya sudah mengikuti tradisi tersebut mereka punya hak dan kekuasaan mengatakan orang lain masih tradisional, bodoh dan tertinggal. Logika itu kembali dengan mudah ditemukan dewasa ini. Merasa ajaran agama paling suci dan benar, maka anda punya hak membenarkan ajaran agama lain keliru.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resume Buku Teori Budaya, karya David Kaplan dan Robert Manners

Antropologi “ metodologi dan pokok soal dalam penyusunan teori” Pada pembahasan awal Buku karya Kaplan dan Manners yang bertajuk teori budaya ( the teory of culture ) mengetengahkan masalah mendasar Antropologi sebagai suatu bidang pengetahuan yang mendisiplinkan diri dalam kaidah ketat epistemology,   pada akhir abad sem bilan belas. Menurut keduanya, pokok –pokok problem yang diperhatikan Antropolog dapat diringkas menjadi dua pertanyaan besar yang saling terkait, yaitu   pertama, bagaimanakah berkerjanya berbagai system budaya yang berbeda-beda? kedua, bagaimanakah sistem-sistem budaya yang beraneka ragam itu   mendapat tempat seperti saat ini? (Kaplan &Manners hal 2)                 Problem mendasar dalam uraian akademis yang dikemukakan oleh Kaplan dan Manners tersebut,   merujuk pada pemahaman mengenai perbedaaan   pada setiap budaya, baik dari segi ruang maupun waktu, dimana semua budaya sama. Sehingga keduanya beranggapan memungkinkan disiplin Antropologi t

Resensi: Simulasi dan Hiperrealitas dalam film SIMONE

   Ciri khusus genre film sains fiksi Holywood kerap kali mengetengahkan ide tentang keunguulan komputerisasi sebagai satu-satunya instrument penting industri film Amerika serikat dewasa ini. Ilustrasi dimensi ruang dan waktu dalam virtualisasi kapsul digital menjadi penanda dimulainya  era digitaliasi sebagai tema mainstrim performativitas film Holywood, setidaknya 10 tahun belakangan.       Dari sekian banyak film bergendre sains fiksi, salah satu yang masuk kategori film favorit-ku tahun 2011 jatuh pada SIMONE. Film besutan sutradara Anderew Nicola yang dibintangi aktor Alpacino ini, sempat direkomendasikan oleh ketua prodi Kajian Budaya dan Media, Prof. Heru Nugroho sebagai salah satu dari sekian banyak tugas mata kuliah teori kritis dan posmodernisme.       Sekedar catatan, melalui film ini setidaknya kita diajak berkenalan dengan sejumlah teori postmodernisme. Lewat Simone memungkinkan siapa saja bisa mengenaliasis fenomena  digitaliasi masyarakat kontemporer.  Ter

Menjadi Abnormal

#Tulisan lawas- Juli 2009     P erkembangan teknologi informasi memungkinkan siapa saja terlibat aktif menjalin hubungan dengan siapapun dan dimanapun. Perangkat jejaring sosial   yang akhir-akhir ini digandrungi hampir semua kalangan, menjadi petanda bahwa teknologi informasi dan komunikasi adalah salah satu instrument penting dalam   prasayarat pergaulan sosial. Meskipun stigma ini belum menjadi dasar   pembenaran.    Berbicara soal peluang dan kesempatan terkait situs jajaring sosial. Saya punya pengalaman unik, aneh dan mungkin bisa dibilang berlebihan. Kejadian ini bermula ketika   sebagian   teman-teman kampus   jadi pengguna aktif friendster salah satu situs jejaring sosial. Awalnya,   Jamil kerabat saya se-kampus dan juga se-kampung meperkenalakan mesin ini. Dari dialah cerita kecanggihan friendster yang katanya sanggup membuka akses komunikasi virtual dengan siapa saja dari pelosok dunia, terpaksa   saya mengharuskanya membuatkan accout di situs itu.      Sebena