Langsung ke konten utama

komodifikasi dan kapitalisme lanjut (tulisan kawan wawan)

Rasanya begitu sulit untuk tidak menyimpulkan bahwa arus kehidupan bergerak satu arah. Hari ini kecendrungan social secara jelas merefleksikan wajah masyarakat yang terus dilapisi kemapanan ekonomi. Hampir disetiap jengkal lapangan kehidupan kita diperhadapkan pada pilihan yang amat seragam. Dinamika dan interaksi manusia kini tengah terjebak dalam kurungan industrial dan materialisme. Sehingga cukup mudah untuk memahami bahwa ternyata tatanan dunia terseret ke suatu muara yang disebut kapitalisme. Eksistensi kapitalisme bukanlah sekedar jargon klasik kelompok kiri (leftist) tapi ia telah mewujud dalam sebagian besar sisi kehidupan manusia bahkan untuk sisi yang paling personal sekalipun. Masyarakat hampir tak memiliki ruang lain untuk berinteraksi selain dalam dunia artificial yang dikonstruk secara sistemik dan teratur oleh kapitalisme. Fenomena konsumerisme berhasil mengepung kehidupan lewat media massa dan iklan yang terus merajalela. Pergerakan pasar melahirkan sayap-sayap imaji dan citra yang melekat kuat di kotak televisi, kolom iklan suratkabar, billboard politisi rakus atau di celana dalam Britney Spears dan Collin Farrel. Semua ini terjadi tanpa control. Kita dipaksa hidup dibawah bayangan kekayaan dan popularitas. Dunia telah diartikulasikan dalam bentuknya yang sangat cantik nan menawan yaitu uang, uang, dan uang!
Mtv gue banget, apapun makanannya, minumnya pasti teh botol sosro,segarkan harimu dengan coca-cola, dan rayuan-rayuan lain iklan kini tertanam begitu kokoh hingga kedalam alam bawah sadar. Tidak mengherankan jika orang lebih menghafal produk berikut slogannya dibanding kitab sucinya masing-masing. Lebih gawat lagi, ketika beberapa ustadz ikut memamerkan produk telekomunikasi sembari mengatasnamakan tuhan dan agama! Tentu saja, ini menjadi indikasi bahwa wilayah religius-agamapun ikut dilacurkan dalam komoditas dangkal kapitalisme.
Meskipun begitu, hampir semua pihak menganggap kapitalisme sebagai kewajaran. Berbagai fenomena diatas malah dirasakan sebagai hal yang alamiah dan rasional. Adapun kesalahan dan ketimpangan yang muncul justru disimpulkan sebagai hukum alam dimana selalu ada yang baik dan buruk. Mungkin terlampau cepat jika dikatakan hal tesebut diakibatkan oleh kekuatan hegemoni. Namun sebelum melangkah ke tahap itu, ada satu pertanyaan fundamental, apakah kapitalisme eksis secara alamiah atau ia hanya sebuah scenario dan rekayasa social?
Secara sederhana mungkin kita dapat menganalisis perkembangan masyarakat kontemporer lewat telaah kritis dinamika panjang ideologi kapitalisme. Doktrin ekonomi tersebut, secara akademis, pertamakali diperkenalkan oleh Adam Smith. Dalam bukunya yang berjudul wealth of the nation tahun 1776, ia menawarkan sebuah formulasi ekonomi untuk mengorganisir dan menata aktifitas ekonomi dalam kerangka kompetisi pasar. Setiap individu dibebaskan untuk mengejar profit dan alat produksi sebanyak-banykanya demi kemajuan bersama. Gerak ekonomi mesti bermuara pada pembentukan komoditas dan untung. Struktur dan wajah kapitalisme kemudian disempurnakan oleh pemikir borjuis seperti david ricardo dan jen baptise say. Selama ratusan tahun, kapitalisme menjadi sandaran utama tatanan ekonomi sebagian besar negara didunia. Begitu dominannya tesis ini,ia telah sukes menjebak para pembuat kebijakan dan masyarakat kedalam keterbatasan berpikir. Maksudnya pemikiran kita seakan disumbat tanpa mampu melihat alternatif lain disamping kapitalisme. Monopoli gaya berpikir ini memaksa orang untuk menelan dan memuja kapitalisme sebagai juru selamat atau messiah yang mendorong kesejahteraan dan keadilan sosial.
Ada yang salah dengan kehidupan kita. Yap masyarkat kita adalah masyarakat yang dicetak sebagai silent majority yakni mayoritas yang terbungkam. Suatu masyarakat yang pada akhirnya akan menjadi produk itu sendiri. Oleh karena itu, kita memerlukan suatu langkah kritis, minimal dalam menangkal kerancuan mindset atau pola pikir yang hanya menempatkan komoditas diatas rasio dan kemanusiaan itu sendiri.
Sederhananya kita perlu bergerak untuk menekan-atau bahkan menghapuskan secara total!- proses reproduksi komoditas dan modal atas nama kemajuan ekonomi dan prestise sosial. Deskripsi tentang esensi dan struktur kapitalisme berikut berbagai implikasinya, merupakan metode awal yang signifikan. Kita tidak boleh terus berkubang bersama normalitas-normalitas yang sebenarnya sangat menipu atau kemiskinan gagasan alternatif. Karena ternyata mekanisme sosial tidaklah berjalan datar atau polos. Ada suatu skenario cerdas yang mampu mengaburkan perbedaan atas apa yang ada dan apa yang seharusnya. Dengan demikian, kita seyogyanya mulai mempertanyakan keseluruhan bangunan sistem yang hari ini berdiri begitu hegemonik.
Apa dan bagaimana itu kapitalisme?
Mungkin asosiasi pertama kita terhadap istilah kapitalisme adalah uang, profit, pasar, atau perdagangan. Beberapa hal tersebut telah menjadi bagian inheren dalam sistem ekonomi kapitalisme. Namun perlu untuk diketahui bahwa, mekanisme kapitalisme tidaklah sesederhana itu (atau sebagaimana kapitalisme dengan begitu mudahnya menyederhanakan tipe perempuan kedalam dua jenis yaitu seksi dan tidak seksi!). kelahiran kapitalisme menandai era baru dalam melihat tatanan ekonomi negara yang lebih baik. Pasca revolusi industri inggris diakhir abad 18, interaksi ekonomi pada waktu itu menunjukan perubahan drastis. Aktifitas produksi yang pada awalnya hanya bersandar pada tenaga manusia bergeser ke pola pemanfaatan tenaga mesin (dalam hal ini,mesin uap) yang kian intensif. Proses ini kemudian menampakan fenomena masifikasi produksi dan akumulasi kapital. Dinamika tersebut selanjutnya menumbuhkan spesialisasi atau pembagian kerja yang lebih efisien dan efektif. Kecendrungan ini tentu saja mengarah pada watak ekonomi yang massal dan kalkulasi untung rugi yang berpijak pada nilai pertukaran barang dan jasa.
Secara umum, kapitalisme adalah mekanisme yang memberikan dan mendorong kebebasan individu seluas-luasnya untuk menjalankan aktifitas ekonomi dalam sistem pasar. Setiap individu dan kelompk berhak untuk berkompetisi untuk menguasai faktor-fakor produksi sebagai basis material produksi, yaitu sumber daya alam, tenaga kerja, modal dan skill. Persaingan ekonomi mesti bertolak dari asas liberalisme ekonomi yang berorientasi pada sistem pasar bebas. Kondisi ini merefleksikan suatu realitas dimana akumulasi kekayaan (profit), harga, distribusi, atau perdagangan hanya dapat berjalan ketika diberikan keleluasaan tanpa kontrol dari pemerintah (laissez faire), karena infiltrasi negara dan kekuasaan hanya akan mengacaukan dialektika pasar. Menurut adam smith, perekonomian yang sehat dan menguntungkan hanya bisa dicapai lewat penghapusan intervensi pemerintah dalam ranah ekonomi. Lebih lanjut menurutnya, kelangsungan dan masa depan ekonomi akan ditentukan secara otonom oleh mekanisme pasar itu sendiri melalui konsepsi invisible hand (tangan-tangan tak terlihat). Dengan demikian logika kompetisi menjadi motor utama dalam liberalisme ekonomi.
Keberhasilan doktrin kapitalisme mengatrol pertumbuhan ekonomi suatu negara tidak serta merta tanpa cela. Kemajuan yang muncul justru secara berbarengan melahirkan ketimpangan dan ketidakadilan sosial. Setumpuk persoalan berupa kemiskinan, monopoli pasar, pengangguran, kesenjangan sosial dan distribusi yang tidak merata menjamur tanpa jeda. Lantas pertanyaannya : bukankah kapitalisme adalah sistem ekonomi yang bertujuan mendorong kesejahteraan masyarakat? Para pemuja kapitalisme sangat percaya terhadap teori trickle down effect atau perembesan kebawah yang selama ini selalu menjadi justifikasi ampuh mereka. Asumsinya adalah keuntungan dan kekayaan dalam model kapitalisme pada gilirannya akan terdistribusi (merembes) secara otomatis pada individu lain atau segenap masyarakat. Tetapi fakta lapangan justru sangat kontradiktif. Realitas terus menawarkan gambaran keserakahan yang akut, dominasi pasar dan hierarki sosial terus berjaya lewat si kaya yang bertambah kaya dan si miskin yang kian terpojok tanpa daya . Artinya ada cacat inheren dalam logika liberalisme ekonomi. Laba yang didapat justru tidak terdistribusi merata melainkan terus ditumpuk. Secara umum, bias kapitalisme ini disebabkan oleh beberapa alasan rasional antara lain model kompetisi niscaya hanya akan berujung pada pemenang dan pecundang, level kapasitas pelaku ekonomi tidaklah seimbang, atau ketiadaan analisis pengaruh kekuasaan negara yang ikut mewarnai roda ekonomi. Ada beberapa konsep vital yang melekat dalam model ekonomi kapitalisme sebagai pilar pembangunnya. Pada prinsipnya liberalisme ekonomi mutlak menjurus pada, (1) adanya legalisasi kepemilikan pribadi terhadap faktor-faktor produksi (2) munculnya tenaga kerja upahan atau buruh (3) aktifitas pertukaran barang dan jasa demi profit dalam mekanisme pasar (4) alat pertukaran berupa uang dan (5) proses komodifikasi atau penciptaan nilai baru suatu benda untuk kemudian dijadikan penghasil laba.
Adalah seorang Karl Marx yang secara cermat menganalisis kapitalisme dalam perspektif berbeda. Jargon dan mimpi kapitalisme akan kesejahteraan kolektif justru tidak nampak olehnya. Marx meyakini bahwa para pemikir liberalisme ekonomi terlampau dangkal dan prematur dalam memahami karakter dan kecendrungan hidup masyarakat. Marx berhasil menelanjangi selubung ideologis dan konspirasi yang eksis dibalik corak produksi kapitalisme. Sebagian besar pihak mengaggap kapitalisme hanya sebagai mekanisme atau standar untuk menjalankan roda perekonomian suatu negara. Artinya kapitalisme berlaku sebagai regulasi ekonomi yang akan membawa kesejahteraan rakyat. Sedangkan marx mampu bergerak lebih jauh dan dalam ketika membaca kapitalisme. Menurutnya dibalik sistem kapitalisme telah terjadi proses penghisapan dan eksploitasi besar-besaran terhadap buruh dan masyarakat. Sehingga dekonstruksi dan pembongkaran kapitalisme wajib dilakukan mengingat efek buruk yang ditimbulkannya terjadi secara tak kasat mata atau sangat laten. Misalnya para pemilik modal melakukan pencurian secara diam-diam dan sistematis tehadap tenaga dan nilai kerja buruh. Lewat konsep nilai lebih (surplus value) seorang kapitalis mampu terus melipatgandakan profit berkali-kali sementara buruh ditekan untuk bekerja semaksimal mungkin tanpa upah layak serta jaminan keselamatan kerja. Selain itu, gejala overproduksi dalam kapitalisme ternyata mendorong munculnya ekspansi pasar atau pembesaran wilayah pemasaran untuk terus menjual dan mengakumulasi modal sebayak-banyaknya. Jadi wajarlah jika sepakterjang korporasi atau MNC dibanyak negara sangat memonopoli dan menghancurkan sektor industri kecil-menegah nasional. Berdasarkan data yang ada, kekayaan 400 MNC ternyata lebih besar dibanding pendapatan 143 negara didunia. Dilain pihak, fluktuasi kapitalisme menemukan ruang baru dalam melakukan penghisapan. Metode penjajahan dunia ketiga kini telah menjalar pada penggunaan institusi negara sebagai payung pelindung arus modal dan barang internasional serta menguatnya peran lembaga-lembaga keuangan global seperti IMF, WORLD BANK, ADB, PARIS CLUB,G8 dan institusi sejenis yang sukses menjerat negara-negara berkembang kedalam utang dan pinjaman luar negeri. Fenomena baru ini kemudian dikenal dengan sebutan globalisasi dan ideologi neoliberalisme sebagai landasan geraknya. Kemiskinan global terus membumbung tanpa kontrol. Lebih dari 800 juta orang dibumi hidup kelaparan, khususnya di afrika dan beberapa di asia. Korporasi bagaimanapun juga tidak dapat diperkaya karena sifat esensialnya yaitu mengeruk sebanyak-banykanya sumber daya alam dan memeras tenaga kerja dunia ketiga. Lihatlah betapa praktek ilegal logging yang telah memusnahkan sekitar 72% hutan indonesia. Atau royalti PT. Freeport yang dibagi secara tidak adil yakni sebesar 80%:20% untuk peerusahaan tambang dari AS.
Salah satu analisis dasar marxisme menyatakan bahwa, kelas paling tertindas adalah kelas proletar atau buruh serta kelompok lain yang bersentuhan langsung dengan jantung produksi industri. Namun pergeseran pola operasional kapitalisme membawa beberapa implikasi penting untuk memahami konteks keberadaan proletariat. Maksudnya jejaring eksploitasi dan penindasan kapitalisme kini menular ke berbagai kelompok dalam masyarakat. Definisi buruh tidak lagi ditujukan bagi mereka yang terperangkap dibalik tembok pabrik, tapi juga kaum tani, miskin kota, ibu rumah tangga, masyarakat adat, karyawan, guru, hingga mahasiswa. Bisa dikatakan unsur-unsur ini harus mulai sadar tentang status baru sebagai buruh sejak apa yang kita lakukan sebenarnya tidak jauh berbeda dengan buruh-buruh industrial pabrik. Pada prinsipnya kerja abstrak yang menekankan diri pada kecerdasan otak dan kreatifitas termasuk sebagai kerja-kerja buruh. Sebagian besar pekerja mengabdi dan tak dapat survive tanpa majikannya.
Wajah baru kapitalisme
Analisis dan pembahasan tentang kapitalisme dengan sendirinya perlu melakukan adaptasi terhadap konteks perkembangan masyarakat. Corak kehidupan pada aras social, budaya dan ekonomi-politik ternyata mengalami pergeseran signifikan. Munculnya perombakan besar-besaran ditubuh kapitalisme tidak lagi hanya menghinggapi corak produksi barang dan jasa tapi juga mulai mengarah pada pemusatan konsumsi. Artinya definisi dan uraian atas gerak perekonomian, tenaga kerja, modal dan model produksi kini cenderung sedikit terlepas dari standar konvensional Marxisme lama bahwa segala upaya ekonomi selalu berlandaskan produksi material saja. Oleh karena itu keterbukaan untuk melihat perspektif baru perlu kita kedepankan sebagai proses untuk menjelaskan secara lebih menyeluruh dan analitis. Dalam kaitannya pada dinamika social masyarakat, gerak kapitalisme bisa dikatakan telah berjalan lebih jauh. Fase modernitas yang dianggap sebagai tonggak baru kehidupan perlahan tapi pasti mulai luntur oleh arus postmodernitas.
Modernitas sangat identik dengan upaya pencerahan (Aufklarung) yang menjadi proyek dasarnya. Pencerahan ini hendak membawa perbaikan hidup baik pada cara pandang (world view) maupun pada infrastruktur kehidupan manusia berupa teknologi. Penggunaan filasfat rasionalisme sebagai cara pikir serta kemajuan besar-besaran teknologi adalah ciri lain dari fase ini. Dengan demikian hal tersebut berimbas pada hadirnya sekulerisme, system politik trias politik ala montesqiue, dan aktifitas ekonomi yang selalu menggenjot produksi manufaktur atau barang. Ditengah keadaan seperti ini tentu saja kapitalisme tetap keluar sebagai pemenang. Pembangunan pabrik dan industri baru, volume perdagangan yang meningkat atau akumulasi modal bergerak seolah tanpa control. Secara otomatis perkembangan ini dapat dikatakan kemajuan jika dari sudut pandang tuan dan nyonya kapitalis. Akan tetapi jika dilihat lebih cermat, secara bersamaan malapetaka yang datang terasa lebih menyakitkan dibanding besarnya kemajuan yang dicapai. Misalnya, pesatnya industrialisasi perkotaan tentu akan memacu urbanisasi­-sektor pertanian terabaikan-yang massif, pemukiman kumuh, pengangguran, kesejahteraan pekerja terus tertindih dan kemiskinan sistemik makin meluas. Khusus untuk persoalan kemiskinan kita wajib memahaminya lebih kritis mengingat konsep kemiskinan tidaklah sesederhana yang biasa dipahami. Secara umum bentuk kemiskinan ada 3 jenis yaitu kemiskinan alamiah suatu kemiskinan yang terjadi akibat proses alam seperti bencana alam yang mengakibatkan kehilangan harta benda atau sumber-sumber produksi, yang kedua adalah kemiskinan cultural,yang mengacu pada kemiskinan yang disebabkan oleh kemerosotan dan hilangnya karakter pekerja keras dan disiplin dalam hidup. Sifat malas atau tak mau kerja biasanya berujung pada kelemahan financial, serta yang terakhir kemiskinan sistemik yaitu bentuk kemiskinan yang terjadi akibat system atau mekanisme ekonomi-politik rejim. Artinya orang miskin karena memang sengaja dimiskinkan oleh aturan yang membuat masyarakat tetap terjebak dalam lingkaran kemiskinan. Scenario inilah yang dewasa ini menimbulakan realitas kemiskinan global dimana lebih dari 1 miliar penduduk bumi hidup dengan pendapatan dibawah 2 $ US perhari (sekitar 17.000 dalam rupiah!).
Modernisasi menular hampir disemua Negara didunia dan berlangsung dengan sangat sistematis. Kapitalisme yang menjadi ideology dominant telah diterima secara taken for granted hingga suatu kejadian luar biasa yang meledak diawal 1930-an. Yap, kejadian itu adalah depresi ekonomi dunia (malaisse) yang pernah mengguncang dan membawa kehancuran sector kesejahteraan dan finansial dunia. Depresi ekonomi ini tak pelak menjadi titik balik sekaligus pembenaran atas ramalan marx bahwa kapitalisme memiliki krisis inheren dalam tubuhnya. Oleh Marx krisis ini diuraikan sebagai gejolak overproduksi akibat kerakusan watak produksi kapitalisme. Produksi barang yang terlampau massal sehingga tidak sebanding dengan jumlah kebutuhan membuat orang beramai-ramai berpikir ulang tentang keampuhan metode ekonomi ala kapitalisme.
Ledakan revolusi teknologi terutama dibidang transportasi dan komunikasi sukses mengubah wajah zaman. Modifikasi cara hidup bisa jadi salah satu indicator utama yang pastinya akan selalu dikenang sepanjang masa. Ruang dan waktu seolah tak berarti lagi. Selisih jauh dan panjang ruang-waktu terus dimampatkan dan dipersempit lewat penemuan perangkat-perangkat baru teknologi yang semakin memudahkan kehidupan. akhirnya lahirlah zaman instant. Zaman serba cepat, efektif dan efisien. Anda tidak harus berpindah dari tempat duduk untuk melakukan sesuatu cukup klik sini-klik sana maka dalam hitungan detik semuanya tersaji. Pada titik inilah kapitalisme mulai mendesain ulang wajahnya. Lewat wajah barunya ini kapitalisme berhasil mentransformasikan model dan cara kerjanya kedalam suatu mekanisme baru yang disebut dengan kapitalisme lanjut. Terminology yang diperkenalkan oleh madzhab Frankfurt ini mengacu pada dinamika kapitalisme yang telah bergeser tidak hanya pada konsentrasi produksi manufaktur tapi juga pada reproduksi hasrat dan citra. Kemampuan baru kapitalisme ini bertolak dari potensi hasrat dan keinginan inheren setiap orang yang kemudian dimanfaatkan sedemikian rupa. Manipulasi hasrat lewat penciptaan citra dan imaji berfungsi untuk merangsang lahirnya kebutuhan-kebutuhan palsu untuk kemudian dikonsumsi secara membabi-buta. Akhirnya tampaklah belanja dan konsumerisme sebagai gaya hidup kekinian masyarakat kontemporer. Bahkan kelompok buruh dan rakyat miskin lainnya ikut mempraktekan budaya konsumtif. Hal ini disebabkan bahwa kelas pekerja yang punya potensi revolusioner paling besar, pada hakikatnya telah terintegrasi sepenuhnya kedalam mode produksi kapitalisme. Penemuan iklan sebagai instrument pengeruk hasrat dan uang telah memberikan pembeda zaman sekarang dengan zaman-zaman sebelumnya. Seorang pemikir situasionisme internasional-kelompok gerakan yang muncul di peretngahan dekade60-an-bernama Guy Debord, secara cerdik mengilustrasikan kemerosotan nilai-nilai kemanusiaan yang akut melanda masyarakat pada waktu itu. Ia menyebut dunia telah menjelma sebagai tontonan atas masyarakat yang telah menjadi komoditas murahan kapitalisme kedalam society of spectacle (masyarakat tontonan). Konsep ini merujuk pada kehidupan dan interaksi manusia hanya terjalin oleh citra dan imaji semata. Hal ini tentunya bermuara pada pendangkalan (banalisasi) dan penumpukan profit. Lebih lanjut kita hampir tidak dapat menemukan sentuhan alami dan personal yang membangun kehidupan. Oleh sebab itu masyarakat tontonan sangat bergantung pada aktifitas kepenontonan (spectatorship), seperti melihat, mengamati, memandang, mengintip, dan mengamati. Begitulah hingga apa yang lalu-lang dan tampak berakhir sebagai tontonan semata demi produksi ekonomi lewat permainan citra.
Ekonomi hasrat : manusia adalah produk!
Password dunia sekarang bisa jadi image atau citra. Image is everything. Dunia yang tengah berlangsung merupakan rantai dari revolusi citra dan struktur baru yang mengedepankan kepuasan dan imajinasi sebagai penyangga utama kehidupan. Eksistensi teknologi digital yang mampu mensimulasi dan mengeksploitasi hasrat lewat realitas buatan adalah ciri utama masyarakat urban hingga ke desa-desa. Transformasi aktifitas ekonomi manufaktur menuju ekonomi hasrat (libidinal economy) telah menular kesetiap tempat bahkan untuk tempat yang paling privat sekalipun. Hasrat atau libidinal adalah konsepsi yang berarti hasrat tubuh kepada sesuatu yang sifatnya immaterial, berupa citraan, status, kelas social, prestise, pujian, dan hal-hal immaterial lainnya. Manusia lebih merasa sebagai manusia ketika kebutuhan hasratnya dapat segera terpenuhi. Dengan demikian kelahiran buadaya pop dan arus globalisasi-neoliberal menjadi proyek tak terpisahkan dari fase kapitalisme lanjut. MTV, Mcdonald, coca-cola, nike, calvin klein, BMW, mercedess, starbucks,jeans adalah sederet produk budaya popular yang sangat merajalela. Apa yang perlu dipahami disini yaitu reproduksi lebih mengarah pada imajinasi dan citra palsu. Tidaklah mengherankan konsumsi tidak sekedar pada substansi produk malah menyusutkan kebutuhan sekedar menjadi keinginan saja. Pada prinsipnya tatanan globalisasi dalam bingkai budaya konsumsi tidak lagi bersandar pada objek yang mempunyai logika fungsi dan kebutuhan, tapi telah termanifestasi sebagai komoditas citra sebagai perbedaan. Seorang individu lebih butuh untuk diidentifikasi sebagai yang berbeda menurut status, kelas, maupun gengsi social. Ketika mengkonsumsi fast food ala Mcdonald dorongan lapar bukan lagi dorongan sesungguhnya, memakai GAP atau calvin klein tidak sekedar berpakaian, berkendara BMW tidak lagi dengan logika alat transportasi atau nongkrong di starbucks bukanlah warung kopi lazim atau keranjingan belanja di mal-mal alias pusat perbelanjaan mewah dan mahal, semuanya berevolusi pada pencitraan diri untuk keluar dari kerumunan massa biasa. Namun yang mengherankan hal tersebut malah menciptakan gerombolan massa yang betul-betul massal dan popular. Benar-benar suatu ironi yang amat menyedihkan! Para kapitalis merebut mimpi-mimpi kita dan menjualnya kembali kepada kita. Impian masa kecil yang menyenangkan, telah direbut para pemodal dan menghadirkan mimpi tersebut hanya di mal-mal. Tak ayal nilai lokalitas dan tradisional (permainan) mulai tergerus tanpa jejak. Mimpi sebagian lelaki dan perempuan untuk tampil menawan plus cantik akhirnya dicuri lalu diobral kembali dalam bentuk produk-produk kecantikan oleh selebritisme. Jika anda bercita-cita hidup nyaman, damai serta sejuk maka bersiaplah membayar akibat merebaknya pembangunan perumahan mewah atau kondominium lengkap dengan danau buatan, kolam renang, taman dalam nuansa keasrian palsu. Atau yang lebih mencengangkan lagi, kultur-kultur resistensi yang selama ini diusung oleh berbagai kelompok-kelompok perlawanan malah ikut terjun dalam jurang komoditas. Ingat ikon tokoh revolusioner Che Guevara? Ikon Che Guevara yang pada awalnya diperkenalkan oleh band hip-metal subversive, rage against the machine (RATM) bersama aksesoris sub-kultur Punk sebagai medium penyampai pesan perlawanan, sayangnya kini telah berakhir di outlet-outlet toko baju mahal. Kelihaian kapitalisme dalam mentransformasikan dirinya membuatnya mampu melakukan proses penjinakan yang menciptakan oposisi-oposisi palsu. Beberapa hari terakhir ini, Negara-negara maju termasuk Indonesia juga Mtv sibuk mempromosikan pesan “stop global warming” sedangkan pada waktu yang bersamaan mereka tak kalah sibuknya menghabisi kelestarian ekologis dan meracuni pikiran ana-anak muda dengan style-fashion tak bermakna apa-apa. Hegemoni dan dominasi yang terlampau kuat inilah yang berujung pada terbangunnya masyarakat budak yang menghamba pada gengsi dan konsumerisme.
Invasi iklan yang membabi-buta seakan tidak dapat dihentikan lagi. Setiap hal adalah potensi yang setiap saat dapat menjadi komoditas baru, bahkan manusia itu sendiri. Lihatlah disekeliling kita, manusia adalah iklan berjalan yang tak lepas dari brand dan logo korporasi. Desakan life style menghajar pola pikir masyarakat supaya tetap gigih berbelanja. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika manusia adalah produk itu sendiri. Setiap hari ada miliaran orang tua, muda hingga anak-anak yang kerap membatu didepan televise. Proses manufaktuturisasi manusia sebagai komoditas pada akhirnya berujung pada kehancuran dan dekadensi di area mentalitas dan spiritualitas manusia. Interaksi social telah menjelma sebagai alienasi, kompetisi destruktif, kehancuran lingkungan dan kerja komoditas belaka. Kita pernah diguncangkan oleh kasus bunuh diri di jepang dan dibeberapa Negara maju akibat depresi dan alienasi oleh dunia kerja. Seseorang akan dipandang sebagai manusia ketika ia dapat dihitung sebagai komoditas dan bergelimang gengsi dan status social. Lantas apa yang dapat kita harapkan dari kehidupan seperti ini?
Berhenti terus menjadi penonton setia kapitalisme!
Harapan akan terbentuknya suatu tatanan social yang lebih baik masih menjadi focus perhatian oleh banyak pihak sejak puluhan tahun yang lalu. Resistensi ini berangkat dari asumsi bahwa ada yang salah dengan system kapitalisme. Kapitalisme bukanlah produk alamiah yang terjadi begitu saja. Tidak perlu berdebat panjang lebar tentang definisi dan konsep kapitalisme. Marilah sejenak berhenti dan merenung untuk sebuah Pertanyaan, yakni, apakah kapitalisme adil dan rasional bagi umat manusia?
Perlu kiranya untuk mengklarifikasi pemahaman yang keliru tentang perbedaan antara pasar dan kapitalisme. Penjelasan akan hal ini sangat penting mengingat banyaknya pendapat yang menyatakan bahwa penghancuran kapitalisme juga berarti ketiadaan sarana ekonomi. Pola pikir ini, tentu saja sangat dangkal dan tidak rasional. Substansi dan relasi ekonomi sebenarnya telah eksis jauh sebelum system kapitalisme lahir. Perkembangan masyarakat secara histories, memperlihatkan adanya interaksi dan aktifitas ekonomi yang ternyata tidak mengandung prinsip-prinsip dasar kapitalisme. Kerancuan yang sering hadir yaitu persepsi yang memvonis bahwa pasar sama dengan kapitalisme. Padahal kalau dianalisis lebih dalam, eksistensi pasar dulu berpijak diatas hubungan mutual dan kerjasama yang saling menguntungkan. Lebih lanjut mode produksinyapun berangkat dari prinsip subsisten, yaitu model produksi hanya untuk memenuhi kebutuhan saja tanpa upaya mengakumulasi laba. Sedangkan corak kapitalisme meniscayakan orientasi profit. Oleh karena itu pasar dan produksi subsisten dengan hubungan ekonomi yang berbeda telah ada dalam setiap tahap perkembangan masyarakat. Atau dengan kata lain kapitalisme tidaklah sama dengan pasar. Kapitalisme tentu saja masyarakat pasar, sebaliknya pasar dapat ditemukan dalam bentuk dan konsep yang sangat berbeda dengan konsep pasar kapitalisme!
Gerakan anti-kapitalisme adalah proyek besar yang dilakukan oleh banyak pihak. Secara umum ada 2 watak gerakan, yaitu kelompok yang berwatak reformis dan kelompok yang berwatak radikal. Kubu reformis melihat perlawanan terhadap kapitalisme adalah dengan cara mengontrol laju kapitalisme secara ketat, misalnya dalam regulasi kebijakan. Sedangkan kubu radikal, meyakini bahwa penghancuran total kapitalisme adalah satu-satunya cara untuk membangun kehidupan yang lebih manusiawi. Perjuangan melawan kapitalisme sangat bersandar pada keputusan individu untuk mulai merekontruksi pola pikir dan spiritualitas. Kapitalisme eksis karena ia mengontrol pemikiran hingga jiwa manusia. Dengan demikian perang terbesar adalah perang spiritual, suatu pertempuran untuk menaklukan diri sendiri. Setiap zaman akan selalu merindukan generasi yang mampu berkata tidak. Suatu generasi yang secara mandiri menentukan kehidupannya sendiri serta memberontak untuk terus hidup dibawah obsesi orang lain. Di jalur lain gerakan sosial juga sangat tergantung pada langkah-langkah politik dengan gerakan massa dan perorganisiran sebagai basis kekuatannya. Pendampingan terhadap masalah-masalah strategis rakyak miskin sangat signifikan dalam meningkatkan oposisi dan kesadaran politik radikal. Disamping tentu saja berupaya ikut memenangkan kasus-kasus rakyat.

Revolusi bukanlah utopia. Tapi revolusi dapat tegak dalam tindakan keseharian kita. Mungkin anda adalah salah seorang yang muak dengan baliho atau billboard iklan, individu yang benci ke mall dan televisi, seorang yang tak ingin menjual skillnya untuk korporasi dan lebih suka membantu orang tanpa bayaran sepeserpun, mungkin anda adalah bagian dari kelompok yang mengorganisir sekolah alternative atau secara iseng membuat graffiti,atau juga lebih memilih membuat kaos sendiri (lengkap dengan pesan “fuck Bush!, McD.: fast food, fast die!) daripada beragaya dengan planet surf dan sejenisnya, serta aktifitas untuk kemenangan-kemenangan kecil lainnya. Solidaritas, kolektifitas dan belas kasih terhadap yang lemah akan jadi senjata lain dari pertempuran panjang melawan kapitalisme berikut kaki tangannya. Dunia yang lain itu mungkin. Dan yang paling penting kita tidak sendiri.

tulisan ini pernah dibuat di tabloid catatan kaki ukpm-uh

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resume Buku Teori Budaya, karya David Kaplan dan Robert Manners

Antropologi “ metodologi dan pokok soal dalam penyusunan teori” Pada pembahasan awal Buku karya Kaplan dan Manners yang bertajuk teori budaya ( the teory of culture ) mengetengahkan masalah mendasar Antropologi sebagai suatu bidang pengetahuan yang mendisiplinkan diri dalam kaidah ketat epistemology,   pada akhir abad sem bilan belas. Menurut keduanya, pokok –pokok problem yang diperhatikan Antropolog dapat diringkas menjadi dua pertanyaan besar yang saling terkait, yaitu   pertama, bagaimanakah berkerjanya berbagai system budaya yang berbeda-beda? kedua, bagaimanakah sistem-sistem budaya yang beraneka ragam itu   mendapat tempat seperti saat ini? (Kaplan &Manners hal 2)                 Problem mendasar dalam uraian akademis yang dikemukakan oleh Kaplan dan Manners tersebut,   merujuk pada pemahaman mengenai perbedaaan   pada setiap budaya, baik dari segi ruang maupun waktu, dimana semua budaya sama. Sehingga keduanya beranggapan memungkinkan disiplin Antropologi t

Resensi: Simulasi dan Hiperrealitas dalam film SIMONE

   Ciri khusus genre film sains fiksi Holywood kerap kali mengetengahkan ide tentang keunguulan komputerisasi sebagai satu-satunya instrument penting industri film Amerika serikat dewasa ini. Ilustrasi dimensi ruang dan waktu dalam virtualisasi kapsul digital menjadi penanda dimulainya  era digitaliasi sebagai tema mainstrim performativitas film Holywood, setidaknya 10 tahun belakangan.       Dari sekian banyak film bergendre sains fiksi, salah satu yang masuk kategori film favorit-ku tahun 2011 jatuh pada SIMONE. Film besutan sutradara Anderew Nicola yang dibintangi aktor Alpacino ini, sempat direkomendasikan oleh ketua prodi Kajian Budaya dan Media, Prof. Heru Nugroho sebagai salah satu dari sekian banyak tugas mata kuliah teori kritis dan posmodernisme.       Sekedar catatan, melalui film ini setidaknya kita diajak berkenalan dengan sejumlah teori postmodernisme. Lewat Simone memungkinkan siapa saja bisa mengenaliasis fenomena  digitaliasi masyarakat kontemporer.  Ter

Menjadi Abnormal

#Tulisan lawas- Juli 2009     P erkembangan teknologi informasi memungkinkan siapa saja terlibat aktif menjalin hubungan dengan siapapun dan dimanapun. Perangkat jejaring sosial   yang akhir-akhir ini digandrungi hampir semua kalangan, menjadi petanda bahwa teknologi informasi dan komunikasi adalah salah satu instrument penting dalam   prasayarat pergaulan sosial. Meskipun stigma ini belum menjadi dasar   pembenaran.    Berbicara soal peluang dan kesempatan terkait situs jajaring sosial. Saya punya pengalaman unik, aneh dan mungkin bisa dibilang berlebihan. Kejadian ini bermula ketika   sebagian   teman-teman kampus   jadi pengguna aktif friendster salah satu situs jejaring sosial. Awalnya,   Jamil kerabat saya se-kampus dan juga se-kampung meperkenalakan mesin ini. Dari dialah cerita kecanggihan friendster yang katanya sanggup membuka akses komunikasi virtual dengan siapa saja dari pelosok dunia, terpaksa   saya mengharuskanya membuatkan accout di situs itu.      Sebena