Langsung ke konten utama

Catatan yang tercecer: Mitos Indonesia Merdeka: Agenda Pemiskinan Tanpa Jedah

Bagi seorang yang berusia 64 tahun pahit getir kehidupan tentu sudah termatangkan. Romantisme masa muda kini tinggal kenangan. Tak jarang disetiap moment bersejarah tak luput diabdikan sebagai bukti eksitensi keberadaaan kita. Manusia selalu berusaha memberi kenagan bagi dirinya. Potret buram maupun sketsa gemilang dan jejak prestasi terus diupayakn untuk diabadikan. Wajar, usia manusia diberi jedah untuk bertahan di kolong bumi ini.
Belum lagi penada usia semakin mencolok. Secara fisik daya cangkau mata mulai mengabur. Rambut mulai beruban dan paras wajah menampakan keriputan. Daya tahan tubuh mulai rentan terhadap lingkungan. Sebuah penanda kalau usia kita tidak lagi mudah. Tetapi belum tentu mereka rentah. Daya pikir mereka masih optimal dan tak jarang masih kita temukan karya-karya besar mereka digoreskan saat usia mulai senja itu.Mari kita bandingkan dengan orang-orang yang ada disekitar kita yang tahun kelahiranya samA dengan tahun Indonesia diproklamirkan. Pasti kondisinya berbeda-beda tergantung bagamana meperlakukan hidup saat usia muda dulu. Bukankah pikiran dan tindak laku kita mencerminkan apa yang kita konsumisi? Mekipun saya cenderung deterministik menggenalisir fakta tersebut. Perlu saya kemukakan tulisan ini tidak membahas bagaimana usia yang tua itu meperlakukan hidup. Tapi saya hanya berusaha membandingkan Indonesia hari ini di pucuk usianya yang tidak akan berhenti hingga Negara ini berakhir tanpa memberikan rasa adil bagi rakyatnya.
Peringatan kemerdekaan Indonesia ke-64 di tahun 2009 ini tergolong istimewa.Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya kegiatan ceremonial selalu terfokus di pusat ibu kota. Tapi kali ini dapat kita saksikan dibeberapa daerah merayakan hari jadi (saya lebih suka menggunakan diksi harijadi/milad ketimbang hari kemerdekaan) RI dengan cara yang unik. Bahkan ada sebagian orang terlampau euforia dan sedikit berbangga diri, saat pemerintah berhasil menggelar event bertaraf internasional, benarkah demikian?

Prestasi Ditengah Kekhawatiran Bangsa :Sail Bunaken Promosi Ekspoitasi sumber kekeyaan laut Kwanua

Tahun ini peringngtan milad 64 tahun Indonesia diprokalmirkan bertepatan dengan pelaksanan Sail Bunakan. Kegiatan yang menguras anggaran ini diaggap sebagai peratasi dengan memperkenalkan ke pada dunia bahwa kekayaan laut indoneia pantas diakui dunia internasional sebagai Negara terkaya pada sector maritime. Dalam Sail Bunaken ditampilkan parade kapal perang terbaik se-dunia (fleet review), lintas layar (sail pass), kapal layar tiang tinggi (tall ship), yacht rally Darwin (Australia) ke Manado, lintas terbang (fly pass), kirab kota, dan bakti sosial serta tidak keinggalan 50 kapal perang asing dari berbagai negara di dunia, ikut meramaikan 'Sail Bunaken', di Kota Manado, 12-20 Agustus 2009 Beberapa agenda di festival ini diadakan dengan melibatkan banyak pihak termasuk Negara asing seperi USA yang berhasil mendatangkan kapal induk USS George Washington. Kapal perang yang berhasil melululantahkan Irak dan Afganistan turut ambil bangian. Sehari sebulum hari H rekor dunia berhasil digaet Indonesia dalam event penyelaman terbanyak sekitar 2850 orang didasar laut manado. Pihak Guinnes World of Record mencatat keberhasilan ini. Disinilah katanya prestasi itu ditorehkan. Dan dunia mengabadiakan peristiwa unik ini.
Tidak hanya itu, keesokan harinya tepatnya 17 Agustus satu kegiatan unik dan aneh itu berlanjut. Yaitu upacara pengibaran bendera Merah putih dari dasar laut. Sebanyak 2.827 orang ikut serta dalam pemecahan rekor dunia upacara bawah air di Pantai Malalayang, Manado, dalam rangka peringatan detik-detik proklamasi HUT Kemerdekaan RI ke 64. Dan lagi-lagi dunia telah mencatanya sebagai prestasi terunik. Sejumlah stasion televisi mengabadiakan moment penting ini. Sekaligus menunjukan bahwah mereka pulalah yang mampu menyangkan secara langsung dari tempat pelaksanaan tersebut. Dan tentunya berdampak positif serta menguntung sejumlah media sekaligus menaikan pamornya.
Di tempat terpisah sejumlah daerah peringtan hari jadi RI ini dirayakan dengan cara yang berbeda-beda. Seperti ekspedisi gunung Bromo, pengibaran bendera merah putih yang ditorehkan di teping pegunungan Enrekang Sulsel, hingga penancapan merah putih di puncak Evrest Himalaya. Semua kegiatan ini dianggap preatasi bila terlaksana sesuai yang direncanakan.
Namun kiranya di usia Indonesia yang tergolong mulai menua ini patutnya kita mengedepankan otokritik dan mencoba merefleksi sekaligus membuka mata kita bahwa sesungguhnya kita belum merdeka!! Pertanyaan selanjutnya adalah pantaskah kita merayakan prestasi ini disaat kondisi Indonesia kian terpuruk?
Berbicara soal prestasi, hingga usia yang beranjak menua ini sudah pantasnya Guinnes World of Record mencatat perstasi hebat inidonesia. Diantaranya pelanggaran HAM terparah sejak dua dekade, penggusuran pemukiman miskin, perampasan kekeyaan alam oleh pihak asing, dan sulitnya akses pendidikan dasar/ tinggi. Semuanya adalah preatasi Indonesia yang pantas dicatat di Gunnes World of record karena masuk kategori terunik bukan? Inilah prestasi yang ditorehkan pemerintah..Saat ini Indonesia dan seluruh hak kekayaaan alamnya tidak lagi sepenuhnya dimiliki oleh rakyat Indonesia. Saat tanah milik petani dicaplok oleh manusia serakah bergantong tebal dibalik nama pemerintah, saat petani Takalar sejak puluhan tahun diteror aparat keamanan demi lahan pertanian mereka yang saat ini dikuasai Negara, kenaikan BBM yang berdampak pada matinya usaha sector kecil. Ditambah lagi PT Lapindo Brantas empunya menteri Kesejahtran rakyat Abdurizal bakri meneggelamkan ratusan rumah dan berhasil memiskinkan warga Porong tanpa ganti rugi yang adil. Mentri kesehtraankah dia? Alih-alih memberi petaka lahir batin yang tak kunjung berakhir. Begitupun di bidang pendidikan. Kita tentunya ingat kata-kata Ki hajar Dewantoro bahawa pendidikan adalah uapaya “memanusiakan manusia” kini semakin jauh dari makna filosofis tersebut. saat UUBHP diterapkan biaya pendidikan melangit maka jangan harap anak petani, nelayan dan buruh miskin mendapat kesempatan duduk di perguruan tinggi. Itu mustahil!

Inilah potret kelabu negeri ini di usianya yang ke 64. Pantaskah kita merdeka? Sekali lagi, merdeka 100 pesen hanylah mimpi dising bolong. Berikut catatan hitam pemerintah memberi petaka lahir batin sebuah kondisi yang kotras disaat usia negeri ini beranjak menua.selanjutkan melalui tulisan ini saya sekedar berbagi kaluh-kesah, bahwa perstasi yang ditorehkan di ajang intenasional Sail Bunaken hanyalah sebuah upaya promosi hasil kekayaan laut kepada investor asing yang tidak lama lagi menguasai sumber daya hasil laut di bumi nyiur melambai itu.

Prestasi dalam bingkai pemiskinan

Awal 2005 pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-M. Jusuf Kalla, menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) sebesar 40 persen dari harga sekarang. Kenaikan harga sebesar itu, demikian tutur Aburizal Bakrie, menteri koordinator ekonomi keuangan dan industri (Ekuin) yang juga seorang pemilik konglomerasi Bakrie Group, sudah tak terhindarkan.

Menurut perhitungan kementriannya, kenaikan harga minyak itu disebabkan oleh besaran subsidi yang tak bisa lagi ditanggung oleh APBN. Terlebih setelah harga minyak di pasaran internasional melonjak di atas angka US$50 per barel, beban subsidi semakin bertambah berat. Sebelum terjadi lonjakan harga minyak, subsidi BBM mencapai angka Rp. 75 triliun per tahun, dan setelah terjadi lonjakan menjadi sebesar Rp. 100 triliun (Kompas, 2/11/2004).

Tetapi, ada alasan lain di balik penghapusan subsidi BBM ini. Sebuah alasan yang telah menjadi klasik yakni, subsidi yang diberikan selama ini telah salah sasaran. Bakrie berargumen, seharusnya subsidi tersebut diberikan kepada rakyat miskin, eeh tak dinyana malah jatuh ke tangan kelompok kaya. Saya tak tahu apakah kelompok kaya yang dimaksud adalah juga dirinya dan kelompok usahanya.

Namun demikian, untuk menghindari terjadinya gejolak di masyarakat, Bakrie kembali mengeluarkan jurus yang juga telah menjadi klasik. "Subsidi yang diberikan akan dipindahkan dari subsidi BBM yang dinikmati mereka yang kaya kepada masyarakat miskin langsung dalam bentuk pendidikan dan kesehatan," (Kompas, 2/12/2004). Strategi lain untuk meredam gejolak di masyarakat adalah menunggu datangnya musim panen tiba, "agar masyarakat dapat menyerap kenaikan itu..."

Wakil presiden M. Jusuf Kalla, yang juga pemilik konglomerasi NV Haji Kalla Group, lebih berani pasang badan menghadapi gejolak dalam masyarakat, ketimbang Bakrie. Watak orang Bugis yang terkenal keras tampak menonjol pada diri wapres ini. Menurut Kalla, jika rakyat khawatir dengan kenaikan harga BBM, pemerintah juga khawatir jika harga BBM tidak naik. "Pasalnya," demikian Kalla, "jika tak menaikkan harga bahan bakar minyak, pemerintah lebih khawatir tak punya uang untuk melayani masyarakat," (Kompas, 1/12/2004). Berhadapan dengan "dilema" ini, menurut Kalla, pemerintah memilih untuk menaikkan harga BBM dan dengan demikian siap menanggung resiko adanya gejolak sosial dalam masyarakat. "Bagaimana kita punya opsi lain kalau kita beli Rp. 10 harus dijual Rp. 5. kalau sudah begitu tidak ada pilihan lain, harus naikkan harga," Kalla menegaskan.

Tapi, buru-buru Kalla menambahkan, untuk mencegah berulangnya "dilema" ini, pemerintah menganjurkan pada rakyat untuk menjadikan gas sebagai alternatif pengganti BBM. Ini karena gas lebih murah harganya dibandingkan dengan harga BBM yang fluktuasinya semakin sulit diperkirakan.

Program Pendidikan yang jauh dari rasa keadilan

Sekarang anda bisa membayangkan Indonesia yang memiliki 222.781.000 Jiwa (BPS, 2005), dengan angkatan sekolah di seluruh Indonesia sekitar 38,5 juta anak usia SD 6-12 tahun, 25,6 juta dan usia SMP 13-15 tahun, 12,8 juta (Kompas, 26/2/05), dan rata-rata tingkat partisipasi di pendidikan tinggi sekitar 14% dari jumlah penduduk usia 19–24 tahun. Dari data kuantitatif yang sifatnya sekunder itu kita bisa melihat betapa rendahnya tingkat pendidikan rakyat Indonesia, jika ditotal dari semua penduduk yang menghuni di negeri ini.
Sementara itu dilain pihak, hubungan antara Industri pendidikan dengan dunia usaha kian mesra saja. Produsen-produsen teknologi informasi, piranti lunak komputer dan alat-alat elektronik, Perusahaan-perusahaan media cetak (termasuk buku untuk bahan ajar), maupun produk makanan dan minuman turut andil dalam membangun kapling diatas hubungan barang dagangan semata kedalam bagian sistem pendidikan nasional.
Denyut nadi dunia pendidikan nasional saat ini semakin tidak stabil alias carut marut dengan niat Rezim boneka Imperialis yang akan mengesahkan UU BHP, karena nilai-nilai yang berkembang dalam prakteknya nanti hanyalah berorientasi penumpukan modal dan pengembangan modal yang akan di pertahankan mati-matian sebagai filosofinya. Disitulah bisa kita bayangkan pada masa yang akan datang melihat kenyataan kongkrit bahwa sesungguhnya wajah dunia pendidikan nasional di era globalisasi dengan pasar bebasnya yang meminggirkan nilai kemanusian yang hakiki tentu saja jauh dari nilai dan falsafah kerakyatan.
Sekali lagi kita tidak bisa menutup mata bahwa atas fakta yang menunjukkan bahwa angka kemiskinan dan penganguran mencapai lebih kurang 40 Juta Jiwa, sebuah angka yang cukup fenomenal, kondisi itu berpeluang memunculkan kebodohan. Betapa tidak, saat ini biaya pendidikan di Indonesia tidak pernah gratis alias sangat mahal dan otomatis semakin memberatkan beban hidup rakyat Indonesia yang mayoritas berpendapatan rata-rata 900 ribu/bulan.
Ini baru sebagian kecil Kado hari jadi RI ke 64, prestasi pemerintah SBY yang sebentar lagi melanjutkan pemerintahan bersama boneka imprealisnya merayakan kemenagan.Bersiplah menghadipi petaka tanpa jedah ini. BY LINE: ALLAN NUR.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resume Buku Teori Budaya, karya David Kaplan dan Robert Manners

Antropologi “ metodologi dan pokok soal dalam penyusunan teori” Pada pembahasan awal Buku karya Kaplan dan Manners yang bertajuk teori budaya ( the teory of culture ) mengetengahkan masalah mendasar Antropologi sebagai suatu bidang pengetahuan yang mendisiplinkan diri dalam kaidah ketat epistemology,   pada akhir abad sem bilan belas. Menurut keduanya, pokok –pokok problem yang diperhatikan Antropolog dapat diringkas menjadi dua pertanyaan besar yang saling terkait, yaitu   pertama, bagaimanakah berkerjanya berbagai system budaya yang berbeda-beda? kedua, bagaimanakah sistem-sistem budaya yang beraneka ragam itu   mendapat tempat seperti saat ini? (Kaplan &Manners hal 2)                 Problem mendasar dalam uraian akademis yang dikemukakan oleh Kaplan dan Manners tersebut,   merujuk pada pemahaman mengenai perbedaaan   pada setiap budaya, baik dari segi ruang maupun waktu, dimana semua budaya sama. Sehingga keduanya beranggapan memungkinkan disiplin Antropologi t

Resensi: Simulasi dan Hiperrealitas dalam film SIMONE

   Ciri khusus genre film sains fiksi Holywood kerap kali mengetengahkan ide tentang keunguulan komputerisasi sebagai satu-satunya instrument penting industri film Amerika serikat dewasa ini. Ilustrasi dimensi ruang dan waktu dalam virtualisasi kapsul digital menjadi penanda dimulainya  era digitaliasi sebagai tema mainstrim performativitas film Holywood, setidaknya 10 tahun belakangan.       Dari sekian banyak film bergendre sains fiksi, salah satu yang masuk kategori film favorit-ku tahun 2011 jatuh pada SIMONE. Film besutan sutradara Anderew Nicola yang dibintangi aktor Alpacino ini, sempat direkomendasikan oleh ketua prodi Kajian Budaya dan Media, Prof. Heru Nugroho sebagai salah satu dari sekian banyak tugas mata kuliah teori kritis dan posmodernisme.       Sekedar catatan, melalui film ini setidaknya kita diajak berkenalan dengan sejumlah teori postmodernisme. Lewat Simone memungkinkan siapa saja bisa mengenaliasis fenomena  digitaliasi masyarakat kontemporer.  Ter

Menjadi Abnormal

#Tulisan lawas- Juli 2009     P erkembangan teknologi informasi memungkinkan siapa saja terlibat aktif menjalin hubungan dengan siapapun dan dimanapun. Perangkat jejaring sosial   yang akhir-akhir ini digandrungi hampir semua kalangan, menjadi petanda bahwa teknologi informasi dan komunikasi adalah salah satu instrument penting dalam   prasayarat pergaulan sosial. Meskipun stigma ini belum menjadi dasar   pembenaran.    Berbicara soal peluang dan kesempatan terkait situs jajaring sosial. Saya punya pengalaman unik, aneh dan mungkin bisa dibilang berlebihan. Kejadian ini bermula ketika   sebagian   teman-teman kampus   jadi pengguna aktif friendster salah satu situs jejaring sosial. Awalnya,   Jamil kerabat saya se-kampus dan juga se-kampung meperkenalakan mesin ini. Dari dialah cerita kecanggihan friendster yang katanya sanggup membuka akses komunikasi virtual dengan siapa saja dari pelosok dunia, terpaksa   saya mengharuskanya membuatkan accout di situs itu.      Sebena