Pada bagian
pertama dari bab ini, penulis (Daniel
Dhakidae) mencoba mengintrodusir
ekspresi kekuasaan melalui bahasa dengan menelaah perangkat bahasa
seperti akronim, eufemisme dan dsfemisme. Bagi penulis dngan memerikasa perangkat
bahasa ini ia ingin menunjukan betapa rezim orde baru telah memaminkan peran strategis
bahasa yang signifikan demi menancapkan dan mempertahankan kekuasaanya .
Dengan mengunakan konsep pemikiran filsuf
Michel Foucault penulis melihat bahwa kekuasaan itu beroprasi dengan mengunakan
teknologi bahasa dari starta yang paling tinggi hingga yang paling rendah.
Misalnya ketika penulis memasukan kasus akronim SDSB (sumbangan dana sosial
berhadia) yang diplitir menjadi (Suharto Dalang Bencana) oleh direktur yayasan
pijar. Namun belakangan terkuak fakta bahwa SDSB tidak lebih dari judi.
Pemerintah berdiri berseberangan dengan masyarakat. Pemerintah berdalih
sumbangan itu adalah murni untuk bantuan sosial.
Kuasa negara juga terlihat dalam kontrol
terhadap bahasa. Contohnya label PKI yang begitu mudah menyudutkan seseorang ke
dalam stigma ekstra-negatif. Ketika Marsinah mengorganisasi gerakan buruh di
tahun 1993, dia dituduh PKI. Ini sesuatu yang sulit diterima akal: bagaimana
seorang yang baru berusia 20 tahun dan lahir jauh sesudah tragedi pembantaian
PKI dituduh demikian? Ini yang disebut dengan disfemisme, ketika label PKI
menjelma reifikasi entitas tersendiri yang lebih nyata dari kenyataan itu
sendiri.
Sebatas Kritik
Melalui tulisan tersebut, saya menilai
penulis ( Daniel Dhakidae) selain berhasil memetakan secara geneologis
pengunaan wacana kebahasaan seperti disebutkan diatas. Namun jika ditelisik lebih jauh lagi pada konteks
pra kemerdekaan, sebenarnya telah ada model- model ekspresi kekuasaan melalui
bahasa itu ditampilkan, bahwa apa yang dilakukan Belanda merupakan fase pertama
pembangunan kekuasaan yang melibatkan perangkat kebahasaannya. inilah sebabnya
kenapa para cendekiawan terdahulu cenderung tidak mengunakan bahasa daerah (Jawa)
dalam aktivis politik? Justru memilih mengunakan bahasa dan grammar Belanda.
Dengan inilah selanjutnya Soekarno menciptakan bahasa-bahasa sebagai mantra merawat kekekalan jabatanya.
Sampai pada pertanyaan, mengapa Habibie,
Megawati dan Gusdur tidak begitu lama penjabat ? Karena ketiga mantan presiden
ini tidak menguasai ‘bahasa luhur politik. Mereka lebih asyik bermain dengan hard system berupa permainan bidak catur
politik yang sigap menunggu diskak mati, tetapi lalai membidik bahasa sebagai system
tanda pembentuk landasan kekuasaan. Begitupula yang terjadi dengan SBY, lebih
asyik bermain dengan bahasa pencitraanya. Apa yang dilakukan tidak lebih sama
dengan orde baru. Hanya SBY lebih mengutamakan diluar substanasi. Berbeda
dengan Suharto seperti yang diulas oleh penulis. Lalu pertanyaan krtik bagi
penulis yaitu, siapakah yang menjadi
wasit dalam permainan kekuasaan bahasa? Apakah harus diletakan dipundak para
cendekiawan yang sudah tenttu memiliki pengetahuan? Sementara pengetahuan anak kandung kekuasaan,
tak sedikit dari mereka berhasil menjadian pegetahuan sebagai jalan masuk untuk
kekuasaan politik? Saya terlanjur pesimis meskipun kehadiran majalah Prisma
yang digawangi para intelektual berhasil eksis di tengah gejolak kekuasaan
disinyalir untuk mngacouter wacana otoritarian orba, tetap saja Prisma sebatas sublimasi kelas menengah baru yang
terbelenggu dibawa tiran Orba.[].
Komentar
Posting Komentar