Langsung ke konten utama

Review Buku: Media , Bahasa dan Neo-fasisme Orba karya Daniel Dhakidae (Tulisan Lawas, 2011)




Pada bagian pertama dari bab ini, penulis  (Daniel Dhakidae) mencoba mengintrodusir  ekspresi kekuasaan melalui bahasa dengan menelaah perangkat bahasa seperti akronim, eufemisme dan dsfemisme. Bagi penulis dngan memerikasa perangkat bahasa ini ia ingin menunjukan betapa rezim orde baru telah memaminkan peran strategis bahasa yang signifikan demi menancapkan dan mempertahankan kekuasaanya .
    Dengan mengunakan konsep pemikiran filsuf Michel Foucault penulis melihat bahwa kekuasaan itu beroprasi dengan mengunakan teknologi bahasa dari starta yang paling tinggi hingga yang paling rendah. Misalnya ketika penulis memasukan kasus akronim SDSB (sumbangan dana sosial berhadia) yang diplitir menjadi (Suharto Dalang Bencana) oleh direktur yayasan pijar. Namun belakangan terkuak fakta bahwa SDSB tidak lebih dari judi. Pemerintah berdiri berseberangan dengan masyarakat. Pemerintah berdalih sumbangan itu adalah murni untuk bantuan sosial.
      Kuasa negara juga terlihat dalam kontrol terhadap bahasa. Contohnya label PKI yang begitu mudah menyudutkan seseorang ke dalam stigma ekstra-negatif. Ketika Marsinah mengorganisasi gerakan buruh di tahun 1993, dia dituduh PKI. Ini sesuatu yang sulit diterima akal: bagaimana seorang yang baru berusia 20 tahun dan lahir jauh sesudah tragedi pembantaian PKI dituduh demikian? Ini yang disebut dengan disfemisme, ketika label PKI menjelma reifikasi entitas tersendiri yang lebih nyata dari kenyataan itu sendiri.
Sebatas Kritik
      Melalui tulisan tersebut, saya menilai penulis ( Daniel Dhakidae) selain berhasil memetakan secara geneologis pengunaan wacana kebahasaan seperti disebutkan diatas. Namun  jika ditelisik lebih jauh lagi pada konteks pra kemerdekaan, sebenarnya telah ada model- model ekspresi kekuasaan melalui bahasa itu ditampilkan, bahwa apa yang dilakukan Belanda merupakan fase pertama pembangunan kekuasaan yang melibatkan perangkat kebahasaannya. inilah sebabnya kenapa para cendekiawan terdahulu cenderung tidak mengunakan bahasa daerah (Jawa) dalam aktivis politik? Justru memilih mengunakan bahasa dan grammar Belanda. Dengan inilah selanjutnya Soekarno menciptakan bahasa-bahasa sebagai mantra merawat kekekalan jabatanya.
     Sampai pada pertanyaan, mengapa Habibie, Megawati dan Gusdur tidak begitu lama penjabat ? Karena ketiga mantan presiden ini tidak menguasai ‘bahasa luhur politik. Mereka lebih asyik bermain dengan  hard system berupa permainan bidak catur politik yang sigap menunggu diskak mati, tetapi lalai membidik bahasa sebagai system tanda pembentuk landasan kekuasaan. Begitupula yang terjadi dengan SBY, lebih asyik bermain dengan bahasa pencitraanya. Apa yang dilakukan tidak lebih sama dengan orde baru. Hanya SBY lebih mengutamakan diluar substanasi. Berbeda dengan Suharto seperti yang diulas oleh penulis. Lalu pertanyaan krtik bagi penulis yaitu, siapakah yang menjadi wasit dalam permainan kekuasaan bahasa? Apakah harus diletakan dipundak para cendekiawan yang sudah tenttu memiliki pengetahuan?  Sementara pengetahuan anak kandung kekuasaan, tak sedikit dari mereka berhasil menjadian pegetahuan sebagai jalan masuk untuk kekuasaan politik? Saya terlanjur pesimis meskipun kehadiran majalah Prisma yang digawangi para intelektual berhasil eksis di tengah gejolak kekuasaan disinyalir untuk mngacouter wacana otoritarian orba,  tetap saja Prisma  sebatas sublimasi kelas menengah baru yang terbelenggu dibawa tiran Orba.[].

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resume Buku Teori Budaya, karya David Kaplan dan Robert Manners

Antropologi “ metodologi dan pokok soal dalam penyusunan teori” Pada pembahasan awal Buku karya Kaplan dan Manners yang bertajuk teori budaya ( the teory of culture ) mengetengahkan masalah mendasar Antropologi sebagai suatu bidang pengetahuan yang mendisiplinkan diri dalam kaidah ketat epistemology,   pada akhir abad sem bilan belas. Menurut keduanya, pokok –pokok problem yang diperhatikan Antropolog dapat diringkas menjadi dua pertanyaan besar yang saling terkait, yaitu   pertama, bagaimanakah berkerjanya berbagai system budaya yang berbeda-beda? kedua, bagaimanakah sistem-sistem budaya yang beraneka ragam itu   mendapat tempat seperti saat ini? (Kaplan &Manners hal 2)                 Problem mendasar dalam uraian akademis yang dikemukakan oleh Kaplan dan Manners tersebut,   merujuk pada pemahaman mengenai perbedaaan   pada setiap budaya, baik dari segi ruang maupun...

TOMANURUNG

Bermula pada suatu petang di ruang redaksi, perdebatan itu mulai menderu. Beberapa pendapat mengemuka. Adu argument cukup menghangatkan suasana gerimis kala itu. Tidak seperti biasa ruangan 10 x 10 meter itu berubah menajdi panggung debat. Masing-masing diantara kita(wartawan) mencoba berskpekulasi tentang siapa sosok tumanrung yang diyakini sebagai manusia titisan dewa turun dari kayangan sebagai penyelamat umat yang diterba maslah. Tak ayal sosok ini dinobatkan sebagai raja gowa pertama pada dekade 1300-an. Singkat cerita akhirnya mitos tumanurung ini menajdi catatan penting diatas meja redakasi. Meski gerimis usai berulah,tetap saja suara debat kami masing mengema menebus malam yang kian berjarak itu. Beberapa legenda tentang kehadiran sosok agung yang digambarkan sebagai ratu adil pembawa bahtera kedamain bagi suatu kaum memilki beragam kisah.Tidak hanya itu, setiap jalinan kisah senantiasa meninggalkan tafsiran dari beragam versi. Tak ayal banyak budayawan berpendapat, sejarah ...

LONTARA MAKASSAR

Penemuan tulisan adalah sebuah prestasi pencapaian kebudayaan yang tinggi dalam sejarah peradaban umat manusia (Coulmas 1984:4) Tulisan merupakan manifestasi kebudayaan tertinggi manusia. Seperti wujud kebudayaan lainnya, tulisan melampaui kuasa zaman sebagai atribut penting bagi entitas suatu bangsa. Segenap pemikiran dan kreatifitas peninggalan manusia dapat terawat utuh pada memori sejarah berkat dorongan yang kuat dari dalam diri sang penciptanya untuk mengabadikan hasil-hasil pemikiran mereka, yang akhirnya dikenang setiap saat ataupun diwariskan ke generasi keturunannya. Tulisan lahir dari sebuah aksara kemudian dirumpun dan melahirkan sebuah bahasa yang memiliki makna tentang apa yang dituliskan para penulisnya. Namun, dari ratusan bahasa daerah yang tersebar dari Sabang sampai Marauke, tidak semuanya memiliki aksara untuk merekam nilai-nilai budaya yang ada di dalam masyarakat pemilik bahasa itu. Beruntunglah Suku Makassar mampu mempertahankan warisan budaya literal tersebut. S...