Setalah sekian kali tertunda semenjak enam bulan berada di Yogyakarta, baru pada awal Februari 2012 ini, saya berkesempatan mengunjungi Candi Prambanan. Entah sudah berapa kali saya merencanakan, namun seringkali pula urung dieksekusi. Padahal soal jarak tempuh tidak terlampau jauh. Kurang lebih sekitar tiga puluh lima menit jika mengambil pilihan mengunakan roda dua dari Yogya menuju ke timur arah Solo hingga di perbatasan antara Yogyakarta dan Surakarta, dimana kompleks candi Hindu itu “membeku” selama beradab-abad.
Salah satu tempat tujuan wisata yang masuk daftar tiga besar tempat wajib ‘segera’ dikunjungi dalam catatan-ku selama di kota ini akhirnya tercapai. Namun, pengertian ‘segera’ disini sudah tidak berlaku lagi. Meningat rentang waktu untuk itu sudah tidak memungkinkan- bagi pribadi yang doyan menunda-nunda waktu- kayak saya ini. Belum lagi, dalam catatan-ku urutan papan atas tempat wisata nomor wahid seperti candi Borobudur di Magelang nyatanya belum juga didatangi. Beruntung Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat telah dicentangi, tanda tempat tersebut sudah dijambani tempo hari silam.
Bersama kawan Hasbi, mantan pengurus Unit Kegiatan Pers Mahasiwa Unhas, saya melaju dilintasan jalan Solo pukul Sembilan pagi. Sengaja saya bergegas mengambil waktu sebelum pukul 12 siang. Karena dapat diprediksi cuaca panas pada hari itu bisa menyulitkan pengunjung candi yang tidak terbiasa mendamaikan diri dari terik matahari. Sebagaimana juga saya dan Hasbi kala itu.
Motor Supra hitam produksi tahun 2002 yang dikemudi Hasbi tiba di luar kompleks candi. Seluruh arealnya dikelilingi pagar berornamen menyerupai stupa. Dari jarak jauh, nampak candi Siwa dalam kompleks Prambanan- kokoh menjulang memikat mata pengunjung, meski hanya dilirik dari luar. Selebihnya kami sempat kebingungan mencari pintu masuk. Beruntung, pihak pengelola telah menandai arah menuju pintu masuk di bagian paling timur, sehingga tidak begitu menyulitkan wisatawan flamboyan seperti kami harus didera kebingungan. Usai merapatkan kendaraan di tempat parkir, saya sempat dikejutkan dengan melambungnya tarif parkir kendaraan roda dua. Tak tanggung-tanggung 3000., rupiah harus rela mampir dikantong petugas parkir parlente, berpakain stelan mini jas itu. Dalam benak, saya bergumam untuk tarif parkir saja sudah setara dengan satu mangkok Burjo. Lalu bagaimana dengan bea masuk Parambanan, cetus ku sewot.
Bergegas kami mengikuti serombongan wistawan domsetik menuju loket tiket yang tidak jauh dari lokasi parkir. Berlahan langka kami mulai melambat. Dan akhirnya ‘membatu’ terdiam seketika sambil bengong, menatap penuh takjup papan informasi yang mencantumkan bea masuk areal dalam Candi. Dan benar prediksi ku semula, tarif parkir saja sudah melangit, apalalgi beban masuk. Pihak pengelola dipastikan mamasang tarif yang tergolong tinggi untuk wisatwan flamboyan berkantong pas-pasan seperti kami- sudah barang tentu bakal berpikir panjang jika berkeingnan masuk kompleks candi Hindu itu karena dipastikan terhalang oleh pintu besi yang mensyaratkan bagi masing-masing individu senilai 30 ribu rupiah sekali masuk untuk kategori dewasa, dan untuk anak-anak sebesar 17 ribu.
Usai membaca informasi bea masuk, saya masih belum begitu yakin hingga memaksa mataku membaca sekali lagi info itu dengan Khusyuk- dan baru menyadari betapa mahalnya bea masuk pekarangan candi yang dikelola oleh pemerintah itu. Saya pun mulai berspekulasi mencoba mengkalkulasi keuntungan yang diperoleh malalui bea masuk tersebut. Coba Anda bayangkan ratusan orang berkunjung setiap harinya, bahkan pada hari-hari tertentu bisa mencapai ribuan wisatawan. Jumlah itu jika dikali dengan 30 ribu, wow! rasa-rasanya bisa dianggarkan untuk makan gratis, biaya pendidikan dan bantuan pemukiman layak, bagi sebagian warga kurang mampu di pelosok pedesaan Provinsi Jawa Tengah dan sekitarnya selama beberapa tahun.
Tanpa berpikir panjang dan berlama-lama karena rasa penat, saya memilih merundingkan dengan kawan Hasbi. Mengingat kami telah berada tepat dipintu masuk. Bahkan sempat pula terpikiran mencari siasat mengelabui petugas jaga, dengan modus mengikuti rombongan wisatawan yang datang bergerumun. Namun sayang sekali rombongan anak sekolah tadi, telah melewati portal angkuh itu. Sejenak saya hanya bisa mengelus dada dan berharap ada keajaiban- sekedar meloloskan kami dari tingginya ongkos tiket masuk.
Kurang lebih 15 menit kami mempertimbangkan antara memilih melanjutkan perjalanan ke dalam candi atau mengurungkan niat kami ‘betemu’ dengan tiga arca suci Hindu: Siva, Brahma dan Visnu, tiga dewa utama dikuduskan umat Hindu Trimurti yang sempat diimajinasikan selama perjalanan tadi. Sementara kawan Hasbi menyarankan sebaiknya mengikhlaskan saja sejumlah uang dengan alasan memikirkan perjalan dari pagi hingga di ujung pintu masuk ini. Akhirya dengan raut muka ketus saya menukar sejumlah uang dengan dua buah kartu elektrik sebagai tanda masuk melewati portal pongah itu.
Semangat menelusuri bekas peninggalan keagungan dinasti Sanjaya yang dikenal dengan kesholehanya sebagai pemuja setia Dewa Siva, mulai memudar. Masih terbayang dalam piker ku perihal bea masuk tadi. Padahal sejarah rekonstruksi candi ini dipugar dengan menggunakan anggaran Negara, sumber dari pajak masyarakat. Buktinya pada tahun 1992 Pemerintah Indonesia dibawah kendali Perusahaan milik negara, PT Taman Wisata untuk Candi Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko, ditunjuk mengelola taman wisata purbakala di Borobudur, Prambanan, Ratu Boko, serta kawasan sekitarnya.
Namun, bisa diduga jika hal ini dikeluhkan tentunya pihak pengelola punya 1001 alasan. Paling standar mereka akan mengatakan, tingginya bea masuk tersebut setali tiga uang dengan anggaran pemugaran dan pemeliharaan kompleks candi dari ancaman gempa bumi. Seperti pada 27 Mei 2006 gempa dengan kekuatan 5,9 pada skala Richter menghantam daerah Bantul dan sekitarnya. Menurut catatan, salah satu bangunan yang rusak parah adalah kompleks Candi Prambanan, khususnya Candi Brahma sehingga banyak menyita anggaran pemugaran dan rehabilitasi Candi. Atau paling tidak anggaran perawatan batuan kuno yang mulai mengeropos ditelan zaman, butuh sentuhan khusus demi penjaga kemurnian Candi.
Meskipun saya tahu, sebagian juga anggaran tersebut berasal dari bantuan Unesco sebuah lembaga dibawah Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menaruh perhatian pada peningkatan pendidikan dan kebudayaan. Kiprah Unesco membawah satus candi ini termasuk dalam Situs Warisan Dunia yang dilindungi. Namun sekali lagi, tidak berarti ketika status candi ini telah mendapat pengakuan internasional sebagai warian dunia, lantas berefek pada kebijakan bea masuk yang menyulitkan masyarakat kurang mampu memperoleh informasi berharga dari warisan dunia itu hanya karena persoalan bea masuk. Seangkuh itukah?entahlah! Namun faktanya informasi pengetahuan masa lalu kini harus berbalas mahal. Bisa jadi hari ini masih 30 ribu, besok lusa barangkali melambung lagi.
Bukankah tidak elok menyaksikan satu diantara kita harus ada yang meninggalkan candi dikarenakan tidak sanggup membayar 30 ribu demi sebuah pengetahuan. Walhasil akses atas pengetahuan hanya dimiliki bagi yang berkuasa, dalam konteks berkuasa atas kendali uang pun akhirnya yang mengendalikan pengetahuan juga
Yogyakarta, 17/02/2012
.
Komentar
Posting Komentar